Masih tentang jurnalis. Kemarin, Rabu (11/5) bertempat di salah satu hotel berbintang di Medan, KPK mengadakan lokakarya khusus wartawan tentang anti korupsi. Pembicaranya ada dari KPK, Dewan Pers, dan pimpinan salah satu majalah nasional. Sorotannya super tajam. Mulai dari menista wartawan amplop, pejabat korup, hingga berbagi kisah teknis reportase investigasi. Sangat menarik. Peserta lokakarya tidak banyak yang hadir. Dua jam pertama panitia sempat frustasi karena yang datang cuma 5 orang, yang mana beberapa di antaranya adalah senior – jika tak (mau) disebut wartawan tua. Testimoni demi testimoni pengalaman di lapangan yang berbau korupsi, gratifikasi dan tetek bengeknya keluar. Pembicara dari KPK sampai terkesima mendengar penuturan beberapa wartawan bahwa niat baik mereka untuk memberantas korupsi di provinsi yang diduga kuat terkorup di Indonesia ini, adalah tindakan yang patut dikasihani.

Iya, semangat saja tidak cukup. Bahwa alat canggih mereka, bahwa penyidik terbaik mereka, belum tentu bisa mendeteksi korupsi di Sumut ini tanpa ada pengadu. Gerakan pemberantasan korupsi itu harus dimulai oleh kepala daerah. Perbandingan tentang kepemimpinan kepala daerah antara di Sumut dan di Jakarta (Ahok) serta Surabaya (Risma) yang lagi booming sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi, ibarat langit dan bumi. Tidak mempan. Gubernur Sumut berturut-turut masuk penjara karena korupsi, walikota Medan berturut-turut dipenjara juga karena korupsi . Media/wartawan pun berlomba-lomba memberitakan berita panas itu. Tapi ketika berjumpa dengan pejabat berlabel penjara ‘koruptor’ di suatu acara, masih menyapa dan cipika-cipiki seperti tidak terjadi apa-apa.

Wartawan berteman dengan siapa saja, iya. Tapi jurnalis selaku agen perubahan itu memiliki konsekuensi, termasuk memberi sanksi sosial terhadap pelaku kejahatan terutama korupsi. Predikat ‘teman’ dengan pejabat tidak bisa dipungkiri akan menimbulkan keengganan bersikap objektif. Entah karena takut, entah karena sudah termakan banyak hadiah atau oleh-oleh, intinya wartawan yang berteman baik dengan pejabat cenderung tidak objektif.

Apalagi jurnalis, tidak ada aturan tentang gratifikahsi. Tidak ada persoalan. Bahkan bisa jadi, perkawanan antara jurnalis dan pejabat dapat menimbulkan persekongkolan. Apa saja yang disepakati, biarlah itu menjadi rahasia yang tahu sama tahu. Biarlah media menjadi mitra pemerintah agar pembangunan berjalan mulus, kemanapun arah pembangunannya.

Jadi teringat ketika saya dan seorang teman yang sama-sama bekerja di suatu media cetak di Medan, sedang menelusuri pengaduan kepala sekolah SMU yang mengatakan ada pemotongan 17% dana BOS oleh Kadis Pendidikan Medan. Penelusuran itu kemudian diberitakan secara estafet setiap hari hingga aromanya pun tercium hingga ke kantor Kejari Medan sie intelijen. Saya sampai dipanggil ke kantor Kejari untuk menceritakan temuan kami padahal jelas-jelas sudah ditulis di koran pada saat itu. Begitu pun kami berpikir positif bahwa kasus ini sudah hampir tersentuh hukum akibat pemberitaan kami. Itulah gunanya media kan, membeberkan fakta.

Namun kemudian, di kantor ada oknum wartawan senior yang memanggil saya supaya menghentikan penelusuran kasus itu. Katanya kasihan, sang Kadis adalah temannya. Setengah mendesak, ia membujuk paksa saya, supaya menulis berita lain saja. Bahwa tentang tanya-tanyat proyeksi berita kasus ini akan diselesaikannya dengan pimpinan di redaksi. Dalam hati, dia bukan pimpinan saya yang harus saya indahkan kata-katanya, namun menurut saya ini hal baru. Bahwa tidak mudah menjadi jurnalis yang mencoba membuka fakta-fakta dan membeberkannya ke publik demi menyelesaikan suatu tindakan pemerasan yang berujung pada korupsi. Saya prihatin kepada kepala sekolah yang harus ‘dipaksa’ mencuri dana BOS untuk disetorkan kepada Kadis, kendati saat dikonfirmasi selalu membantah, seperti biasanya.

Singkat cerita, tak sampai seminggu kasus BOS itu tuntas di satu halaman advetorial dari dinas terkait. Tadinya kami, jurnalis ini, tidak paham kenapa tiba-tiba berita kasus itu tidak lagi dimuat. Lalu, kami tidak habis pikir pula, kenapa kami tidak dikasih bonus atas advetorial itu. Harusnya kami dilibatkan dalam kesepakatan atau persekongkolan yang mungkin terjadi di atas loteng itu. Tapi kami tidak diindahkan. Biarlah. Itu kasus lama, yang hingga saat ini tidak mudah dilupakan.

Setiap kali ada pembicaraan tentang korupsi, pejabat, dan peran media yang tumpul, saya hanya bisa senyum-senyum sendiri. Harusnya KPK mendeteksi bakteri-bakteri, virus-virus, dan parasit lainnya secara cover all side bukan lagi cover both side. Sumut sudah terlalu parah. Patut saja para wartawan dalam lokakarya itu merasa kasihan pada KPK yang sampai membuat Program Pemberantasan Korupsi Terintegrasi di Sumut, yang mana pada 4 Mei 2016 lalu Gubsu Tengku Erry Nuradi mengeluarkan SK terhadap program itu dan melibatkan pejabat lintas instansi. Tidak tahu berapa alokasi anggaran untuk ini. Yang jelas, KPK akan mengawasi rangkaian aksinya setiap bulan ke Sumut.

Biarlah. Kami cuma wartawan yang masih tunduk pada perintah atasan. Takut dipecat. Takut dikata jurnalis yang sok antikorupsi. Banyak pertimbangan kenapa harus ikut dalam iring-iringan rencana aksi pemberantasan korupsi di Sumut ini. Tapi kami siap kok mana kala dipanggil KPK untuk ikut mengawasi, asal anggarannya transparan. (diana saragih)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini