Medan – Kasus pernikahan di bawah usia 19 tahun masih banyak ditemukan di Indonesia. Hal ini dikarenakan minimnya pendidikan kesehatan seksual di kalangan masyarakat. Satu faktor penyebabnya, karena permasalahan seksual selama ini masih dianggap tabu.
Dina Lumbantobing, Koordinator Konsorsium Perempuan Sumatera MAMPU (PERMAMPU) saat merayakan pekan Hari Kesehatan Seksual Internasional dengan pendidikan seksualitas bertema “Kesehatan Seksual untuk Kita dan Keluarga” yang dilaksanakan secara hybrid (13/2023) mengatakan, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen melakukan Amandemen UU Perkawinan No. 1/1974 menjadi UU No. 16/2019 tentang Perkawinan dan menyebutkan perkawinan diperbolehkan ketika usia di atas 19 tahun. Tetapi berdasarkan pengalaman lapang PERMAMPU, perkawinan usia ≤ 19 tahun masih banyak ditemukan karena minimnya pengetahuan Kesehatan Seksual maupun faktor lainnya.
PERMAMPU melakukan penyadaran publik terkait Kesehatan Seksual yang sering dianggap tabu. Padahal menurut WHO, sehat/sejahtera tidak hanya secara tubuh atau fisik, juga mental/emosi dan sosial. Namun sehat secara sosial ini yang sering tertinggal. Perempuan dan kelompok minoritas sering mengalami penghakiman dalam pemenuhan hak Kesehatan Seksualnya.
Spesialis Hak Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR), Dr. Budi Wahyuni yang juga Komisioner Komnas Perempuan periode 2015-2019 menjelaskan, masalah seksualitas terkait dengan aspek biologis, psikologis, sosial dan kultural.
“Banyak tokoh dan pengambil kebijakan masih malu berdiskusi topik seksualitas karena dianggap ajakan melakukan hubungan seksual. Ini salah besar, padahal membincang berbagai kehidupan terkait seksualitas tidak hanya pada perilaku seks, tetapi juga memahami alakontrasepsi, HIV/Aids, remaja, lansia, orientasi, menopause serta keprihatinan lainnya terkait Angka Kematian Ibu yang belum ditekan secara signifikan,” ujar Budi Wahyuni.
Lebih lanjut dikatakannya, dalam Dokumen ICPD Kairo 1994 bahwa, hak informasi dan pendidikan seksualitas menjadi hak setiap orang tanpa terkecuali. Informasi ini dibutuhkan sejak dalam konsepsi, bayi lahir hingga masuk liang kubur. Namun informasi yang diperoleh tidak lengkap dan tidak tahu akses untuk memperoleh informasi, padahal dorongan seks tidak dapat direncanakan.
Lebih dari 200 peserta hadir secara online dalam kegiatan ini terdiri dari unsur kelompok perempuan muda, perempuan akar rumput dan feminis, birokrat yang tersebar di seluruh Provinsi di Sumatera, bahkan Wali Nagari dan Pengurus lembaga. Mereka adalah dampingan, perwakilan lembaga maupun jaringan Flower Aceh- Aceh, PESADA-Sumatera Utara, PPSW Riau-Riau, LP2M-Sumatera Barat, APM-Jambi, CP WCC- Bengkulu, WCC Palembang- Sumatera Selatan, DAMAR-Lampung.
Hendri-Wali Nagari Koto dari Sumatera Barat merefleksikan apa yang terjadi di Nagari sebenarnya tidak ada yang menikah anak, tapi ‘kecelakaan’ di bawah umur karena kehamilan yang tidak diinginkan. Kemajuan teknologi yang membuat mereka tidak tahu menjadi tahu informasi perilaku seksual yang salah.
Budi Wahyuni menutup diskusi dengan menjelaskan, jika anak dan orangtua dasarnya kuat mengenai HKSR dengan mulai mendiskusikan isu ini ke orang tua dan Komunitas, maka masalah seksual dapat diatasi. Sehingga yang muncul bukan lagi isu atau mitos yang menakuti.
Dampak hubungan seks kepada anak laki-laki sendiri secara organ fisik tidak ada, belum ada penelitian mendalam terkait kematangan sperma namun bisa juga secara psikis berdampak. Perempuan jauh lebih rentan dari pada laki-laki. Ketidakmatangan sel mukosa pada organ reproduksi Perempuan dapat memicu kanker serviks. (jp/rel)