SUMUT – Beberapa waktu belakangan ini Sumut terus dibanjiri aksi tutup pabrik karena diduga melakukan pencemaran lingkungan yang merugikan masyarakat sekitar. Tiga pabrik itu tersesebar di 3 kabupaten yakni PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Kabupaten Toba, PT Dairi Prima Mineral (DPM) di Kabupaten Dairi. Oleh masyarakat yang didampingi organisasi non pemerintah yang konsern terhadap isu lingkungan dan sosial, ketiga pabrik ini berdampak buruk bagi kelangsungan hidup warga setempat dan lingkungan alam. Berikut alasannya.
PT Toba Pulp Lestari
Pabrik ini sebelumnya bernama Indorayon Inti Utama (IIU) yang berdiri sejak 1986, namun ditutup oleh Presiden BJ Habibi pada 1999 karena salah satu cerobong pabrik meledak dan menyebabkan pencemaran udara yang mengancam jiwa. Tahun 2002 oleh Presiden Megawati pabrik bubur kertas ini kembali dibuka dengan nama PT Toba Pulp Lestari (TPL) .
TPL memang mendapatkan izin konsesi dari Negara dengan SK Nomor 307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020 seluas 167.912 hektar setelah 8 kali revisi. Masalahnya wilayah konsesi tersebut bersinggungan dengan wilayah masyarakat adat. Kalau ditotal, ada sekitar 20.764 hektar tanah adat di kawasan Danau Toba yang diklaim sepihak oleh PT. TPL. Tanah adat yang tadinya hutan ini sekarang dibabat habis. Sebagian jadi wilayah pabrik, perkantoran dan jadi hutan industri. Tanpa izin dan sepengetahuan masyarakat adat, PT. TPL mendiami wilayah adat tersebut perlahan-lahan dengan melakukan aktifitas pembabatan hutan lalu menanami ekaliptus sebagai bahan baku pabrik. Bentrok dengan warga kerap terjadi dimana warga berhadapan dengan aparat hukum yang menjaga di areal perebutan lahan dan kemudian dipenjara.
Saat ini ada sekitar 23 komunitas masyarakat adat yang tersebar di 5 di Kabupaten Kawasan Danau Toba yang berkonflik dengan PT TPL. Koalisi Gerakan Tutup PT. TPL yang terdiri dari komunitas-komunitas masyarakat adat di kawasan Danau Toba meminta kepada Kementrian Lingkungan Hidup untuk mencabut izin konsesi PT. TPL di kawasan Danau Toba. Juga kepada Pemerintah Kabupaten menerbitkan Perda Penetapan Masyarakat Adat di 4 Kabupaten (Simalungun, Samosir, Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan). Tuntutan ini dibawa ke Presiden Jokowi oleh Tim 11 yang melakukan aksi jalan kaki selama 44 hari dari Sumatera Utara ke Istana Presiden di Jakarta. Saat ini pemerintah pusat telah membentuk Satuan Tugas untuk menangani kasus ini.
Sebelum kehadiran perusahaan ini, masyarakat di kawasan Danau Toba hidup dari hasil hutan, berladang, beternak dan bersawah. Namun saat ini, sumber mata pencaharian masyarakat adat terus mengalami penurunan. Jika PT. TPL terus beroperasi. Hutan dan alam akan semakin rusak, kearifan lokal semakin hilang dan hanya akan dipenuhi industri. Tida hanya merugikan masyarakat adat, tapi juga wisatawan.
PT Dairi Prima Mineral
Satu lagi industri yang diduga melakukan pencemaran lingkungan dan dituntut untuk segera ditutup adalah PT Dairi Prima Mineral (DPM). Akhir Mei 2021 lalu Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) dan Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) merilis laporan berjudul Analisis Hukum Kejahatan PT Dairi Prima Mineral (DPM). Dalam laporan tersebut terdapat sejumlah temuan yang terindikasi merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang memproduksi timah dan seng, PT DPM.
Kehadiran PT DPM itu dinilai bermasalah. Pertama, lokasi perusahaan berada di kawasan zona gempa dan kontur tanah yang tidak stabil. Ke dua, berpotensi mencabut ruang hidup rakyat yang kebanyakan bekerja di sektor pertanian. Ke tiga, berpotensi mengakibatkan konflik agraria dan konflik horizontal, antara masyarakat yang pro dan menolak. Hal ini disebabkan adanya dampak buruk bagi hasil tani di 11 desa yang bersentuhan langsung dengan PT DPM, namun ada sebagian warga yang menjadi pekerja di sana membela keberadaan PT DPM.
Ke empat, ancaman keselamatan warga dan lingkungan hidup. Hal ini berdasarkan kajian dari Jaringan Advokasi Tambang Nasional (JATAMNas) dan Perhimpunan Bantuan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) terhadap AMDAL PT DPM 2005 yang menemukan adanya dugaan pelanggaran terkait perbedaan klasifikasi lapangan usaha PT DPM, jarak gudang bahan peledak yang dekat dengan pemukiman penduduk, perpanjangan otomatis kontrak karya PT DPM. Selain itu PT DPM tidak memiliki persetujuan lingkungan yang baru dan dugaan pelanggaran masa waktu IPPKH, serta ketidaksesuaian perencanaan tata ruang.
PLTU Batubara Pangkalan Susu
PLTU Pangkalan Susu selesai dibangun pada Mei 2016 di area seluas 105 Ha, berlokasi di Desa Tanjung Pasir Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. Sekitar 120 km dari Medan. Pembangunan Proyek ini bagian dari kebijakan pemerintah dalam program Percepatan pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik berbahan bakar batubara 10.000 MW.
Dibangunnya PLTU ini telah membabat habis sedikitnya 115 hektar hutan mangrove. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Srikandi Lestari disimpulkan bahwa pemusnahan hutan mangrove ini ternyata berakibat fatal, khususnya bagi masyarakat nelayan yang berada di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Pangkalan Susu. Sebab hutan mangrove merupakan tempat berkembang biaknya bibit ikan, udang, kepiting serta hewan hewan laut yang menjadi sumber pencaharian nelayan setempat.
Begitu juga nelayan tambak yang merugi hingga ratusan juta rupiah karena benih ikan-ikan mereka mati akibat kualitas air dan udara yang buruk. Di sektor pertanian juga demikian. Hasil pertanian menurun akibat curah hujan sedikit dan berwarna hitam karena abu cerobong. Tentu saja ini berdampak pada penghasilan warga petani. Di tengah kesulitan ekonomi warga tersebut, pihak perusahaan justru memilih mendatangkan tenaga kerja asing untuk bekerja di PLTU. Selain itu, limbah cair dan udara dari pabrik berdampak pada menurunnya kesehatan warga.
Gangguan pernafasan (ISPA), lambung, dan gatal-gatal menjadi penyakit menahun yang tak kunjung sembuh karena warga tinggal di sekitar pabrik. Penderitaan warga sekitar sudah berlangsung sejak PLTU ini berdiri hingga saat ini. Warga menuntut adanya kebijakan pemerintah yang bertanggung jawab atas kerugian yang mereka alami karena kehadiran PLTU batubara Pangkalan Susu. Apalagi saat ini dunia sedang menggalakkan sumber energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan, kenapa Indonesia justru memilih jalan terjal untuk memenuhi kebutuhan energinya. (jp)