Oleh Uni Lubis
“Putri saya ada yang jadi jurnalis juga,” kata Bu Penny Williams, Duta Besar Australia untuk Republik Indonesia, begitu kami sama-sama duduk di teras belakang kediaman resmi Dubes, di kawasan Menteng, Jakarta. Angin sepoi-sepoi menyejukkan siang yang panas suhunya, Jumat (25/2) lalu. Informasi pertama itu membuat pembicaraan kami selama dua jam berikutnya jadi lancar dan hangat. Kami berbagai segala informasi, mulai dari keluarga, pekerjaan, isu terkait Indonesia-Australia sampai makanan kesukaan.
“Sulit menyebut mana masakan Indonesia yang suka, karena hampir semua saya suka,” ujar perempuan diplomat karir yang berasal dari Tasmania, bagian dari Negeri Kanguru yang terjauh dari Indonesia. Tapi, Bu Penny hati dan pikirannya sangat dekat dengan Indonesia. Tahun 1981-1982 dia menjadi bagian dari program pertukaran siswa tingkat menengah antar kedua negara. “Setahun saya sekolah di Kelas II, SMA 1 PSKD, dekat sini. Menteng,” kata Penny. Ketika ditugasi sebagai duta besar di Indonesia, sejak April 2021, Ibu empat anak itu merasa bagaikan “pulang kampung”.
Penny fasih berbahasa Indonesia, Spanyol dan belajar bahasa Arab selama 18 bulan sebelum ditempatkan di Suriah. Dia meraih gelar Bachelor of Asian Studies (Honours) yang berfokus pada Indonesia, dan Master of Applied Anthropology and Participatory Development.
Tak lama duduk di kursi sofa dengan jok warna biru cerah yang bikin betah, kami pindah ke meja makan yang disiapkan untuk berdua saja. Masih di teras belakang. “Sejak COVID-19 lebih nyaman ngobrol di ruang terbuka dengan sirkulasi udara seperti ini ya,” ujar Penny. Saya setuju. Kami melakukan uji usap antigen sebelum bertemu.
Sebelum kembali ke Indonesia, Penny adalah pejabat senior di Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia. Penny pernah bertugas sebagai komisioner tinggi untuk Malaysia, semacam Dubes juga, dan pernah menjadi duta besar perempuan pertama untuk pos diplomatik khusus mengurusi isu perempuan dan anak secara global. Makin asiklah ngobrol kami berdua.
Penny banyak bertanya soal lansekap media di Indonesia, bagaimana media bertahan selama pandemik? Bagaimana menjaga kualitas jurnalisme di aera digital? Bagaimana model bisnis yang mendukung ekosistem media? Isu apa yang menarik bagi konsumen media? Banyak lagi.
Sebagai peserta tetap program Australia-Indonesia Editor’s Meeting sejak 1997, dan pernah bekerja di hampir semua platform media, saya tak kesulitan menjelaskan situasinya ke Bu Dubes. Sebenarnya, banyak kesamaaan antara industri media di Indonesia dengan di Australia. Sama-sama berupaya bertahan dilanda disrupsi digital, pendapatan iklan yang disedot platfotm teknologi global, sampai godaan besar mendapatkan pengunjung dengan memasang judul sensasional. Click Bait.
“Saya tanya-tanya, kepada siapa saya bisa bertanya tentang media di Indonesia. Rekomendasinya, saya perlu mengundang kamu,” ujar Penny. Dia mengaku mengecek informasi tentang saya. “Usia kita gak terpaut jauh ya, saya merasa akan ngobrol asik nih,” ujar dia. Usia Penny 58 tahun. Saya lebih muda empat tahun. Kami sama-sama seorang Ibu. Tak urung kami berbagai kisah soal berkomunikasi dengana anak zaman now, millenials dan gen Z.
Saya menceritakan tentang IDN Times di mana saya menjadi pemimpin redaksi, dan ekosistem IDN Media. Termasuk Yummy.idn, culinary App, yang diunduh paling banyak di Indonesia selama pandemik. Ketika orang diarahkan bekerja dari rumah, maka banyak yang mencoba masak sendiri, berbekal resep yang didapat dari ranah internet. Penny suka memasak. Saya mengundangnya untuk berkunjung ke kantor pusat IDN Media dan memasak di Yummy Kitchen. Kami punya dapur yang cukup besar dan lengkap di kantor, tempat teman-teman Yummy setiap hari memasak untuk keperluan video resep. “Dengan senang hati saya akan menyediakan waktu untuk berkunjung ke dapur Yummy,” ujar Penny.
Saya juga bercerita soal Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) yang saya pimpin. Kegiatan kami selama pandemik cukup banyak, hampir setiap bulan ada webinar dan pelatihan. “Beritahu saya kalau ada yang bisa kita kerjakan bersama,” kata Penny. Saya mengatakan, FJPI perlu kerjasama pelatihan dan fellowships.
Penny adalah Dubes perempuan pertama dari Australia untuk Indonesia. Penunjukan Penny Williams sebagai Duta Besar oleh Menteri Luar Negeri Australia, Marise Payne, merupakan perwujudan komitmen pemerintah Australia untuk menunjang karir kaum wanita di kancah perpolitikan.
Dilansir dari laman resmi pemerintahan Australia, program dan kebijakan pemerintahan Australia untuk wanita dinamai dengan Office for Women. Program ini mengutamakan empat hal, yaitu kemakmuran wanita, keamanan bagi wanita dan anak, dan dukungan terhadap keadilan gender pada tingkat internasional.
Di awal masa jabatannya yang sudah masuk tahun ke dua pandemik, Penny memaparkan tiga komitmennya untuk Indonesia pada tiga hal. Pertama, menangkal pandemi COVID-19 bersama-sama. Ke dua, membangun hubungan yang lebih kuat antara Indonesia dengan Australia. Ke tiga, membangun hubungan ekonomi yang lebih kuat untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Sampai saat ini pemerintah Australia sudah membantu Indonesia dengan mengirimkan 500.000 dosis vaksin, 1.000 ventilator, 700 konsentrator oksigen & 20.000 alat uji rapid antigen, dalam cuitan Dubes Australia mengutip Marise Payne pada Jumat (3/9/2021) di twitter.
“Kita harus ngobrol-ngobrol lagi nih. Seru,” kata Penny, di ujung pertemuan yang berkesan itu. Saya menikmati percakapan dengan nyonya rumah yang ramah dan pandai, serta makan siang yang sehat dan lezat. Apalagi ditutup dengan cake Lamington khas Australia yang ditaburi parutan kelapa. Obat kangen kuliner khas Australia. Kapan lagi bisa ke sana?