Jurnalis Perempuan Papua bersama dengan aktivis perempuan dan organisasi perempuan lainnya, hari ini turun ke jalan memperingati Hari Perempuan Internasional yang biasa diperingati setiap 8 Maret. Aksi tersebut dilakukan di Lingkaran Abepura, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua dengan membagikan bunga kepada pengguna jalan, sebagai tanda kasih sayang. Para perempuan ini juga membagikan pinang sirih sebagai tanda lambang damai serta membawa peralatan spanduk yang bertuliskan “Kalau ko (kamu) laki – laki sejati ko (kamu) tra (tidak) pukul perempuan.”
Koordinator Jaringan Anti Kekerasan Berbasis Gender Jayapura, Fien Yarangga, mengatakan aksi turun ke jalan sengaja dilakukan agar masyarakat, pemerintahan serta parlemen perempuan melihat kekerasan perempuan di Papua.
“Perempuan yang mengalami kekerasan, harus melapor ke polisi atau ke pihak terkait yang paham tentang kekerasan, seperti Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan anak (P2TAP), polisi, LBH Apik Jayapura, LP3 Apik Papua,” ucap Fien di sela-sela aksi.
Aksi turun ke jalan yang dilakukan oleh kaum perempuan di Papua juga dilakukan karena kekerasan terhadap perempuan dan anak di Papua tinggi dengan modus yang beragam. “Jika masyarakat mengantisipasi dengan baik dan ada kebijakan tegas pemerintah, diharapkan kekerasan terhadap Papua tak lagi terjadi,” ujarnya.
Sementara itu Direktur LBH Apik Jayapura, Nur Aida Duwilah mengatakan saat ini jumlah kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan mulai dari bulan Januari hingga Maret 2018 terdapat 8 kasus dan baru ada 2 kasus yang ditangani oleh LBH Apik. Nunung Kusmiaty, salah satu jurnalis perempuan di Papua yang ikut dalam aksi tersebut menyebutkan kekerasan terhadap perempuan saat ini tak hanya kepada kekerasan fisik, tapi mulai terjadi kekerasan berbasis gender. Artinya, banyak hak perempuan secara sadar dan tidak sadar dipasung oleh laki-laki atau pasangannya.
Kekerasan berbasis gender yang dimaksud misalnya ada larangan perempuan tak boleh keluar malam atau perempuan tak boleh melakukan pekerjaan laki-laki dan banyak hal lainnya. Kata Nunung, biasanya larangan yang diberikan kepada perempuan ini karena kekhawatiran berlebihan ataupun perasaan takut dan tak ingin perempuan dalam bahaya. Apalagi tidak semua laki-laki bisa memahami perempuan berkarir.
“Jurnalis di Papua bisa membantu dalam mensosialisasikan hal ini, salah satunya lewat pemberitaan, agar masyarakat lebih paham, terutama perempuan bisa tahu dan paham hak-haknya,” ucapnya. (Lita/jp)