Setahun lebih Meilianda Program Manajer Sekolah Lapang, mengenalkan budidaya dan penanganan hama tumbuhan bagi petani kopi di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbanghasundutan (Humbahas) Sumatera Utara. Jurnalis salah satu media lokal di Sumut itu percaya sumber perekonomian masyarakat yang memiliki semboyan ‘Huta Mas’ tersebut bisa meningkat bila kualitas tanaman kopinya semakin baik.
Ya, komoditas pertanian terbesar penduduk Humbang Hasundutan adalah kopi. Akan tetapi petani di Dolok Sanggul hanya memahami cara bercocok tanam dan memanen hasil kopi. Ketika hama tumbuhan menyerang, para petani kerap kebingungan dan tidak tahu bagaimana langkah penanganan yang diperlukan. Apalagi jenis hama penyakit yang menyerang tanaman kopi tersebut cukup beragam sehingga tanaman masyarakat banyak yang rusak dan kualitasnya menurun.
“Ketika tanaman kopi rusak, sumber perekonomian masyarakatnya pun terganggu. Mereka mulai merambah hutan, melakukan penebangan liar. Jika dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan laju perambahan hutan menjadi perkebunan kopi akan semakin luas dan mengakibatkan Sumut semakin banyak kehilangan hutannya. Bahkan banyaknya penebangan hutan, membuat daerah tersebut rawan banjir dan longsor yang tentunya membahayakan masyarakatnya,” kata Meilianda sambil menyeruput kopinya.
Meski para petani kopi memperluas areal tanamnya dengan menebang hutan, namun produksi kopi mereka tidak serta merta meningkat jika pola bertani tidak dimaksimalkan. Karena itulah, Mei sapaan akrabnya pada Agustus 2013 silam mulai mendidik petani kopi di Dolok Sanggul mengenai jenis-jenis hama penyakit dan upaya penanggulan yang dapat dilakukan. Setidaknya ada sekitar 200 petani dari Desa Matiti Satu, Matiti Dua, Sosor Tambok dan Sipituhuta yang menjadi binaan Mei.
“Memang awalnya karena saya termasuk dalam Komunitas Peduli Hutan. Tetapi karena saya juga mencintai kopi, maka saya putuskan untuk terlibat langsung. Lalu kita mengajari para petani kopi tentang program peremajaan dan pengembangan tanaman kopi supaya mereka tidak merusak hutan. Dengan begitu, kualitas hasil tanaman kopi masyarakat bisa semakin baik. Selama ini, produksi dan kualitas kopi di sana sering menurun karena serangan hama,” terangnya.
Selama ini, kata wanita berambut pendek itu, pengembangan tanaman kopi petani hanya menggunakan metode tradisional. Para petani kopi juga mayoritas menggunakan pupuk kompos, sehingga produktivitas hasil tanaman juga terbatas. Pihaknya pun menyalurkan obat atau pestisida nabati untuk membasmi berbagai hama yang sering menyerang tanaman kopi masyarakat.
“Sekolah lapang ini baru satu tahun, tetapi hasil nya sudah bisa dilihat, sudah ada perubahanlah. Dulunya petani berpikir banyak daun banyak buah. Padahal itu anggapan yang salah. Memang daunnya lebat, tetapi tidak ada bunganya. Biasanya mereka juga main pupuk terus tetapi produksi kopinya tetap minim. Sekarang ini tanaman kopi petani mulai banyak bunganya dan berbuah. Artinya kualitas hasil tanaman kopinya semakin baik,” urainya lagi.
Menurut Mei, saat ini produksi kopi para petani mulai meningkat. Bahkan setiap minggunya bisa panen hingga satu ton dari yang biasa hanya berkisar 200 kilogram. Panen besar bisa dilakukan dua kali dalam setahun. Hasil panen lalu dibeli oleh koperasi dan dikelola secara alami sehingga menghasilkan bubuk kopi Arabika yang cukup terkenal bagi para pecinta kopi bahkan hingga keluar negeri. Karena aroma yang dimilikinya lebih harum dengan sensasi citarasa lebih spesifik dan khas.
“Setiap kopi punya ciri khas tersendiri salah satunya kadar keasaman. Tapi kopi asal Dolok Sanggul itu punya rasa yang kuat. Bahkan kopi ini juga sudah ekspor ke Amerika dan negara lain. Kalau yang sudah dalam bentuk bubuk dan dikemas harganya Rp140 ribu per kilogram. Promosi tetap kita lakukan. Di Februari ini juga akan panen lagi. Kita harap pemerintah daerah memberikan perhatiannya bagi para petani kopi ini, agar perambahan hutan bisa diminimalisir dan perekonomian masyarakat setempat juga terbantu. Dalam waktu dekat kita akan memperluas cakupan wilayah tidak hanya di empat desa itu saja,” pungkas Mei (jpF)