Desi Fitriani, wartawan senior Metro TV memberikan paparannya dalam World Press Freedom Day, di Jakarta, Senin (1/5/2017) foto : Diana/Jurnalisperempuan.com

JURNALISME damai yang kerap didengungkan akhir-akhir ini sepertinya sangat sulit untuk dilaksanakan. Pesimisme ini dilontarkan sejumlah jurnalis yang hadir dalam World Press Freedom Day (WPFD) 2017 di Jakarta hari ini. Pasalnya, hal itu sering berbenturan dengan keinginan mendapatkan rating tinggi oleh perusahaan media.

“Sebagai jurnalis yang turun ke lapangan, sebaiknya kita harus memilih sikap. Hal ini sangat penting ketika terjebak dalam situasi konflik yang sulit diurai di lapangan. Bertindak profesional sebagai jurnalis adalah satu-satunya cara untuk menghindari hal yang lebih buruk,” ujar Anggi Mulya Makmur, salah satu jurnalis televisi berita saat menjadi panelis di ajang World Press Freedom Day 2017 di Jakarta, Senin (1/5/2017).

Kesulitan yang sama juga disampaikan Desi Fitri. Jurnalis televisi yang sering diturunkan untuk meliput di daerah bencana dan konflik ini menuturkan, persiapan untuk membawa jurnalisme damai ini butuh peran serta seluruh elemen masyarakat dan pemerintah. Sebab tanggung jawab edukasi tidak hanya berada di tangan lembaga penyiaran. Meskipun ia akui bahwa tidak jarang awak berita harus berbeda sikap dengan pimpinan di tempatnya bekerja dalam menganulir sejumlah isu-isu pemberitaan.

 

Wartawan Senior Metro TV Desi Fitriani, bersama dua pengurus Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Rezky Heidi dan Diana Saragih menghadiri World Press Fredoom Day di Jakarta, Senin (1/5/2017)
Foto : Kiky/jurnalisperempuan.com

Demonstrasi berlandaskan agama yang terjadi di Jakarta pada November, Desember, Januari, dan Februari lalu, adalah salah satu momen tak terlupakan bagi Desi Fitri dan sejumlah kru televisi tempatnya bekerja. Ia dan beberapa jurnalis lainnya terluka saat meliput akibat ia dituduh bekerja di stasiun televisi kafir.

“Saya tahu ini resiko sebagai jurnalis di lapangan. Tapi saya harus tetap melaporkan penganiayaan ini kepada polisi, agar tidak terulang lagi di lapangan,” ujarnya.

Namun yang paling ia tekankan adalah bagaimana perusahaan media juga mendukung gerakan jurnalisme damai ini. Pemberitaan dan diskusi dengan narasumber di televisi jangan lagi memberi ruang bagi penyebaran kebencian. “Kita tetap harus berpedoman pada jurnalistik yang berimbang dan bermanfaat, sehingga berita yang dihadirkan tidak menibulkan polemik yang mempekeruh fakta sebenarnya, ” ujarnya. (jp)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini