Rilis film A Thousand Midnights in Kesawan (ATMiK) besutan sutradara Djenni Buteto dan Hendry Norman ditunda. Penundaan ini disebabkan belum dibukanya bioskop di Medan akibat pandemi covid 19.
Saat ditemui dalam sebuah diskusi tematis di Literacy Coffee, Minggu (20/6), Djenni Buteto mengatakan rencananya film ATMiK rilis akhir Juni 2021, namun karena kondisi belum memungkinkan akhirnya rilis filmnya ditunda.
“Distribusi film kita kan masih mengandalkan bioskop sebagai media eksibisi, selain juga screening di kampus dan sekolah. Namun situasi belum memungkinkan, jadi kita tunda dululah, dan informasi selanjutnya kita umumkan juga di media dan media sosial kita,” ujarnya.
Djenni berharap bioskop di Medan bisa segera dibuka seperti di beberapa kota besar lainnya. Namun tentunya dengan memperhatikan protokol kesehatan.
“Bioskop itu merupakan etalase utama film, pembuat film sekarang lesu karena bioskop pada tutup. Karya mereka kesulitan bertemu penontonnya meskipun sudah ada bioskop online. Masyarakat juga kan butuh hiburan. Dengan protokol kesehatan untuk bioskop seperti di kota-kota lain, Medan saya rasa bisa mengikuti,” ujar Djenni.
Produk Kreatif via Crowdfunding
Persoalan lain yang dihadapi para pegiat kreatif di tengah pandemi covid 19 ini adalah lesunya sponsorship. Banyak pekarya kesulitan finansial. Penjualan produknya tersendat, pertunjukan dan pameran tidak berlangsung secara fisik sehingga mempengaruhi promosi dan berimbas pada penjualan. Hal ini juga menimpa pembuat film. Sponsor dan investor yang selama ini sulit dijangkau pembuat film Medan semakin susah ditemui untuk membiayai produksi. Salah satu cara alternatif yang bisa dilakukan adalah dengan cara urun dana atau crowdfunding, dengan harapan karya-karya terus lahir meskipun masa pandemi.
“Crowdfunding ini membutuhkan manejemen tersendiri agar berhasil sesuai tujuannya, yakni pembiayaan produksi karya,” ujar Andi Hutagalung, salah satu sutradara film asal Medan. Saat ditemui dalam diskusi bertajuk ‘Produk Kreatif via Crowdfunding, Efektifkah?’ di Literacy Coffee, kemarin, ia menambahkan bahwa urun dana bisa dilakukan asalkan kesadaran dan apresiasi masyarakat akan produk kreatif sudah memadai.
“Masyarakat memiliki kepentingan sebagai konsumen akan produk-produk kreatif ini, mereka adalah pasar produk-produk kreatif ini,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Alween Ong, yang juga hadir sebagai salah satu pembahas. Menurutnya crowdfunding ini cermin harmonisnya hubungan kreator dan stakeholder, yakni masyarakat itu sendiri. Apalagi kita tahu bahwa pegiat bidang kreatif turut menunjang ekonomi pembangunan suatu daerah, sudah seharusnya mendapat perhatian oleh pemimpin daerah. Menurutnya Medan ini punya banyak pegiat bidang kreatif yang punya produk bagus dan bernilai ekonomi tinggi. Mulai dari musik, film, kriya, seni rupa, yang bisa berproduksi lebih baik lagi namun butuh modal produksi, promosi, dan pemasaran yang tepat.
“Ini yang perlu digiatkan dan butuh akses dari pemerintah untuk memperlancarnya. Itu support konkrit, pemerintah harus berinvestasi di situ,” paparnya.
Di bidang film, crowdfunding pernah dilakukan oleh Djenni Buteto saat membuat film panjang pertamanya La Lebay pada 2015 lalu. Saat itu ia meniru apa yang dilakukan Samaria Simajuntak, seorang sutradara film saat memproduksi film Demi Ucok. Ia melakukan crowdfunding untuk membiayai film tersebut dan cukup berhasil meskipun belum menutupi seluruh biaya produksi. Hal inilah yang ditiru Djenni Buteto di Medan untuk membantu produksi film La Lebay. Setidaknya ada 20 orang co-producer yang urun dana waktu itu.
“Sangat bahagia ada mereka yang mau urun dana untuk biaya produksi film La Lebay waktu itu. Sebagai feed back kami beri merchandise dan tiket serta namanya dicantumkan di credit title sebagai co-producer, mirip apa yang dilakukan oleh Samaria Simanjuntak. Aku sangat terinspirasi oleh beliau saat itu,” ujar Djenni.
Baginya sangat penting sekali orang Medan tetap memproduksi film dengan tema kedaerahan atau local issue. Sebab selain dalam sejarah tercatat bahwa kota ini pernah memiliki segudang produksi film yang beredar di bioskop nasional. Selain itu penonton film di Medan sangat tinggi jumlahnya. Ini adalah pasar positif bagi film sebagai produk kreatif. Tinggal bagaimana membuat film yang bagus dan menarik sehingga membangkitkan pamor film Medan minimal di pasar daerahnya sendiri.
“Setidaknya ada 99 profesi yang terlibat dalam sebuah pembuatan film. Jika ini hidup sebagai industri, bisa dibayangkan berapa lapangan kerja yang terbuka lebar. Potensi ekonominya sangat tinggi,” pungkas Djenni. (jp)