5 Pemenang Lomba Menulis #SahkanRUUPKS Kerja Sama FJPI, IDN Times, dan The Body Shop

 

Oleh Fitria Madia

Palu sudah diketok, keputusan sudah ditentukan. Gangga (bukan nama sebenarnya) harus menjalani sanksi yang diberikan oleh pihak kampus IAIN Tulungagung. Mahasiswi IAIN Tulungagung ini dituduh melanggar kode etik karena telah berbuat zina. Nyatanya, Gangga adalah korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh seniornya di kampus.

Pihak kampus IAIN Tulungagung menjatuhkan hukuman skorsing selama satu tahun untuk Gangga pada 19 Januari 2021 lalu. Sudah jatuh, tertimpa tangga, kejatuhan genting pula. Begitulah yang dirasakannya saat menjadi korban kekerasan seksual tapi malah dihukum. Sementara sang pelaku? masih bisa melenggang bebas. Sanksi yang diberikan bagi pelaku hanya berupa penahanan ijazah. Sementara ia sudah diwisuda dan mengantongi surat keterangan lulus yang masih bisa digunakan sebagai pengganti ijazah.

“Gangga masih sangat trauma dan tertekan. Apalagi saat teman maupun saudara menyayangkan beasiswanya yang hilang dan saat ia melihat atau mendengar teman-temannya sibuk ngurusin kuliah. Padahal dia berjuang untuk keadilannya, malah dihukum seperti ini,” tutur rekan sekaligus pendamping Gangga, Fathur Rohman.

Kasus Gangga menambah daftar panjang korban kuadrat kekerasan seksual. Penyelesaian kasus yang masih abu-abu membuat korban semakin menderita. Stigma masyarakat yang masih lekat belum bisa menyelamatkan para korban pelecehan. Satu senjata ampuh untuk memutus rantai ini yaitu Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) juga belum jelas kepastiannya.

Gangga jadi korban kekerasan seksual tapi turut dihukum

Rohman menggambarkan kondisi Gangga yang saat ini memprihatinkan. Ia masih mengurung diri dari publik. Statusnya sebagai mahasiswa nonaktif akibat skorsing membuatnya semakin terbebani. Apalagi beasiswanya yang dicabut seakan memperkuat statusnya yang seolah menjadi “pendosa besar”. Keluarga yang seharusnya memberi dukungan, malah (lagi-lagi) memberi hukuman sosial kepada Gangga. Seakan-akan, semua ini memang murni kesalahannya.

“Dia sering bilang takut bertemu pihak kampus yang justru menyudutkan dirinya. Dia juga sering nangis sendirian dan minta waktu untuk rehat,” ungkap Rohman.

Padahal, Gangga tak berniat untuk mendapat hukuman. Ia hanya melaporkan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh senior kampusnya, MAA pada September 2020 lalu. Saat itu, mereka berdua hendak pergi berkemah di area Gazebo Wilis Kediri. Sebenarnya Gangga sudah tak nyaman pergi berdua saja dengan MAA, tapi rasa penasarannya terhadap area itu membuat Gangga terpaksa menerima paksaan dari MAA.
Nyatanya, perjalanan berkemah itu malah menjadi perjalanan ke neraka bagi Gangga. MAA rupanya berusaha memperkosa saat mereka meneduh di sebuah warung kopi yang tutup. Tak hanya kekerasan seksual secara fisik yang dilakukan, MAA juga melontarkan kata-kata kasar yang melecehkan Gangga. Hanya tangisan dan rengekan yang bisa Gangga lakukan untuk keluar dari mimpi buruk itu.

Gangga tak tinggal diam. Ia melaporkan kasus itu didampingi lembaga pers mahasiswa IAIN Tulungagung, Dimensi. Ternyata proses hukum kasus ini berjalan alot dan memberatkan Gangga. Bukannya mendapat keadilan dan pembelaan, ia malah diminta berdamai dengan MAA. Tak cuma itu, Gangga juga diskors selama satu tahun. Beasiswa yang selama ini menjadi pegangan Gangga untuk berkuliah pun dicabut. Sedangkan MAA, dia cuma mendapat penangguhan ijazah selama satu tahun.

“Ini menjadi pukulan sekaligus kebingungan melihat kampus tega memberi skorsing Gangga dengan tuduhan melakukan hal yang dianggap mendekati perzinaan dan dalih bahwa ini bukan kasus yang melibatkan kampus. Gangga yang sejak awal berupaya mencari keadilan, justru mendapat tambahan beban,” ucap Rohman.

Kekerasan seksual beda dengan zina

Pihak kampus memutuskan untuk menghukum Gangga karena menganggap ia melakukan perbuatan yang menjurus ke arah zina. Gangga disebut bersedia melakukan perbuatan zina karena berboncengan berduaan dengan MAA ke perkemahan. Padahal, ia sudah berkali-kali menjelaskan tak ada niatan untuk melakukan hal tersebut. Asas yang digunakan untuk menentukan hukuman perbuatan zina ini adalah kode etik mahasiswa IAIN Tulungagung.

“Mereka bersepakat untuk pergi bersama, berdua saja, naik ke gunung, menginap. Nah, kegiatan tersebut menurut penilaian pihak kampus mengarah pada perbuatan yang tidak etis,” ungkap Kasubbag Humas dan Informasi IAIN Tulungagung, Ulil Abshor.

Padahal, Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta Yulianti Muthmainah menjelaskan bahwa konsep zina dan kekerasan seksual atau perkosaan dalam Islam sangatlah berbeda. Salah satu perbedaan yang paling bisa dilihat adalah adanya persetujuan atau keinginan dari kedua belah pihak pada zina. Sementara perkosaan, sesuai dengan arti literalnya, berarti adanya pihak yang tidak setuju atau terpaksa.

“Untuk bisa dikatakan zina maka ada unsur suka sama suka atau antaradin. Kalau tidak ada keridhaan dari salah satu pihak maka tidak bisa disebut zina,” tutur Yulianti dalam Journalist Workshop ‘Indonesia Darurat Kekerasan Seksual dan Pentingnya Pengesahan RUU PKS untuk Melindungi Warga Negara Indonesia dari Kekerasan Seksual’ oleh IDN Times bekerja sama dengan The Body Shop dan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia, Sabtu (20/3/2021).

Perbedaan selanjutnya adalah adanya relasi setara antara keduanya. Relasi setara yang dimaksud adalah keduanya dalam keadaan sadar, aqil baligh yang berarti paham atau dewasa, serta ghairu majnun atau tidak gila. Jika salah satu pihak dalam keadaan tak sadar atau belum aqil baligh sehingga tak bisa membedakan antara benar dan salah maka belum bisa disebut sebagai zina.

“Dalam perkosaan juga ada hirabah atau muharib. Artinya yaitu orang yang masuk ke dalam wilayah seseorang, mengambil secara paksa, keji kemudian tidak memanusiakan manusia, perbuatannya tidak senonoh dan merendahkan martabat orang lain,” imbuhnya.

Dengan dua perbedaan di atas, dapat disimpulkan bahwa kejadian yang menimpa Gangga adalah perkosaan atau kekerasan seksual, bukan zina. Apalagi, untuk bisa menghukum pelaku zina perlu adanya empat orang saksi. Sementara dalam perkosaan, kesaksian dari korban saja sudah cukup tanpa perlu mencari kesaksian orang lain. Sayangnya, alih-alih kesaksiannya didengarkan dan diakomodasi, Gangga malah disanksi.

“Kesaksian perempuan menjadi kesaksian utama dalam penyelesaian kasus perkosaan. Bahkan Rasulullah SAW pernah memberi pembelaan terhadap perempuan yang sempat salah menuduh pelaku. Perempuan yang bilang ‘saya gak kelihatan Rasulullah karena gelap’. Bahkan, perempuan yang salah menunjuk pelaku saja dibebaskan. Ini perlindungan Nabi paling jelas terhadap perempuan,” tegas Yulianti.

Hukuman bagi korban memperparah kondisi jiwa

Tak bisa dipungkiri sanksi yang diterima Gangga membuatnya semakin tertekan. Rohman mengatakan bahwa hingga kini Gangga tengah menjalani konseling psikologis. Meski sudah mendapat penanganan profesional sejak November 2020, Gangga masih belum bisa kembali normal. Ia terus mengurung diri dan menyalahkan dirinya sendiri atas peristiwa yang terjadi. Apalagi belakangan ini identitasnya beredar luas yang membuatnya makin terbebani.

“Treatment yang diberikan dari Bu Ifada, selaku psikolog yang juga bekerja di Komisi Penanggulangan AIDS. Sebab psikolog yang difasilitasi kampus tidak memberikan treatment. Ia hanya berkomunikasi dengan Gangga sekali waktu pemeriksaan kedua. Setelah itu, psikolog dari kampus gak pernah berkomunikasi lagi dengan Gangga, bahkan sulit dihubungi,” sebut Rohman.

Melihat kondisi Gangga, Psikolog Yayasan Pulih Ika Putri Dewi M.Psi., menjelaskan bahwa kondisi batin korban memang akan semakin parah jika pelaku kekerasan seksual tak mendapatkan sanksi yang berat atau setimpal dengan perbuatannya. Ditambah lagi, Gangga malah turut mendapatkan sanksi yang jauh lebih besar dibandingkan sang pelaku. Tentu saja, luka batin yang dimiliki Gangga akan semakin menganga dan sulit disembuhkan dalam waktu cepat.

“Dia akan menghayati bahwa apakah betul kalau ini adalah salah saya? Pelaku ternyata bisa bebas dari konsekuensi hukum. Penghayatan eeperti itu akan semakin menyulitkan proses pemulihan,” ungkap Ika.

Oleh karena itu, Ika mengatakan bahwa dibutuhkan sebuah regulasi tegas untuk bisa menghukum para pelaku kekerasan seksual. Dalam hal ini, RUU PKS adalah jawaban paling tepat. Penyelesaian berbagai kekerasan seksual tersedia di RUU PKS, termasuk kekerasan seksual dalam kampus seperti yang dialami oleh Gangga.

“Ketika disahkan, RUU PKS itu komperhensif sekali. Ada detil dari perikaku kekerasan seksual, ada jaminan juga proses pemulihan itu dimonitor. Kemudian ada perangkat hukum yang menangani juga mestinya sesuai dengan kriteria punya perspektif yang tepat untuk menangani kasus. Jika disahkan, proses hukum terhadap korban akan tetap tidak mudah tapi mereka bisa yakin oh iya aku mengalami kekerasan seksual. Pelecehan seksual dan concern, nah itu tidak diatur di peraturan perundangan sebelumnya,” jelas Ika.

RUU PKS sebagai jawaban belum juga disahkan

Hanya saja, berbagai tujuan mulia dari RUU PKS masih jauh di angan-angan. Entah kapan RUU ini disahkan setelah bertahun-tahun terkatung-katung. Apalagi, RUU PKS sempat dicabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2020. Salah satu hambatan terbesarnya adalah masih banyaknya anggapan bahwa RUU PKS bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Berdasarkan laporan yang ditulis oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), meski mayoritas masyarakat sudah mengerti dan mulai mendukung RUU PKS, masih ada 17,1 persen responden yang percaya bahwa RUU PKS bertentangan dengan agama Islam. Suara 17,1 persen responden itu juga masih dipegang oleh sebagian anggota legislatif.
Padahal, Yulianti menjelaskan bahwa tak ada pertentangan antara RUU PKS dengan agama Islam. Ia menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW sudah menunjukkan keberpihakannya kepada perempuan dan korban kekerasan seksual sejak dulu. Sedangkan tak benar ada pasal yang melegalkan perbuatan zina atau perbuatan sesama jenis dalam RUU PKS.

“Sampai saat ini RUU PKS belum disahkan karena masih ada pertarungan dari perspektif agama. Dalam Islam sendiri, tadi saya sudah menjelaskan bila RUU PKS senafas dengan Islam. Selain itu, perspektif yang mengatakan bila RUU PKS mendorong munculnya zina, itu jelas berbeda,” tutur Yulianti.

Bukannya menentang ajaran Agama Islam, Yulianti menjabarkan bahwa pengesahan RUU PKS malah sebenarnya mendukung beberapa hal dalam Islam. Yang pertama yaitu hifz al-nafs atau perlindungan terhadap jiwa dan hifz al-aql atau perlindungan terhadap akal. Seperti yang diketahui, tujuan utama RUU PKS adalah mencegah terjadinya kekerasan seksual yang bisa merusak jiwa dan akal.

Tak hanya itu, mencegah terjadinya kekerasan seksual adalah perbuatan nahi munkar atau mencegah tindakan keji dan jahat. Pencegahan kekerasan seksual ini bagi Yulianti juga termasuk fardhu kifayah atau wajib bagi suatu umat.

“Hak asasi manusia atau non-derogable rights yang juga dijamin Konstitusi Negara RI (Pasal 28I ayat 1 UUD 1945 yakni hak hidup, hak bebas dari penyiksaan, dan hak tidak diperbudak) juga diperjuangkan dalam RUU PKS. Selain itu, mendiamkan kekerasan seksual sama seperti tindakan impunitas dan membiarkan munculnya calon pelaku lain,” tegasnya.

RUU PKS ditunda, kekerasan seksual meraja lela

RUU yang menjamin perlindungan kepada korban kekerasan seksual ini sebenarnya sudah diinisasi oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan sejak tahun 2012. Namun, berbagai halang rintang membuat pembahasannya tersendat dan tak kunjung disahkan. Akibatnya, kasus kekerasan seksual di Indonesia semakin meningkat.

Dalam catatan tahunan yang dirilis oleh Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat tiap tahunnya. Pada tahun 2017 terdapat 259.150 yang terekam oleh Komnas Perempuan. Jumlah ini meningkat pada tahun 2018 menjadi 348.446 kasus.

Pada 2019, kasus kembali meningkat tajam menjadi 431.471. Sementara di tahun 2020, pencatatan kurang maksimal dikarenakan adanya pandemik sehingga jumlah kuesioner yang terkumpul menurun hampir 100 persen. Meski demikian, dengan pengambilan data yang tak maksimal ini terdapat 299.911 kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk mulai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan berbasis gender, hingga kekerasan seksual di dunia maya yang semakin marak di masa pandemik.

Peningkatan kekerasan seksual juga dicatat oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta. Dalam catatan akhir tahun (Catahu) 2020 LBH APIK Jakarta, terdapat 1.178 kasus kekerasan berbasis gender yang dilaporkan kepada pihaknya. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2019 yaitu 794 kasus dan tahun 2018 sebanyak 837 kasus.

“Kita juga harus sadari bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan yang sangat buruk sehingga diperlukan sebuah perangkat yang bisa bertindak tegas dan adil untuk memberikan konsekuensi terhadap pelaku dan itu adalah RUU PKS,” ungkap Ika Dewi.

Berbagai desakan pengesahan RUU PKS

Keadilan bagi Gangga dan korban-korban kekerasan seksual lainnya harus diperjuangkan. Tanggung jawab bersama ini membutuhkan gotong royong dari berbagai pihak mulai aktivis, media, swasta, dan lainnya. Berbagai macam gerakan sudah dilancarkan untuk mendesak para wakil rakyat untuk segera membahas dan mengesahkan RUU PKS.

Salah satu langkah yang ditempuh oleh IDN Times adalah menempatkan pengesahan RUU PKS sebagai sikap kebijakan editorial. Salah satu dari tujuh konten pilar IDN Times adalah anti-pelecehan seksual yang sejalan dengan RUU PKS. Beberapa program khusus untuk membahas hal ini sudah dibuat IDN Times di antaranya yaitu webinar #NgobrolSeru bertajuk “Perempuan dan Perdamaian Dunia” bersama Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Lestari Priansari Marsudi.

“Ucapan kunci dari Menlu Retno adalah pengingat keras, strongly reminder, bahwa RUU PKS ini jika disahkan adalah investasi untuk melindungi perempuan dan anak-anak perempuan dari kekerasan seksual. Jadi, harus kita dukung bersama,” ungkap Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis.

Selain itu, perusahaan yang konsisten mengkampanyekan pengesahan RUU PKS adalah The Body Shop. Dengan pelanggan dan karyawan mayoritas perempuan, CEO The Body Shop Indonesia, Aryo Widiwardhono sudah menempuh berbagai cara untuk menunjukkan keseriusan mereka untuk mendesak pengesahan RUU PKS. Salah satunya adalah melalui penyebaran petisi yang sudah ditandangani oleh 428.865 orang dan diserahkan ke Komisi VII DPR RI.

“Kami mengajak masyarakat untuk concern terhadap upaya mendesak disahkannya RUU PKS, sebab korban tidak hanya perempuan, tidak hanya yang muda, laki-laki dewasa dan anak laki-laki juga bissa menjadi korban kekerasan seksual,” tutur Aryo.

Semoga teriakan-teriakan yang disampaikan oleh berbagai pihak ini membuat para legislator terdesak. Apalagi, saat ini RUU PKS telah resmi kembali masuk pada Prolegnas di tahun 2021. Jangan ada lagi alasan untuk menghalangi perlindungan bagi para korban. Jangan sampai ada korban kuadrat seperti Gangga di kemudian hari. Hentikan kekerasan seksual. Sahkan #RUUPKS.

Artikel ini telah terbit dan dapat dilihat melalui link berikut :
https://jatim.idntimes.com/news/jatim/fitria-madia/apes-kuadrat-korban-kekerasan-seksual-bukti-urgensi-ruu-pks/

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini