Pertunjukan seni kolaborasi di Medan bukan hal baru, jarang, tapi tetap ada secara periodik. Namun, pertunjukan seni yang dilakukan secara berdikari alias dengan pendanaan swadaya senimannya sendiri, sangatlah jarang terjadi. Adalah Zamatra, sebuah acara yang dilakukan oleh Jaringan Seni Sumatera, menjadi satu dari sedikit acara seni swadaya yang dihelat di Medan. Acara keroyokan seniman muda Medan ini sudah memasuki kali ke empat. Meliputi seni rupa, musik, sastra, dan diskusi seni dengan melibatkan puluhan seniman. Di antaranya Elisantus Sitorus (Filsafatian), Soerkam, Jacky Raju Sembiring, Istri Wajib Satu, Fredricho Purba, Deepi Tarigan.
Bertempat di Galeri Tonggo milik kurator barang antik Jim Siahaan pada 5-7 Oktober 2018 lalu, kali ini selain melibatkan seniman indie, kolaborasi juga menggandeng para musisi klasik dari IKAMUS. Di antaranya Diana Lumban Tobing dan Chadenza Chamber Music, Harry Dikana Situmeang, Immanuel Siagian, Valentino Sitepu, Aurora Septiana. Kolaborasi ini menyuguhkan acara seni yang sangat jarang terjadi terutama di Medan, yakni mempertemukan musisi indie dengan klasik. Penonton bisa menikmati musik etnik, blues, hingga konser musik klasik. Sebagai salah satu kaum proletar pertunjukan seni berkualitas dan tanpa harus membayar, acara Zamatra#4 Dua Sisi ini adalah gizi yang baik bagi kewarasan rasa dan rasio.
Kolaborasi Hati
Tanpa mencoba menonjolkan diri secara berlebihan, seluruh seniman yang terlibat dalam acara ini membaur dengan kompetensinya masing-masing. Masih dengan semangat kolektif kontributif, mereka melahirkan Zamatra#4. Terlepas dari fasilitas penunjang seperti sound system, tempat pertunjukan, dan sebagainya yang masih sederhana, Zamatra dan IKAMUS mempertemukan seniman dengan penikmatnya yang berasal dari berbagai latar belakang. Silaturahmi seni ini membuka sekat-sekat yang membatasi selera seni yang berbeda-beda. Sebuah fase yang sukses untuk menaikkan level aksi yang lebih hebat lagi dan lebih meluas lagi ke depannya.
Tanpa adanya kesadaran dan niat tulus untuk merangkul pecinta seni di Medan, seniman-seniman yang terlibat dalam acara ini tidak akan hadir dan berkolaborasi. Apakah kelanjutan dari acara ini akan lebih baik lagi, semoga tidak menjadi beban melainkan sebuah tantangan yang menarik. Mampu merangkul seniman lain dan meluaskan jaringan seni. Meruntuhkan sekat-sekat lain yang menghalangi pertumbuhan budaya berkesenian terutama di Medan.
Merasa Mewah
Saya merasa tidak berlebihan jika Zamatra#4 ini kembali membuat saya merasa mewah menjadi penonton yang boleh datang dan menikmati setiap pertunjukan seni yang disuguhkan. Alasannya ada dua. Pertama, saya tidak perlu membayar. Ini adalah panggung rakyat, acara berkesenian yang sangat dekat dengan penontonnya. Saya cukup hadir, duduk manis di kursi penonton, dihibur oleh para musisi, mendapat pengetahuan dari diskusinya, melihat lukisan dan foto – meskipun koleksinya tidak banyak, boleh melihat koleksi barang antik di galeri Tonggo Jim Siahaan, melihat kolaborasi tari kontemporer dengan solo celo yang bikin merinding. Saya, kaum proletar seni di Medan, boleh merasakan seluruh pertunjukan itu tanpa harus mengeluarkan uang, jika tolak ukur kemewahan itu adalah uang. Saya disantuni oleh seniman-seniman itu.
Alasan kedua, hadir di acara tersebut membuat saya menjadi bagian dari jaringan seni yang baik ini. Saya bertemu teman-teman baru, bertemu teman-teman lama yang jarang bertatap muka. Saya merasa mewah ketika boleh membaur dalam perputaran energi yang sedang berlangsung saat itu. Perasaan hangat ini bahkan masih terbawa beberapa hari setelah acara selesai. Masih terngiang suara Aurora Septiana menyanyikan lagu ‘I’ve Dreamed A Dream’ dengan begitu luar biasa.
Saya merasa bersalah jika apa yang saya alami ini tidak saya tuliskan dan apresiasi. Jika Gubernur Sumut menyuruh warganya agar berdoa kepada Tuhan semoga kota Medan tidak banjir di musim penghujan ini, maka kali ini saya lebih memilih berdoa kepada Tuhan agar para seniman di acara Zamatra#4 sehat dan sukses selalu. Semoga Tuhan memberkati seniman-seniman berhati mulia yang tulus menyantuni kami para kaum proletar seni di Medan khususnya. Agar kewarasan kami tidak direnggut oleh kepicikan pikir dan setar-setir politisi yang sedang ‘manggung’ di tahun-tahun Pemilu ini. Amin. (Diana Saragih)