Barun Gurung, Assiociate dari WOCAN (tengah) bersama dua perwakilan FJPI, Khairiah Lubis (kiri), Mela Hapsari (kanan). Foto : Mela/JPG

Oleh: Mela Hapsari

ISU Gender seringkali diabaikan oleh media atau tidak dianggap penting. Tampilan media tentang perempuan seringkali menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua, sub-ordinat, lemah, dan stereotip lainnya yang merugikan perempuan.

Media mengkomodifikasi perempuan dengan tampilan seksis yang khas. Definisi cantik itu perempuan berkulit putih, langsing, tinggi, dan berbaju seksi itulah potret umum perempuan di media. Perempuan cantik di media juga seringkali menjadi pelengkap komersialisme media yang tampak pada iklan, film, acara musik, sinetron, majalah, dan produk media lainnya. Sebaliknya, perempuan yang “tidak cantik” jarang sekali menempati posisi penting dalam peran atau menjadi bintang di media mainstream maupun online.

Tak heran di dunia ini banyak perempuan menjadi korban karena ingin tampil sempurna seperti gambaran media. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari operasi plastik, diet ketat, sedot lemak, hingga menderita bulimia yang membahayakan diri bahkan mengancam nyawa.

Gender sendiri merupakan bentukan sosial atas peran, fungsi, dan tugas dalam kehidupan sehari-hari, sosial, dan pekerjaan atas laki-laki dan perempuan. Pengaruh stereotip yang diusung media semakin mengentalkan budaya patriarki dan hal ini terbukti menjadi penghalang kesetaraan gender, dimana laki-laki dan perempuan seharusnya memiliki akses dan hak yang sama dalam kehidupan sosial, pendidikan, pekerjaan, dan dalam berbagai aspek kehidupan lainnya.

Guna meningkatkan kepekaan dan pemahaman kesetaraan gender ini maka pelatihan gender sangat penting bagi perusahaan dan organisasi media. Pelatihan Gender dilakukan oleh Southeast Asian Press Alliance (SEAPA) untuk para organisasi pers Asia Tenggara anggota SEAPA, seperti dari Timor Leste, Myanmar, Kamboja, Filipina, Timor Leste, dan Indonesia (FJPI dan AJI), di Pattaya, Thailand (7 & 8 November 2017).

Pembicara dalam acara tersebut Barun Gurung, associate dari Woman Organizing for Change in Agriculture and Natural Resourcement (WOCAN) mengatakan, “Ada dua alasan penting mengapa gender penting untuk media, yang pertama untuk meningkatkan jumlah jurnalis perempuan di media tidak hanya sebagai jurnalis tetapi juga redaktur dan jajaran pengambil keputusan. Tidak hanya di regional Asia Tenggara saja, tetapi juga seluruh dunia. Alasan berikutnya mengapa gender penting untuk media, adalah media bisa mengabadikan dan menyebarkan stereotip tentang gender. Media adalah medium yang mempengaruhi sangat banyak orang. Itulah mengapa sangat penting untuk memahami bagaimana konteks media dibentuk dan bagaimana media memproduksi dan melestarikan isu tertentu terkait gender,” kata laki-laki asal Bhutan ini.

Konstruksi sosial yang terlanjur dilestarikan oleh media tentang perempuan ini bisa diubah melalui artikulasi pemberitaan terkait gender oleh media arus utama dan media online. Media berperan untuk mendidik dan mengubah pola pikir masyarakat melalui berbagai konten media baik berita, film, iklan, artikel, dll.

 

Anggota FJPI, Mela Hapsari dalam Pelatihan Gender dilakukan oleh Southeast Asian Press Alliance (SEAPA) untuk para organisasi pers Asia Tenggara anggota SEAPA di Pattaya, Thailand.

 

Meskipun banyak perempuan bekerja di media, namun sangat sedikit perempuan yang menjadi pemimpin atau menduduki posisi manajerial perusahaan media. Tak heran, dalam proses pengambilan keputusan suara dan kepentingan perempuan seringkali diabaikan.

Pemahaman yang mumpuni tentang gender dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan media terhadap karyawan perempuan dan bagaimana media menampilkan citra perempuan akan lebih baik tanpa stereotip dan stigma negatif pada perempuan.

Para peserta pelatihan diminta untuk melakukan analisa apakah organisasi pers masing-masing telah menerapkan kebijakan dan program berbasis gender, memberikan fasilitas dan hak yang seharusnya diterima oleh staf perempuan, serta merancang program yang bisa diterapkan pada masing-masing organisasi pers di negara masing-masing.

Junalis perempuan dapat mengambil peran aktif dalam upaya mengubah stereotip gender yang selama ini disematkan kepada perempuan. Masalahnya, tidak semua jurnalis perempuan telah memahami konsep gender dan mampu menuangkannya dalam karya jurnalistik. Kepekaan gender perlu dimiliki oleh jurnalis laki-laki dan perempuan, perusahaan media, dan organisasi pers secara luas.

Barun Gurung mengatakan, “Training sangat penting agar jurnalis dapat menggunakan “lensa gender” dalam tulisan dan produksi televisi, dan media lainnya. Selain itu juga harus ada kebijakan dalam organisasi media terkait gender dan memastikan bahwa kebijakan tersebut dilaksanakan dengan baik,”ujarnya lebih lanjut.

Peserta Pelatihan Gender dilakukan oleh Southeast Asian Press Alliance (SEAPA) untuk para organisasi pers Asia Tenggara anggota SEAPA di Pattaya, Thailand.

Pembangunan tidak akan berjalan baik jika terdapat ketimpangan yang mencolok antara perempuan dan laki-laki. Pentingnya Isu kesetaraan gender bahkan menjadi salah satu tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDGS), tak heran kini banyak badan dunia, nasional dan lokal menempatkan kesetaraan gender dalam program kerja mereka.

Pengarusutamaan gender juga menjadi hal penting dalam pembangunan di Indonesia. Diskriminasi, dan pelanggaran hak-hak perempuan di berbagai bidang memerlukan strategi untuk mempromosikan kesetaraan gender, kebijakan, dan program yang berperspektif gender.

Media merupakan agen perubahan yang sangat penting untuk isu gender. Kesetaraan gender sungguh bukan perjuangan perempuan semata, melainkan perjuangan bersama laki-laki dan perempuan. Barun Gurung menjelaskan alasan kesetaraan gender bukan hanya demi hak asasi manusia, tetapi juga karena efisiensi mengingat lebih dari separuh penduduk dunia adalah perempuan maka pemberdayaan perempuan juga sangat penting dilakukan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini