Balada Kartu ATM Kadaluarsa
Balada Kartu ATM Kadaluarsa

Oleh Linova Rifianty*

Tulisan ini meraih Juara 1 Kompetisi Menulis Artikel HUT LPDS 2021 Kategori Disabilitas/Berkebutuhan Khusus

 

Penampilan memang menipu. Meski usia (baru) masuk kepala lima (tetap merasa muda, bow!), ulasan cat hitam dari tangan gemulai keponakan berhasil menyamarkan uban-uban yang tadinya ramai bersilaturahmi.  Dalam satu setengah jam saja penampilanku ‘cingklong’ bersinar, jadi sepuluh tahun lebih muda. Walaupun sudah usaha begitu, pergerakan otot masih rada sulit disamarkan. Sejak cedera ‘head stand’ yoga, operasi tulang leher dan pinggang beberapa waktu yang lalu, aku harus dibantu sobat-sobat baru, mulai dari penyangga leher hingga tongkat magis ala Harry Potter yang bisa berubah menjadi bangku di kala tubuh letih. Maka dengan kelengkapan ini lenyaplah sosok jiwa mudaku tadi, ek!

Ajaibnya, aku masih bisa produktif bekerja, memanjakan putri tunggalku dan tujuh ‘kurcaci’ berekor yang hobi menggonggong ronda malam di halaman rumah. Suamiku wafat 8 tahun lalu. Thank you, Allah, secara finansial aku mandiri. Ini merupakan nikmat yang patut disyukuri. Dari zaman kuliah semester dua aku memang sudah mulai berusaha meniti karir dan tak ingin bergantung pada orang tua. Aku menyukai pekerjaan sebagai jurnalis foto lepas. “Keras kepala!” kata mendiang bapak yang menginginkanku meneruskan usaha perkebunannya, namun aku bersikukuh memilih jalan sendiri di bidang lain yang memang lebih sesuai dengan minatku. Awalnya hanya freelance, sekarang dipercayakan kantor pusat bertanggung jawab untuk memimpin tim redaksi sendiri se-pulau Sumatera.

Sumber Daya Manusia di kantorku merupakan karyawan karyawati yang cukup baik dan suportif. Kepekaan mereka tak tertandingi. Sejak selesai operasi, mereka mawas menjaga. Karena tahu bahwa aku tak terlalu suka diperhatikan, mereka kerap berpura-pura sibuk di depan layar komputer masing-masing, namun aku sadar mereka mengawasi dengan waswas ketika aku keluar masuk dari kendaraan kantor, menaiki tangga menuju ruangan, atau ketika berusaha duduk serta bangkit dari kursi.  Alhamdulillah, etos kerja masih bisa dipupuk tinggi meski kondisi motorik fisik kurang luwes. Masa ‘recovery’ tidak mengurangi kemampuanku berkarya di bidang pekerjaan.

Ironisnya, kesulitan menjelajahi dunia dalam sepatu seorang penyandang disabilitas justru signifikan terasa di luar kantor. Pernah suatu ketika aku menghabiskan seharian di sebuah perusahaan jasa perbankan yang dikenal dengan kualitas pelayanannya. Baru masuk saja antreannya sudah 30-an. Waduh! Saat melangkah masuk tangan terasa ragu meraih nomer antrean dari tangan satpam. Masih 27 giliran lagi. Jika saja masa muda bertahan lama pada manusia, maka urutan 60 pun bakal kujabani. Masalahnya, dengan usia yang sudah setengah abad dan tulang leher yang baru dibongkar-pasang oleh dokter, pinggang ke kaki masih sering linu ngilu sembilu, apalagi bila harus duduk lama menanti. Jeng jeng jeng, di hari itu pun penyangga leherku terasa lapuk, mesin pendingin ruangan tak sanggup meredakan ringkih badan yang menunggu. Pasalnya kartu ATM kadaluarsa dan aku tak punya pilihan, pengurusannya tak bisa diwakili. Mahadahsyatlah hari itu! Dor! Mati sajalah anak mudanya, Amang!

Ding! Masuk pukul tiga belas, aku berharap usai jam istirahat akan lahirlah layanan kilat, apalagi setelah staf bank melakukan transaksi ‘top-up’ perut makan siang. Seharusnya mereka jadi lebih semangat menyelesaikan permintaan nasabah yang mengantre. Akan tetapi, apa daya konter yang aktif hanya dua. Beragam kebutuhan pelanggan yang ditangani, buka tabungan, tutup tabungan, transfer, aih makjang! Jika seorang rata-rata menyita waktu 8 menit, dikali 30 antrean, dibagi 2 konter aktif, maka prediksi giliranku masih 2 jam lagi! Aduh… Leher, pinggang, lutut, mari berdamai…
Dengan muka memelas kudatangi satpam untuk mencari tahu bisa tidaknya difabel macam aku atau suami istri dengan balitanya yang tak pakai masker diduluankan di konter khusus. Mereka tampak lebih lelah, sudah puluhan kali ‘thawaf’ mengelilingi ruangan, menenangkan rengekan anak yang digendong bergantian.

“Nggak bisa, Bu, nanti yang duluan antre ngamuk!” Jarinya menunjuk ke bangku-bangku renggang berisi sederet milenial cantik, gagah, sehat, dan ranum. Bersaing dengan usia saja kalah, apalagi harus duel antrean dengan leher ditopang penyangga? ‘Knocked down‘ seketikalah aku. Rasanya seperti salah masuk server layanan bank! Lain kali menyimpan uang kembali ke celengan babi saja, tapi jika gaji bulanan masuk, kantorku bakal repot mengirim patung babinya. Nah, lho?? Masa difabel kudu menjadi “nasabah prioritas” menyimpan uang dengan jumlah ‘M M-an’ demi mendapatkan layanan prioritas? Alamakjang!

Pulang dari urusan ganti kartu ATM ini, ngeri kelamaan di ruangan ber-AC; takut tertular COVID-19, sampai rumah aku pun langsung mandi keramas lalu tergeletak di tempat tidur dengan badan gemetar kelelahan seperti habis ‘goyang ngebor’ tremor ala Inul Daratista. Hore! Nyaman sekali bisa rebahan menikmati hilangnya ‘trauma menunggu’ di atas kasur.

‘Baidewei’, kejadian berulang di awal tahun 2021, kartu ATM bank yang lain lagi mencapai expiry date. Di sebelah kursi yang dijarakkan satu meter dariku duduk seorang perempuan. Kondisinya gelisah, hamil tua, antre di kursi yang tak nyaman dan ‘so’ pasti makan pinggang.

“Kak, e, Kak, kalau menunggu kelamaan tiba-tiba bukaan 12, wusss, bayinya lahir, aku nyumbang nama, ya, ‘Antreano Lamano’,” kataku. “Kita dedikasikan nama itu untuk bank-bank di Indonesia yang tak ramah difabel, anak, orangtua, dan ibu hamil. Sah!”

Sebagai penyandang disabilitas, aku (eh, kami) tak butuh banyak dukungan aneh-aneh untuk bisa berkarya. Dengan lingkungan suportif yang sudah aku miliki di kantor, alhamdulillah, menjalani hidup ini terasa lebih mudah. Namun apalah esensi dari karir yang sudah berhasil dibangun dengan susah payah selama sekian dekade kalau aku yang mewakili ‘klan’ difabel tak sanggup menikmati hasil ‘panen’ dari kartu ATM kami sendiri dengan nyaman hanya karena pelayan umum seperti bank tak cukup ‘peka’ untuk menyediakan antrean khusus?

Slogan memang banyak menipu. Meski iklan bertebaran di mana-mana dengan customer service manis nan murah senyum, perusahaan-perusahaan perbankan sukses yang terkenal di se-antero nusantara ternyata masih krisis empati. Untungnya di rumah kupunya keponakan baik hati yang siap meminjamkan tangannya untuk memijat tubuh yang kaku-kaku sehabis kembali dari bank. Miris, aku berpikir, apa difabel lain atau kira-kira ibu yang hamil tua tadi punya tangan penolong juga untuk merilekskan dunia? Semoga.

*Penasihat FJPI, Kepala Biro TVOne Sumatera. 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini