Ketika baru menjalani operasi tulang leher, karena cedera berolah raga head stand yoga, saya terpaksa menjalani masa pemulihan bergantung akan faslitas Orang Berkebutuhan Khusus. Dua bulan pasca keluar dari rumah sakit saya berjalan ditopang sebuah tongkat, terasa sekali bahwa tubuh ini membutuhkan tempat-tempat layanan umum, ‘yang khusus’. Ruangan-rungan di rumah pun dipaksa menyesuaikan kondisi, kamar mandi dan beberapa ruang terpaksa dipasangi pegangan ‘hand grip’ sehingga aman, mudah dan tidak harus bergantung dengan bantuan lain ketika beraktifitas.
Di kota terbesar ketiga di Indonesia, tempat saya tinggal dan mencari nafkah, menikmati fasilitas umum mal ataupun kantror-kantor pemerintahan mulai dari tempat parkir hingga masuk ke ruangan-ruangan yang bisa terakses kursi roda masih hitungan jari. Otomatis orang difabel atau berkebutuhan khusus hidupnya (mau tak mau kemana-mana) bergantung dengan bantuan orang lain. Akses kursi roda hanya ramah ada di mal mewah atau rumah-rumah sakit. Dan difabel yang tinggal di kabupaten kota atau yang jauh dari mal masak iyaaa plesiran harus ke rumah sakit?
Sebulan masa pemulihan saya kangen bisa jalan sendirian tanpa harus ditemani adik, anak atau sepupu, setelah mencari-cari rute yang aman difabel akhirnya saya bisa cuci mata ganti suasana. Dengan dilepas was-was oleh adik di stasiun kereta api bandara Medan, menikmati sawah, kebun dan perkampungan menaiki kereta Railink.
Di loket pembelian karena tahu saya menggunakan tongkat, kursi dan gerbong yang dipilih pun yang terdekat lift dan kursi di dalam kereta dipilih dekat pintu. Jalan tertatih menuju lift staf-staf di stasiun membiarkan orang dengan berkebutuhan khusus tanpa kasihan dan was-was. Karena memang fasilitas di stasiun, kereta, hingga bandara sudah mumpuni untuk para difabel. Meski harus mengeluarkan biaya Rp 200 ribu pulang pergi saya bisa menikmati jalan-jalan sendirian itu dan mampu keluar masuk toko layaknya orang sehat. Seandainya banyak transportasi dan tempat umum begini, gumam hati saya.
Tiga bulan masa pemulihan, saya berkesempatan liburan seminggu ke Tokyo, betapa ramahnya kota itu bagi difabel. Tiap taksi diwajibkan pasang hand grip alias pegangan, naik turun taksi pun asoyyy bagi saya, mudah tanpa perlu bantuan sepupu. Itu baru taksi loh. Jalan umum, pedestrian, pasar, tak sanggup diungkapkan.
Balik ke Indonesia, enam bulan pasca operasi, meski keseimbangan masih buruk, saya tak lagi harus menggunakan tongkat, namun penyangga leher masih harus dikenakan. Suatu hari saya kangen ingin mengunjungi anak di Jakarta. Pesawat pun mendarat di bandara Halim Perdana Kusuma. Begitu turun pesawat karena kebelet saya langsung menuju toilet bertanda difabel. Begitu memegang dorongan pintu, terdengar suara ibu-ibu berteriak di belakang punggung,
“Eeeh mbak! Kami di sini semua antre!!” Ketus dan penuh emosi.
Saya balikkan badan ke arah suara tadi, mendapati gerombolan ibu-ibu yang ikut melototi saya, mereka shock melihat saya dengan berdiri yang kurang seimbang, leher berbungkus penopang. Gantian saya pun menerawangi ibu-ibu ini satu per satu, dari kaki sepatu bermotif Prada, tas Prada, kaca mata hitam dibandoin juga … Prada, apanya yang difabel ya? Dalam hati masih penasaran mata melirik ke ibu-ibu lain, sasak tinggi, wangi, berbaju wah dan ada yang berkerudung juga tapi jari-jarinya berhiasan emas glamour. Mata akhirnya melihat logo kursi roda di pintu toilet, lalu kembali melihat ke rombongan yang katanya antre di depan toilet tadi, bingung. Dengan tubuh yang masih lemah kukucek mata, logo kursi roda di depan pintu toilet tak berganti logo Prada atau ibu-ibu bersasak tinggi….
“Eh, mbak sakkiiit ya, ya ya silahkan saja, habis teman kami yang di dalam keluar, mbak masuklah.” Suara ibu ini berubah pelan. Dan ketika tiba-tiba pintu dibuka, keluarlah ibu-ibu bersasak tinggi lain, yang ketika saya masuk beliau meninggalkan bau parfum mahalnya di dalam toilet berlogo difabel… ohlala! (Linova Rifianti)