Palembang – Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) menambah cabangnya yang ke-18, yakni di provinsi Sumatera Selatan. Sekretaris Jenderal FJPI Tri Rizki Ambarwatie, melantik jajaran pengurus  FJPI Sumatera Selatan untuk periode 2025-2028, yang digelar di Rumah Dinas Walikota Palembang, Selasa (12/08/2025). Pelantikan ini menjadi momentum penting untuk memperkuat peran jurnalis perempuan di tengah tantangan dunia media yang kian dinamis.

Acara pelantikan ini dihadiri oleh Sekretaris Daerah Kota Palembang Aprizal Hasyim, Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Sumatera Selatan Rika Efianti, organisasi Jurnalis, organisasi perempuan, akademisi dari UIN Raden Fatah Palembang, serta puluhan anggota FJPI dari berbagai daerah.

Ketua FJPI Sumatera Selatan, Dwitri Kartini menegaskan bahwa kepengurusan baru akan berfokus pada tiga agenda utama, yaitu penguatan kapasitas jurnalis perempuan, advokasi isu kesetaraan gender dalam pemberitaan, serta perluasan jejaring dan kolaborasi lintas sektor. Sebab kata Dwitri, di tengah disrubsi media yang mengharuskan media cetak untuk beradaptasi di dunia digital, begitu juga media online yang semakin tergerus pemberitaan warga net di media sosial. Maka melalui FJPI Sumatera Selatan, jurnalis perempuan bisa membuka peluang belajar yang lebih banyak lagi.

“Melalui ruang-ruang intelektualitas dan advokasi untuk jurnalis perempuan yang ada di Sumatera Selatan,” kata Dwitri Kartini.

Jurnalisme Inklusif

Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Sumatera Selatan mendorong penguatan praktik jurnalisme inklusif sebagai salah satu kunci kebebasan berekspresi, khususnya bagi jurnalis perempuan. Dorongan ini disampaikan dalam diskusi publik bertema “Urgensi Penguatan Jurnalisme Inklusif untuk Kebebasan Berekspresi bagi Jurnalis Perempuan” di Rumah Dinas Walikota Palembang, usai pelantikan.

Diskusi tersebut menghadirkan para jurnalis, akademisi, aktivis media, dan pegiat perempuan untuk membahas tantangan sekaligus peluang menciptakan ruang media yang aman, setara, dan bebas diskriminasi gender. Topik yang diangkat meliputi bias gender dalam liputan dan ruang redaksi, perlindungan hukum bagi jurnalis perempuan, praktik terbaik membangun jurnalisme berkeadilan gender, hingga peran media dalam memperkuat narasi keberagaman.

Dua narasumber utama dihadirkan, yakni Sekretaris Jenderal FJPI Pusat, Tri Rizki Ambarwatie, dan Kepala Program Studi Jurnalistik Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang, Jufrizal.

Dalam penyampaian materi, Tri Rizki menegaskan, jurnalisme inklusif menjadi pilar penting dalam menjamin kebebasan berekspresi bagi jurnalis perempuan yang masih menghadapi hambatan di lapangan. Ia menilai, bias gender di ruang-ruang redaksi masih kerap memengaruhi peluang kerja, penugasan liputan, hingga penentuan ide atau angle berita.

Dalam banyak kasus, isu perempuan dan keberagaman tidak mendapat porsi yang setara atau diberitakan tanpa perspektif yang tepat. Sehingga menimbulkan banyak perspektif seperti bias gender. Menurut Tri, masih banyak perempuan yang belum bebas dalam kerja jurnalistik, bahkan mengalami diskriminasi di ruang redaksi. Tak hanya dalam ruang redaksi, jurnalis perempuan juga kerap dihadapkan dengan ganguan-gangguan lain saat menyampaikan pemberitaan ke masyarakat luas.

“Seperti kasus pengiriman kepala babi kepada jurnalis perempuan Tempo, dan kasus lain yang pernah diadvokasi FJPI,” kata Tri.

Menurutnya, penerapan jurnalisme inklusif memberi kesempatan yang sama, suara setara, dan perlindungan memadai bagi jurnalis perempuan, baik dari kekerasan daring maupun luring. Baik di ruang redaksi maupun luar redaksi.

“Perspektif gender perlu dipahami jurnalis dan dipraktikkan di ruang redaksi, agar pemberitaan tidak bias dan semua suara mendapat tempat yang adil,” tegasnya.

Juga menjadi tantangan tersendiri bagi jurnalis perempuan yang menjadi korban kekerasan saat menyampaikan sebuah berita. Hal ini memang butuh peran berbagai pihak untuk mendukung jurnalisme inklusif.

Sementara itu, Jufrizal menjelaskan bahwa jurnalisme inklusif adalah praktik jurnalistik yang tidak memandang suku, ras, agama, maupun gender dalam proses kerja pemberitaan. Ia menyoroti bahwa di dunia media, penerapan jurnalisme inklusif masih minim dan sering terhambat oleh pola pikir atau kebijakan redaksi yang belum berubah.

“Jurnalisme inklusif menghasilkan karya yang dapat diterima semua kalangan, karena tidak membatasi pada unsur-unsur tertentu,” katanya.

Namun, dalam pengamatannya sebagai akademisi yang berkecimpung di dunia jurnalistik, masih banyak berita yang bias gender, menyinggung isu agama, atau menggunakan judul provokatif. Bahkan, beberapa upaya jurnalis untuk menulis secara inklusif kerap terhenti di meja redaksi.

“Banyak jurnalis sudah mencoba menulis secara inklusif, tetapi belum didukung kebijakan redaksi,” kata dia.

Adanya penerapan jurnalisme inklusif yang dimulai dari ruang-ruang redaksi bisa meminimalisir kasus-kasus berita bias gender dan memberi ruang bagi jurnalis untuk bebas berekspresi dalam menuliskan pemberitaannya.

“Kami rasa ini poin yang sangat penting, sehingga jurnalisme inklusif ini bisa diterapkan,” kata dia. (jp/rel)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini