Every chance we get we run…
Itu adalah sebuah judul lagu milik kolaborasi apik Tegan&Sara dan David Guetta. Kedua musisi favorit pecinta lagu pop asal Amrik ini, mampu menghasilkan lagu yang enak didengar dan menginspirasi. Kalimat pada lagu ini sangat mempengaruhi, tepatnya membenarkan apa yang mendasari apa yang saya lakukan.
Kesempatan kadang tidak datang dua kali. Jadi ketika kesempatan itu datang, sebaiknya kita tangkap. Lantas, kapan kita tahu bahwa kesempatan itu benar- benar harus kita ambil? Menurut saya, kesempatan itu sebaiknya diambil bahkan saat terbersit dalam kepala. Kita menjawab pesan semesta dengan tangan terbuka. Dan itu termasuk memakai nama Djenni Buteto sebagai nama ‘keren’ saya sebagai pembuat film. Hehehehe…
Itulah pembenaran kenapa film La Lebay lahir ke muka bumi. Saya memanfaatkan kesempatan yang ada. Kesempatan memanfaatkan waktu (luang), kesempatan berkolaborasi dengan sineas Medan, kesempatan mengaplikasi ilmu yang dimiliki, kesempatan menghabiskan uang, kesempatan membuat kesalahan dan belajar lagi.
Tidak mudah menuntaskan kesempatan ini. Selain ada keragu-raguan, ada juga konflik yang terjadi akibat pergesekan kepentingan dan pandangan dalam tim. Pun begitu, lagi-lagi menuntaskan kesempatan ini tidak mudah. Fokus pada hasil adalah satu-satunya jalan agar proses bisa terus berjalan.
Sebagai sutradara dan penulis skenario, film ini membawa seluruh perhatian dan tenaga saya selama pengerjaan selama lebih kurang 8 bulan. Sama sekali tidak santai mengerjakan film ini, kerja keras, berpikir cepat, konsentrasi dan sabar, adalah komposisi yang harus diadon bersama skill teknis. Sama sekali baru dalam manajemen produksi film, ternyata hal ini pun menjadi sangat penting.
Tidak salah jika Christine Hakim dalam sebuah acaranya di sebuah televisi swasta nasional, mengatakan membuat film itu tidak mudah. Dia membuka acara tersebut dengan kalimat itu. Memanggil 2 sutradara perempuan dan satu produser perempuan dalam dialognya, mereka menjalani beban kerja yang sama dengan sineas pada umumnya namun karena masih menjalani peran sebagai ibu dan tetek bengeknya, jadilah sedikit banyak tambahan fokus di waktu yang bersamaan. Itu pun karya sineas perempuan itu bukan kaleng-kaleng, berbagai penghargaan di raih mereka. Kerja keras selalu membuahkan hasil.
Tepat tanggal 21 April 2016, film La Lebay tayang perdana (gala premiere). Sebanyak 261 undangan hadir, dimana 200 di antaranya adalah undangan yang membeli tiket masuk. Sebelumnya, rangkaian media visit, talkshow radio, dan konferensi pers kami jalani dengan memanfaatkan hubungan baik dengan teman-teman media yang menjadi teman satu organisasi di FJPI. Meskipun tidak dalam kapasitas perencanaan yang matang dan sumber daya manusia yang memadai, namun saya berpikir tahapan semacam itu harus dilakukan demi status ‘film panjang pertama’.
Semua lancar. Termasuk sinematografi yang masih lemah, tetap mendapat apresiasi positif dari berbagai media yang memberitakan. Mereka terlalu fokus pada latar belakang lahirnya film itu, yakni lahir dari rahim sutradara perempuan, sineas muda. Tapi ada juga yang mencibir film itu masih membosankan dan penilaian negatif lainnya. Semuanya saya tampung dengan hati gembira. Mereka menonton film kami dan bersedia memikirkannya lalu membicarakannya. Saya bahagia bukan kepalang. Ini adalah pertanda baik dalam kehadiran sebuah karya. Mereka membeli tiket dan itu juga pertanda baik bagi potensi ekonomi showbiz di kota Medan ini. Saya berpikir untuk membuat film lagi, dan semoga lebih baik tentunya.
Ini bukan cerita happy ending ever after. Ini adalah langkah kecil yang sukses dituntaskan. Ada perpindahan posisi, dari kata ‘ingin’ menjadi ‘telah’. Saya telah menuntaskan amanat kesempatan yang telah menempel di kepala dan tidak mau lepas dari hati. Sekarang sudah selesai. Lalu, mau apalagi? Ya, bikin karya lagi. Menjalani daulat kesempatan baru yang diberikan semesta. Jangan menyerah. (diana saragih*)
*Diana Saragih. Pemimpin Redaksi jurnalisperempuan.com dan Pemimpin Redaksi majalah Dunia Melancong, tinggal di Medan.