Oleh Diana Saragih
The Batman yang dibintangi Robert Pattinson baru saja rilis dan mendapat rating yang bagus dari penonton. Kritikus film juga memuji bahwa The Batman arahan sutradara Matt Reeves ini adalah versi terbaik Batman selama ini. Karakter antisosial namun lebih manusiawi, sinematografi yang apik dengan musik yang bikin orang-orang yang ke luar bioskop merasa habis nonton konser orkestra Michael Giachinno, terotak. Namun hal-hal tersebut di atas dimiliki oleh rata-rata film superhero produksi Marvel Cinematic Universe dan DC Films yang selama ini merajai bioskop seluruh dunia.
Saya termasuk penonton yang tidak begitu menggandrungi film-film superhero terutama produksi kedua PH raksasa Hollywood itu. Tema yang tidak sesuai dengan selera saya dan plot yang itu-itu saja membuat film-film superhero membosankan meskipun digarap dengan teknologi canggih sekalipun. Setidaknya saya membuktikan hal itu setelah beberapa tahun lalu penasaran dengan film Transformer. Di sebuah bioskop di Jakarta, dari 11 studio yang ada, setidaknya 9 studio dipakai untuk memutar film Transformer. Orang-orang datang berbondong-bondong menonton film itu. Film Indonesia yang saat itu ingin saya tonton hanya didatangi beberapa orang saja. Akhirnya setelah selesai nonton film itu, saya coba ikut mengantri beli tiket Transformer. And guest what, sesuai dugaan saya hanya bertahan di sana 10 menit. Coba sampai 20 menit berharap akan ada sesuatu yang greget dari film ini. Lalu di menit ke 30, saya walk out. Ini fix film “anak-anak” yang bukan selera saya.
Awalnya The Batman menarik saya karena ada Robert Pattinson dan Zoe Kravitz sebagai aktor utamanya. Collin Farrel yang biasa terlihat tampan di semua film-filmnya, di trailer saya melihatnya sebagai Penguin, antagonis buruk rupa dan jauh dari karakter-karakter film sebelumnya. Jadi, saya menontonnya di hari pertama tayang bioskop Indonesia.
Sepanjang film berdurasi hampir 3 jam itu, hanya satu adegan yang bikin hati saya hepi, yakni saat scene kejar-kejaran Batman dengan Penguin. Scene action ini sangat seru, berdurasi lumayan panjang, car crash scene yang berbahaya dan masuk akal. Meskipun sedikit geli melihat wajahnya Penguin tak luka sedikitpun kendati mobilnya berakhir jatuh berguling-guling di jalanan aspal nan basah.
Overall film ini biasa saja bagi saya. Namun ada hal-hal yang membuat saya bakal berpikir ulang untuk melihat sekuelnya, ada isu yang bilang The Batman akan dibuat trilogi karena kesuksesannya saat ini. Setidaknya ada 3 hal mengganggu di film The Batman yang harus diubah jika tidak ingin ditinggalkan penonton perempuan seperti saya.
Pertama, plot dengan story telling yang begitu-begitu saja. Ini memang agak rumit sekaligus berbahaya. Marvels Cinematic Universe (MCU) dengan tegas tidak memperkenankan sutradara mereka berkreasi dengan tokoh dan plot yang melenceng dari struktur cerita comic-nya. DC Films yang berbasis di Warner Bros juga lebih kurang demikian, meskipun tidak seketat MCU. Namun, plot film mereka membosankan. Bisa jadi plot heroik memang harus seperti itu, sudah ada pakemnya, entahlah. Yang jelas, ini membuat saya enggan menontonnya lagi.
Ke dua, male gaze yang bikin speechless. Di film The Batman setidaknya ada dua scene yang membuat darah saya naik sedikit lalu banyak. Scene pertama yaitu scene romantic ciuman bibir The Batman dan Catwoman yang terkesan dipaksakan saat mereka setuju memiliki musuh bersama. Jadi bumbu namun tak pada tempatnya. Scene romantis di ending lebih bikin darah naik banyak. Catwoman yang agak nakal ini mencium bibir The Batman di tengah-tengah klimaks pertempuran yang lagi hingar-bingar sehingga membuat mereka lengah lalu diserang musuh lagi. It’s really unnecessary romantic scene. Matt Reeves sungguh merusak cerita dengan ‘bumbu’ nggak penting itu.
Scene kedua, peran heroik Catwoman yang hanya ‘tempelan’. Sejak awal memang peran heroik dua tokoh ini tak seimbang. Kesimpulan saya ini tak lepas dari pengaruh Halle Berry sebagai Catwoman (2004) yang lebih utuh dan powerful ketimbang di The Batman ini. Zoe Kravits sebagai Catwoman di sini hanya punya motif menyelamatkan temannya, sedangkan Batman ingin menyelamatkan Gotham City. Ini terbukti pada scene klimaks ketika Catwoman yang handal bela diri ini justru di-highlight oleh Matt Reeves ketika Batman kalah dalam perkelahian dengan para bandit. Catwoman lalu menolongnya agar bangkit lagi supaya Batman bisa membasmi para bandit dan berhasil menolong Gotham City. Oh, okey.
Ke tiga, adegan menolong warga yang terlalu kentara. Meskipun dengan sadar mengetahui bahwa film heroik adalah cerita tentang menolong masyarakat dari kejahatan, namun hal itu tidak perlu diberi porsi yang terlalu berlebihan. Di awal Batman sudah diperkenalkan sebagai penolong orang lemah, seharusnya di akhir tidak perlu diberi porsi ini lagi. Saya melihat Matt Reeves ingin memberi perubahan situasi heroik Batman yang di awal adalah pahlawan dalam kegelapan alias tak dikenal, dan di akhir ia menolong orang dengan lebih terbuka. Tapi justru ini terlihat cheesy alias agak norak. Ini adalah adegan khas superhero Hollywood yang merebak di film-film superhero di Negara lain, meskipun saya sendiri tidak paham manfaatnya. Melihat adegan itu hanya membuat saya menghela nafas. Oh, okey…
Well, bicara film adalah bicara soal selera. Orang-orang memang memilih sendiri film apa yang ingin mereka tonton. Tapi film superhero adalah legacy (warisan). Anak-anak yang menontonnya sedikit banyak akan menjadi terinspirasi dan membentuk diri menjadi seperti superhero favoritnya. Setidaknya ini saya lakukan di masa kecil dan remaja saya setelah menonton film “Jean of Arc” pada 1999 yang dibintangi Mila Jovovich dan “Xena The Princess Warrior” yang dibintangi Lucy Lawless (1995). Jika saya anak perempuan 13 tahun yang menonton film The Batman ini, legacy perempuan dalam cerita kepahlawanan hanya sampai di Catwoman, bukan jadi Batman, yang lebih powerful.
Foto : Warner Bros