Sidang vonis dua terdakwa Kasus korupsi lahan Pembangunan Base Camp dan Access Road Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Asahan III yang merugikan negara Rp6,9 miliar diwarnai teriak histeris pihak keluarga. Mereka tidak terima putusan hakim yang menghukum Camat Pintu Pohan Meranti, Toba Samosir (Tobasa) Tumpal Enryko Hasibuan kurungan 1 tahun 6 bulan. Sementara Kepala Desa (Kades) Meranti Utara Marole Siagian divonis dengan 2 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Medan, Kamis (22/1/2015).

Di ruang sidang setelah pembacaan vonis terdakwa, pihak keluarga dan istri terdakwa menangis dan berteriak histeris mendengar putusan hakim. “Pengadilan ini menginjak- injak kebenaran, karena suami saya tidak bersalah namun dihukum,” teriak istri terdakwa Hepi Sirait.

Hepi menilai bahwa persidangan ini sama sekali tidak masuk akal. Sejauh ini keterangan yang diperdengarkan di ruang sidang seluruhnya dari PLN, namun tidak ada satupun pihak PLN yang dijerat hukum. Bupati Pakpak Bharat juga hanya dijadikan saksi dalam persidangan. “Kenapa hakim tidak mencari tahu siapa yang mengorbankan terdakwa bukan malah memvonis terdakwa,” timpal adik salah satu terdakwa, Feri Hasibuan.

Sementara itu Penasehat Hukum terdakwa Heyber SH mengatakan bahwa pihaknya masih pikir- pikir atas vonis kepada kliennya, kendati pihaknya tidak puas akan putusan hakim tersebut. “Kami pikir- pikir dulu bagaimana ke depannya karena klien kami tidak bersalah dalam kasus ini,” Ujar Heyber.

Majelis Hakim yang diketuai Parlindungan Sinaga SH mengatakan kedua terdakwa telah secara sah dan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara sebesar Rp6,9 miliar sehingga kedua terdakwa juga masing-masing dikenakan denda sebesar Rp50 juta subsider 1 bulan kurungan. Kedua terdakwa dijerat dengan pasal 3 jo pasal 18 Undang Undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ke 1 KUHPidana.

Kedua terdakwa yang merupakan anggota Panitia Pengadaan Tanah (P2T) lahan Pembangunan Base Camp dan Access Road Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Asahan III namun tidak menjalankan tugas dan tanggungjawabnya seperti ditetapkan dalam Surat Keputusan (SK) Bupati Tobasa. Keduanya menandatangani dokumen-dokumen seperti berita acara inventarisasi dan identifikasi (penelitian) tanah, tanaman dan bangunan milik masyarakat yang akan dibebaskan, padahal para terdakwa tidak ada melakukan kegiatan itu.

IMG00008-20150122-1526

“Terdakwa Tumpal tidak pernah turun langsung ke lapangan untuk menginventarisasi tanah, bangunan dan tanaman milik masyarakat yang akan dibebaskan,”kata hakim.

Menurut majelis hakim, terdakwa Tumpal dan Marole hanya membuat surat keterangan tanah (SKT) dan surat pernyataan warga. Surat dengan jumlah banyak itu yakni 200 lebih dibuat para terdakwa hanya dalam sehari. Terdakwa juga tidak pernah meminta surat asli kepemilikan tanah masyarakat, di antaranya Kasmin Simanjuntak yang mengaku masih menyimpan surat asli tanahnya karena tidak ada pihak yang memintanya. Perbuatan para terdakwa tersebut, menurut hakim, telah menguntungkan masyarakat yang tanahnya dibebaskan. Pasalnya, selain ganti rugi tanah tanpa adanya penelitian dan inventarisasi yang akurat, juga terjadi kelebihan bayar dalam ganti rugi jumlah tanaman hidup di atas tanah yang dibebaskan.

“Pembayaran ganti rugi tanaman tidak memperhatikan jarak tanam yang rapat. Akibatnya terjadi kelebihan bayar,” jelas hakim lagi.

Selain itu, rencana pembangunan acces road dan base camp PLTA Asahan III di Dusun Batumamak Desa Meranti Utara Kabupaten Tobasa itu masuk dalam kawasan hutan lindung register 44. Diketahui, kawasan hutan lindung hanya dapat digunakan untuk hal-hal yang terkait kehutanan. (jpI)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini