Penghujung bulan Januari kali ini memberi kebahagiaan tersendiri bagi Aishah Basar. Peluncuran buku puisi pertamanya dengan judul “Surat Buat Emak” diselenggarakan di sebuah cafe di kawasan Jalan dr. Mansyur Medan akhir Januari lalu, berlangsung dengan sukses. Dihadiri oleh para seniman dan budayawan Sumut di antaranya perupa Reins Asmara, koreografer sekaligus penari Sri KNA, Hafiztaadi, Agung Suharyanto, Juhendri Chaniago, Idris Pasaribu, Agus Susilo, Mateus Swarsono.
Diawali dengan pertunjukan musik, tari dan pembacaan puisi, lalu dilanjutkan dengan diskusi dan bedah puisi oleh seniman Thompson HS dan Dr. Rosliani dari Balai Bahasa USU. Dengan perspektif yang berbeda, Thompson mencoba memecahkan makna kode alfabetis yang terkadung dalam buku ini. Angka 45 (judul puisi) menurutnya tak hanya sekedar angka, tapi memiliki arti yang lebih mendalam.
“Waktu juga bisa menjadi ruang imaji. Rentang waktu 18 tahun dalam proses kreatif Aishah Basar melahirkan puisi-puisinya, 45 judul kali ini menjadi penting,” papar Thompson. Jumlah itu, katanya, dipilih tak sekedar menghentikan urutan tahun-tahun kreatif, malahan tahun-tahun kreatif itu harus menjadi jinak dalam satu ruang imaji baru : 45 dengan kode alfabetis. “Kode alfabetis itu dapat menjadi petunjuk baru atas urutan ke 45 puisi Aishah Basar. Selamat ulang tahun yang ke-45 Aishah Basar,” ujarnya, yang disambut tepuk riuh para undangan yang hadir.
Sementara Dr. Rosaliani melihat dari segi yang lebih ilmiah. Menurutnya buku Aishah Basar “Surat Buat Emak” ini berisi tentang kegelisahan-kegelisahan yang terjadi dalam diri penulis. Ia memisahkan tiap elemen dalam buku ini, baik tokoh, pengisah, maupun pengarang untuk mendapatkan interpretasi yang lebih baik. Menurutnya, kegelisahan yang ditampilakan menjadi sentral dalam puisi–puisi yang termuat dalam buku ini. Kegelisahan yang terjadi karena adanya kesenjangan antara sesuatu yang seharusnya dengan kenyataan.
“Pengisah yang terkadang menjadi tokoh memberikan bermacam suasana dengan kata-kata lugas, simbolik, konotatif, bahkan ambigu. Kata-kata ini menyiratkan sikap tokoh dalam memperjuangkan kehidupannya. Kadang ia hanya menyaksikan, bertanya, berontak, menentang, bahkan memaklumkan. Dengan caranya ini ia berhasil mencapai kemenangan,” ujarrnya.
Darah Seni
Menulis bagi Aishah Basar bukan merupakan hal yang baru. Perempuan kelahiran Rantau Parapat 45 tahun silam ini sudah gemar menulis sejak duduk di bangku SD. Sejak tamat SPG (Sekolah Pendidikan Guru), Aishah merantau ke Medan untuk berkuliah di IKIP Medan (UNIMED sekarang; red) jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ketertarikannya terhadap dunia sastra dan drama membawanya untuk mengikuti berbagai kegiatan seni di kampus. Masa-masa ini membuatnya jauh dari orang tua sekaligus menjadi inspirasi untuk sebuah judul puisi yang menjadi judul bukunya “Surat Buat Emak”.
Emak yang dimaksud dalam tulisan ini ditujukan untuk semua ibu yang terpisah jauh dari anaknya yang sedang berjuang, tak hanya di medan perang, tapi berjuang untuk segala hal, baik itu berjuang menuntut ilmu, mencari pekerjaan atau lain sebagainnya. Kegelisahan yang dirasakannya ketika berjauhan dengan orang tua dan segala hal yang dihadapinya dalam perantuan membawanya pada rasa takut ketika harus pulang kembali ke pangkuan ibu tanpa nyawa. Aishah paham betul tentang perasaan orang tua yang berjauhan dengan anaknya, seperti penggalan puisi “Surat Buat Emak”, Aku akan pulang/Bawa cita-cita yang terluka/Ini tanah belum merdeka/tentu emak saksikan juga/maka jangan nangis, Mak/Jika kelak aku pergi dan kelak tak pernah sampai kembali/.
Selama merantau, banyak prestasi yang diukir Aishah. Tahun 1991, ia terpilih sebagai Aktris Terbaik Ke-2 Festival Teater dan Drama Tingkat Mahasiswa Se-Sumbagut. Tahun berikutnya, ia terpilih sebagai Aktris Pembantu Terbaik di festival yang sama. Tak hanya itu, tahun 2003 dan 2004 cerpennya yang berjudul “Bebayang” dan “Namaku Suci” masuk dalam ontologi cerpen terbaik Creative Writing Institute (CWI) Jakarta. Tahun 2009, ia mendapat juara I dalam Lomba Cerita Rakyat Sumatra Utara dengan judul : Tok Nado. Banyak lagi prestasi yang diraihnya dalam dunia sastra dan itu tak membuatnya puas dan terus berkarya.
Peran Ibu tak lepas dari segala kesuksesan yang diterima Aishah. Segala kegiatan yang diikuti dan keadaan di perantauan diceritakannya kepada sang Ibu. Karena baginya, muara dari segala hal adalah Ibu, yang karena doanya ia bisa menjadi Aishah seperti yang sekarang ini. Ketika kembali ke kampong halaman, ibunya berkata kalau ia berbeda dari anak teman-teman atau saudaranya, karena Aishah menulis. Dukungan dari Ibu yang membawa Aishah terus berkarya hingga saat ini. Darah seni juga diturunkan dari Ibunya yang dulunya adalah pemain ketoprak/wayang orang. Berkesenian bukan lagi hal yang baru di keluarga Aishah.
Peluncuran buku ini pun tak terlepas dari harapan Aishah agar buku ini dibaca oleh semua kalangan, “Siswa, pejabat, koruptor, petani, saya harap semuanya membaca buku ini, supaya kita semua sadar kalau masih banyak yang harus diperjuangkan untuk menjadi lebih baik lagi dalam segala hal,” ujarnya. Kepala sekolah sekaligus guru Bahasa Indonesia di SMP N 1 Barus ini juga berharap munculnya Aishah Basar yang lainnya di dunia seni dengan eksistensi dan karya yang mampu menyampaikan pesan yang baik lewat karya seni. (Alia Amanda Anwar)
Sumber : duniamelancong.com