fjpindonesia.com – Minimnya anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perempuan di 19 kabupaten/kota di Sumut mendapatkan kritikan dan kecaman dari berbagai pihak. Hal ini dinilai karena Bawaslu terkesan tidak mengindahkan aturan yang sudah diamanatkan.
Berdasarkan aturan, tindakan khusus percepatan jumlah perempuan melalui kuota pada dasarnya telah digariskan di berbagai aturan negara. Salah satunya adalah dalam UU No 7 tahun 2017, tentang Pemilu pada pasal 92 ayat 11 yang menyebutkan bahwa komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/kota harus memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
“Tapi pada kenyataannya. Hasil seleksi yang baru-baru ini dilakukan menunjukkan hanya 1 orang perempuan dari 7 anggota Bawaslu Provinsi Sumut. Atau sama dengan 14 persen. Sementara di Bawaslu kabupaten/kota, hanya 15 perempuan dari 115 orang anggota atau sama dengan 13 persen. Jauh di bawah 30 persen,” papar Manajemen Pengetahuan dan Jaringan Perkumpulan Sada Ahmo (Pesada), Dina Lumbantobing, Rabu (15/8).
Koordinator WCC Sinceritas ini juga menyebutkan, untuk Bawaslu Kab/Kota, perempuan hanya berada di 9 Kabupaten dan 5 Kota, yaitu: Kab. Tapanuli Tengah, Langkat, Karo, Deli Serdang, Asahan, Dairi, Nias Selatan dan Humbang Hasundutan, Padang Lawas Utara, Kota Pematang Siantar, Sibolga, Binjai, Tebing Tinggi dan Gunung Sitoli. “Untuk Kota Tebing Tinggi, memang terdapat 2 perempuan dari 3 anggota (66%), sementara di 19 Kabupaten kota kosong perempuan. Ini sungguh ironis,” tegas Dina.
Lebih lanjut dikatakan Dina, Pesada sebagai lembaga penguatan perempuan mempertanyakan komitmen bahkan mengecam Panitia Seleksi Bawaslu Provinsi Sumut Periode 2018-2023 mengenai pentingnya perempuan dalam proses pemilihan sebagai salah satu indikator demokrasi khususnya dalam menjaga kualitas pemilihan.
Disebutkannya, kekosongon perempuan di sebagian besar wilayah tingkat dua dan rendahnya persentase perempuan secara keseluruhan adalah wajah dari ketidakpedulian tim seleksi terhadap pentingnya keterwakilan bahkan kesetaraan perempuan dan laki-laki di semua institusi public. “Sebagaimana diamanahkan dalam UU RI No 7 tahun 2017 dan Nawacita, sub-agenda prioritas 2 dari agenda prioritas kedua (membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya), yaitu meningkatkan peranan dan keterwakilan perempuan dalam politik dan pembangunan,” terang Dina.
Di sisi lain, kebijakan affirmative untuk perempuan seyogyanya berada di persentase paling minim yaitu 30%. Namun sejauh ini, kata dia terlihat hanya sebatas imbauan dari Pemerintah, yang cenderung diabaikan dan pelanggarannya tanpa sanksi. “Ini sangat jelas terlihat dari hasil seleksi seperti tersebut di atas,” terangnya.
Jika seperti ini, bagaimana pertanggungjawaban dari tim seleksi, sebagai sebuah tim yang bertanggung jawab untuk jalannya demokrasi ? adakah demokrasi tanpa keterwakilan minimal perempuan di seluruh lembaga pelaksana khususnya pegnawasan seperti Bawaslu?.
“Apakah demokrasi telah menjadi arena transaksi sebagaimana telah disampaikan oleh beberapa calon perempuan dan dugaan umum berbagai pihak ? Bagi Pesada ini adalah pelanggaran UU dan Kekerasan Politik Sistematis kepada Perempuan,” tegas Dina.
Minimnya keterwakilan perempuan dalam keanggotaan Bawaslu se Sumut tersebut, lanjut Dina, harus menjadi peringatan bagi tim seleksi KPU Provinsi dan Kab/Kota di Sumatera Utara agar konsisten menjalankan amanat pasal 10 (ayat 7) UU RI No. 7 Tahun 2017.
“Pesada perlu mengingatkan bahwa komposisi keanggotaan KPU, yaitu keanggotaan KPU Provinsi, dan keanggotaan KPU Kabupaten/Kota harus menunjukkan secara konkrit keterwakilan perempuan, paling sedikit 30% (tiga puluh persen),” tegasnya.
Di tempat terpisah, Kepala Divisi Penyelesaian Sengketa Informasi di Komisi Informasi Publik (KIP) Provinsi Sumut, Ramdeswati Pohan juga menyebutkan kekecewaannya terhadap hasil seleksi Bawaslu se Sumut.
“Kita sangat kecewa terhadap hal ini. Sebab kita pantau sampai akhir di tangan tim seleksi cukup banyak perempuan yang lolos. Itu bisa kita lihat di beberapa daerah seperti Medan, Deliserdang dan lainnya. Namun, setelah masuk di fit and profer tes yang ditentukan oleh Bawaslu, perempuan berguguran semua. Ini yang perlu kita pertanyakan kepada Bawaslu,” ujar Ramdeswati yang juga Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) ini.
Dikatakannya, sangat disayangkan kondisi ini terjadi. Sebab, cukup banyak perempuan yang mengikuti seleksi Bawaslu di Sumut. Bahkan, tim seleksi juga sudah melakukan proses yang berjenjang untuk menghasilkan peserta perempuan yang memiliki kapabilitas dan bukan hanya sekadar untuk memenuhi kuota perempuan. “Tapi itu tadi, setelah masuk ke tahap akhir yakni fit and profer tes, justru blunder. Makanya kita pertanyakan ada apa pada proses fit and proper test di Bawaslu ? Rasanya tak perlu ada fit and proper test kalau hasilnya mengabaikan hasil seleksi yang telah ditempuh para kandidat pada tahapan sebelumnya. Jangan sampailah komisioner yang terpilih ini berbau KKN,” tegas Ramdeswati. (Ang/jp)