Beberapa teman sekolah dulu ada yang menjadi Aparat Sipil Negara (ASP, dulu PNS). Usianya berkisar di bawah 35 tahun. Ketemuan dan ngobrol tentang pekerjaan masing-masing, berikut keluh kesah dan keuntungannya. Saya sempat terhenyak dengan perubahan karakter mereka. Mungkin karena sudah lama tidak bertemu, saya hampir tidak mengenali pola berpikir mereka lagi. Jauh-jauh saya mencela para koruptor yang digiring KPK keluar masuk gedung merah putih, ternyata di depan hidung saya cerita korupsi ini mengalir dari orang dekat saya.

Sepanjang ngobrol mereka hanya membahas ulah rekan sejawatnya yang melakukan ‘olah-mengolah’ anggaran proyek pemerintah. Tidak ada rasa sungkan membeberkan seberapa banyak uang yang ditilep dari hasil kecerdikan mereka mengolah. Usia mereka masih di bawah 35 tahun, dan bekerja sebagai abdi negara selama rentang 3-9 tahun. Uangnya banyak. Rumah, mobil, tabungan, plesiran, ada. Saya sempat nyelutuk kalau saya wartawan dan bakal mengadukan teman mereka itu ke KPK, tapi mereka cuma terkekeh. Alasannya, mereka cuma ‘maling kecil’, nilainya tidak sampai Rp 1 miliar. Lagipula, apa yang mereka lakukan saat ini adalah hal yang diperebutkan sejumlah orang di kantornya. Semua orang di sana ingin berada di posisinya. Meskipun sebagian lagi ada yang takut dan menjauhi tindakan seperti itu.

Awalnya malu-malu dan diam-diam melakukannya. Namun lama kelamaan menjadi terbiasa dan tidak sungkan lagi. Polisi, bukan pihak yang ditakutkan juga dalam persoalan maling kecil ini. Asal pintar bagi-bagi dan tidak ketahuan, semuanya akan aman, kata mereka. Saya terdiam dan sedikit membenarkan soal penegakan hukum di negeri ini.

Lihat saja hasil nota kesepahaman (MoU) antara Kementerian Dalam Negeri dengan Kejaksaan Agung, Polri, dan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) tentang penanganan aduan korupsi di daerah, minggu lalu. Kabareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto mengatakan, dalam kesepakatan tersebut, oknum pejabat pemerintahan daerah yang terindikasi korupsi bisa dihentikan perkaranya jika mengembalikan uang yang dikorupsinya jika hanya melakukan pelanggaran administrasi. Saya miris mendengarnya. Terkesan ada upaya Mendagri melindungi aparat di jajarannya untuk melakukan pelanggaran.

Ini hanya akan menjadi tameng bagi pejabat untuk melancarkan aksi malingnya. Tanpa malu-malu, malah bangga, tanpa takut, malah menertawakan aparat penegak hukum. Mereka sudah akut. Lantas, keluarga bilang apa? Dan jawabannya sangat mencengangkan. Dulu mereka masuk jadi ASP dengan sogokan yang berasal dari uang orangtuanya. Jadi mereka dikuliahkan, dikasi pekerjaan dengan menyogok, berharap anaknya bisa menjadi sumber keuangan baru. Tidak perduli bagaimana anaknya kemudian tumbuh menjadi pencuri atau begundal di negeri ini.

Korupsi diwariskan sedemikian rupa. Baru-baru ini ada sebuah istilah turunan dari politik dinasti, yakni korupsi warisan. Keduanya sama-sama menjadi sebab-akibat. Nah, korupsi warisan ini justru yang sangat bikin dahi berkerut. Orangtua jahat, mewarisi kejahatannya pada anaknya. Sebagai orang muda, saya tidak habis pikir. Mengapa ada orangtua yang menjerusmuskan anaknya ke lembah hitam? Seperti apa yang terjadi pada Walikota Kendari Adriatma Putra, yang jadi tersangka suap untuk dana kampanye Pilkada bersama-sama dengan ayahnya, Asrun, mantan walikota Kendari sebelum Adriatma dan kini mencalonkan diri menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara.

Ini contoh buruk keluarga dengan politik dinasti dan berujung pada tindakan korupsi lalu ditangkap KPK. Saya jadi teringat proses yang lebih awal dari melencengnya orangtua telah menjerumuskan anaknya dengan sadar. Yakni adanya ‘siswa siluman’ di sejumlah sekolah negeri favorit di kota Medan. Bahkan sekelas Kapolres, rela mengurus surat keterangan miskin dari lurah, agar anaknya bisa masuk di SMAN 1 Medan. Seorang doktor dari unversitas negeri di Medan juga melakukan hal yang sama. Ia bahkan tidak terima anaknya dikeluarkan dari sekolah karena ketahuan berstatus ‘siswa siluman’ tadi. Apa yang terjadi dengan siswa-siswa itu sekarang? Akankah kejadian ini menjadi bibit ‘siluman’ pada mental mereka di kemudian hari?

Dulu sebagai bangsa kita sudah merasa buruk dengan temuan korupsi berjamaah, kini semakin merinding karena adanya korupsi warisan. Keluarga koruptor, begundal, maling uang rakyat. Saya ingin memaki rekan kerja teman-teman sekolah saya tadi dengan sebutan-sebutan itu. Namun saya hanya bisa melontarkannya dengan nada halus dan diterima sebagai olok-olok bercanda yang membuat kami semua tertawa. Lha, dana pengadaan Al Quran saja dikorupsi. Dana pembangunan patung Yesus saja dikorupsi. Dana jemaah yang mau ketemu Tuhannya saja digelapkan. Mau bagaimana lagi? Mental korupsi di negeri ini sudah sedemikian parahnya. Dampaknya sudah sangat merugikan. Infrastruktur minim, rasa keadilan tidak ada, pendidikan dan kesehatan mahal, daya beli masyarakat rendah, anak-anak kurang gizi, dan banyak dampak lainnya.

Saya berusaha keras untuk tidak pesimis dengan upaya pemberantasan korupsi dan pencegahannya. Namun belum tahu seperti apa cara yang efektif untuk menguranginya minimal di lingkungan terdekat. Tentu saja ini bukan upaya yang dilakukan personal, karena akan seperti membenturkan diri ke dinding. Ini butuh kerja sama dan keberanian kolektif untuk bersikap. Seperti yang disampaikan seorang jurnalis yang menulis buku ‘Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi’, Sabir Laluhu, semakin canggih dan licin koruptor menggelar aksinya, pasti akan meninggalkan jejak dan tercium juga. KPK sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi di negeri ini membutuhkan dukungan dari berbagai galangan pihak yang ikut mencegah praktek-praktek korupsi. KPK meluncurkan RadioKanal dan KanalTV, buku dongeng anti korupsi, games anti korupsi, dan lagu-lagu bertema anti korupsi yang diperdengarkan terutama bagi kawula muda yang rentan terinfeksi virus ‘korupsi warisan’. Berharap upaya-upaya pencegahan ini akan menumbuhkan mental ‘anti korupsi sejak dalam pikiran’.

Di sebuah stasiun televisi saya melihat ada berita, dua maling sepeda motor bersenjata tajam diteriaki oleh si pemilik motor dan akhirnya dihakimi massa. Satu tewas di perjalanan menuju rumah sakit, satu lagi ditembak polisi kakinya karena mencoba kabur. Saya berpikir, jika saja salah satu koruptor yang sering diberitakan di televisi itu dilepas di jalanan, apakah nasibnya akan seperti dua maling sepeda motor itu? Well, itu hanya pikiran sesaat saja. Indonesia masih negara hukum. Kita dukung penegakan hukum di negeri yang kita cintai ini. (Diana Saragih)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini