Saya seorang warjaki, wartawan jalan kaki. Tidak bisa bawa kendaraan membuat teman dan atasan saya dulu khawatir akan nasib saya di jalanan saat mengejar berita. Selain berat di ongkos, memang kadang saya kalah cepat dalam mengejar liputan peristiwa, kecelakaan atau kebakaran misalnya. Tapi pada akhirnya keseluruhan cerita dan peristiwa akan saya tuliskan juga dari saksi mata atau pejabat berwenang terkait. Saya bukan fotografer yang harus menangkap gambar saat itu juga, walau jika fotografer media kami tidak muncul, saya yang sekenanya mengabadikan gambar untuk mendukung berita. Saya memang punya kamera saku sendiri waktu itu. Tidak seperti sekarang, telepon genggam sudah smart. Kameranya sudah bagus hasilnya. Jadi lebih praktis.
Tidak jarang predikat warjaki ini menjadi olokan di antara teman-teman, tapi sebagian lagi ada yang simpatik dan memuji ketabahan saya meliput harus nebeng kendaraan dengan rekan jurnalis lain, naik angkot atau malah jalan kaki. Jika ditanya kenapa tidak bawa kendaraan sendiri, saya cuma bisa jawab, “Gak bisa bawa dan belum mau belajar.” Mereka tidak tahu, bahwa saya pernah ditolak magang di sebuah LSM perempuan di Medan, karena tidak mau belajar bawa sepeda motor. Sebenarnya perihal mau tidaknya belajar naik sepeda motor itu relatif ya, tapi kemarin itu saya menolak belajar dan pasrah tidak diterima magang lantaran peraturan itu tidak adil. Atasan saya bilang, semua personil di lembaga ini harus bisa naik sepeda motor. Lha, dia sendiri nggak bisa. Direktur eksternalnya juga nggak bisa bawa kendaraan. Jadi apakah peraturan itu berlaku terhadap personil bawahan saja? Itu yang disebut peraturan tajam ke bawah, tumpul ke atas. Entahlah kalau sekarang mereka sudah bisa. Dan itu cerita 7 tahun lalu.
Apakah saya akhirnya bisa bawa motor setelah bertahun-tahun kemudian. Ya, belum bisa juga. Saya belum menemukan alasan penting untuk saya belajar naik sepeda motor. Malah yang nambah alasan saya untuk tidak bawa kendaraan sendiri untuk aktifitas. Macet. Naik kendaraan umum lebih bijak di situasi jalanan Medan yang lalu lintasnya kayak gaya pemerintahannya dijalankan, ala-ala slonong boy. Mau angkot mau kendaraan pribadi, tabiatnya serupa. Jika lampu kuning, gasnya makin poll. Mau nabrak atau ditilang, itu persoalan belakangan. Biasanya aman-aman saja, dan jika kena tilang, bisa ‘diamankan’.
Lagipula, jadi warjaki tidak melulu kesulitan yang dihadapi. Malah saya lebih enteng mencari berita. Tidak ada beban, takut hilang saat meliput atau bingung cari parkiran. Zaman sebelum ada ojek online, saya menikmati perjalanan di angkot yang justru melaju melebihi kecepatan naik sepeda motor. Angkot bisa meluncur sesukanya, bahkan jika tujuannya ke neraka. Lagu ‘leaving on a jet plane’-nya Chantal Kreavajuk bisa jadi lagu penenang di kala jantungan di angkot Medan. Tapi ya sudahlah, susah mendebat sopir angkot di sini. Mereka sulit berdialog dan tidak menerima kritik apalagi saran. ‘Jika tidak senang, turun aja!’. Gitu katanya. Yah, sebagai penumpang yang hak suaranya digepret, penumpang hanya bisa ngelus dada.
Di jalanan ini banyak cerita, namun tidak banyak yang diangkat ke media. Sebab, cerita dari jalanan mirip nasib rumput di halaman. Tidak penting-penting amat. Kerap diabaikan bahkan sebagian dianggap pengganggu pandangan jadi harus disingkirkan. Hak hidup rumput dan nasib cerita-cerita di jalanan itu tidak punya tempat. Diperlakukan sembarangan sudah menjadi takdir mereka. Menyedihkan, tapi itu fakta.
Hanya saja, saya heran. Kenapa masyarakat bawah disebut-sebut sebagai akar rumput. Di dalam konstitusi di negara ini, masyarakat adalah masyarakat. Tidak kenal bawah atau atas, berduit atau kaum papa. Semua sama di mata hukum. Bukankah mereka adalah pihak yang harusnya dilayani, diangkat derajatnya, diperjuangkan kesejahteraannya? Apakah masyarakat bawah seperti saya juga harus diperlakukan seperti rumput, tak punya arti, tidak perlu didengar? Apakah suara-suara kami di jalanan ini tidak penting? Mengeluh jalanan yang semraut, cemburu dengan kebijakan ekonomi pemerintah yang hanya mengakomodir orang-orang kaya saja? Apakah mahasiswa yang berdemo hanya dianggap pembuat macet saja? Apakah buruh, petani, nelayan, dan kaum miskin kota tidak perlu didengar suaranya? Apakah nasib dan hak hidup mereka harus disamakan dengan rumput? Yang hari ini tumbuh besok sudah dicabut dan dibakar.
Saya melihat, mendengar, dan merasakan suara-suara di jalanan itu. Karena saya warjaki, wartawan jalan kaki. Saya kerap menghadapi itu semua tatkala menyusuri jalanan. Jangan salahkan rakyat apatis terhadap pemerintah, lha wong ada atau tidak ada pemerintah, hidup mereka begitu-begitu saja. Hukum tidak berpihak pada mereka. Mereka bertahan di negara yang merdeka ini dengan tangan, kaki, dan segenap tenaga mereka sendiri. Negara tidak hadir dalam kehidupan masyarakat bawah ini. Saya yang warjaki ini harus ekstra hati-hati jika berjalan. Trotoar tidak ada, kalau pun ada akan diserobot sepeda motor jika di depan sana ada antrian kendaraan karena lampu merah misalnya. Saya yang warjaki ini harus rela hidup pas-pasan demi menjaga idealisme menyuarakan cerita penindasan, ketidakadilan.
Sudah dituliskan, sudah. Dibaca orangkah? Entahlah. Soalnya, belum ada perubahan. Mahasiswa demo masih di-drop out kampus dan hak suara mereka dibunuh, kaum miskin kota masih berjuang mati-matian untuk mendapat BPJS dan akses pendidikan layak untuk anak-anak mereka, darah buruh masih dihisap oleh pengusaha. Nelayan dan petani masih miskin, kendati faktanya tanah yang ada luas dan subur, laut yang kaya terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dan kita hanya bisa mengelus dada. Kebingungan dengan kondisi yang terjadi. Bahkan akal sehat di level anak-anak pun bisa mendeteksi kerancuan pengelolaan negara saat ini.
Mengerikan, iya. Tapi saya warjaki. Mencoba bertahan dan menyiasati keterbatasan dengan ikhlas dan sabar. Seperti yang diajarkan di sinetron-sinetron bernuansa agamis di televisi saat ini. Sampai kapan hal ini akan terjadi? Yah, tanya saja pada rumput yang berjoget. (diana saragih)