Bagi Nita Juniarti, menjadi pengajar muda dalam program Indonesia Mengajar anugerah dari Allah SWT dan kesempatan berbagi serta pengabdian pada Indonesia dan Aceh tanah leluhurnya. Sangat berat memang waktu itu, ketika ia harus memutuskan kemana langkah kaki ini, terus di Banda Aceh menjadi asisten peneliti dosen, menerima beasiswa ke luar negeri atau menjadi pendidik muda di daerah terpencil. Dan ia akhirnya memutuskan untuk mengabdi sebagai pengajar muda.
Nita (panggilan akrabnya), dinyatakan lulus di Indonesia Mengajar pada awal September 2016. Tepatnya pada 17 Oktober, pada tahun yang sama, perempuan kelahiran 09 Juni 1993 berangkat menuju Purwakarta, Jawa Barat, guna mengikuti pelatihan selama 2 bulan bersama 40 pengajar muda angkatan XIII lainnya. Pada 30 November, jurnalis di AcehNews.net ini pun ditempatkan di SDN 2 Inpres Baya, Desa Baya Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.
Kabupaten Banggai dengan ibukotanya Luwuk jarak ke Desa Baya sekitar 1,5 jam dengan menggunakan angkutan umum yang disebut Oto atau naik ojek. Di desa terpencil di Provinsi Sulawesi Tengah ini, menurut cerita anak sulung dari tiga bersaudara pasangan Azmi dan Nurbaiti ini, sering padam listrik, sinyal handphone juga sering edge. Sementara letak sekolah dasar dengan SMP dan SMA masih berjauhan.
“Kehidupan yang berliku yang telah saya tempuh membuat saya ingin berbagi dengan anak-anak negeri ini, Indonesia. Selain itu, saya ingin menguji pengetahuan saya sejauh mana saya mengenal negeri saya, mengenal budaya, dan masyarakatnya sebelum melangkah lebih jauh mengembara ke tanah-tanah tidak bertuan di negeri ini. Akhirnya, setelah perjuangan panjang saya berada di sini, Desa Baya, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah bertugas di SDN II Baya selama setahun,” cerita Fjpers Aceh (sebutan bagi anggota FJPI).
Sarjana Kebudayaan Islam UIN Ar-Raniry tahun 2015 ini menyebutkan, di sekolah dasar dengan jumlah murid sekira 130 orang ini, masih kekurangan pengajar. Hanya ada tiga guru PNS dan beberapa guru honorer dari luar desa yang bukan dari jurusan keguruan namun peduli pendidikan, sama seperti Nita. Masyarakat di Desa Baya umumnya adalah seorang petani kebun kelapa. Untuk pendidikan, anak-anak di sekolah dasar ini menurut Nita memiliki keinginan belajar dan sekolah yang cukup besar.
Hampir 5 bulan lebih, perempuan yang hobi traveling tinggal di Desa Baya, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Sekretaris Aceh Less Do It yang menjalankan program Pustaka Ransel ke Pelosok Aceh ini mengaku, mulai mengenal daerah timur Indonesia ini. Kata Nita, di Indonesia bagian timur ini dia menemukan suku yang tidak ditulis di dalam buku yang dia pelajari di sekolah, Suku Saluan.
Gadis ini pun tinggal dengan masyarakat Suku Saluan dan melakukan aktivitas kemasyarakat bersama. Keluarga piara (angkat) Nita adalah Suku Saluan asli. Mereka berbicara dalam bahasa Saluan meski bisa bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Saluan. Nita terus belajar beradaptasi terus menerus tanpa henti, dari cara hidup sampai cara makan masyarakat di sini yang jauh berbeda dengan adat dan budaya di tanoh Aceh.
“Selama hidup di Banggai ada hal menarik yang saya pelajari dari pemerintahnya yaitu program pinasa lengkapnya piana sampah ala. Menurut murid-murid saya artinya adalah jika ada sampah, maka diambil. Program ini membuat laut-laut di Sulawesi atau tempat wisata tidak ada sampahnya, yang ada hanya laut yang biru sejauh mata memandang. Program ini juga merambah ke sekolah tempat saya mengajar,” ungkap Wakil Sekretaris Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Aceh yang menyenangi anak-anak.
Lanjut Nita, sekolah di tempat dia mengajar selalu memungut sampah sebelum masuk kelas, biasanya dipimpin oleh Enci Erna (Ibu guru Erna) yang setia setiap pagi datang lebih awal dan mengawasi murid-murid padahal ia guru honorer.
“Saya berkhayal jika saja pemerintah Aceh juga punya program semacam ini, keren sekali rasanya dengan nama cok broh (ambil sampah: red) atau apapun namanya sehingga Aceh benar-benar menjadi daerah wisata yang bersih dan menarik untuk dikunjungi,” tulis pengajar PAUD dan Staff di Daycare UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Selama hampir lima bulan lebih di penempatan banyak hal yang Nita pelajari sebagai pengajar muda angkatan ke-13 di Indonesia Mengajar. Ablalar di Sekolah Turki Fatih Billigual School Aceh ini belajar banyak dari kehidupan masyarakat di sini, menyaksikan anak-anak ‘ajaib’ seperti di cerita film yang ditontonnya, yang rela bangun pagi lalu berjualan kemudian datang ke sekolah tepat waktu.
“Anak-anak di sini, subuh sekali pergi mencari kelapa dulu sebelum berangkat ke sekolah, anak-anak yang menyeberangi sungai demi sampai ke sekolah. Jarak ke sekolah yang jauh adalah hal biasa di sini, lalu saya berfikir betapa piciknya ketika saya berfikir dulu ada orang yang malas sekolah ketika mereka dekat dengan sekolah, fasilitas sekolah yang memadai, orangtua yang mampu menyekolahkan sampai setinggi apapun,” kata Nita.
Nita Jurniarti, setiap akhir bulan, salalu membacakan surat-surat dari teman-teman yang ingin berkirim surat memberikan motivasi bahwa tidak ada yang tidak mungkin selama kita mau dan selalu mengajak Tuhan dalam setiap langkah kita. Anak-anak didiknya di SDN II Inpres Baya selalu senang dan antusias, membuat mereka tidak henti bertanya jika sudah mendekati akhir bulan.
“Enci, surat dari mana kita akan baca dan balas bulan ini?” tanya anak-anak didik Nita. Meski rindu membuncah di kampung halaman, semangat anak-anak didiknya untuk belajar membuat Nita mengubur dalam-dalam rindunya itu.
“Orangtua di sini, mereka adalah orangtua terbaik menurut saya. Mengapa saya menyebutnya begitu? Karena orang tua murid di sini, mendidik anak dengan lingkungan terbatas untuk menjadi orang yang sukses, membisikkan mimpi-mimpi anaknya dalam doa, mereka yang terbaik. Mereka selalu berseru senang dan mendukung,” ujar Nita.
Selama di Desa Baya, Nita sering berkunjung ke rumah orangtua siswa untuk berbincang tentang perkembangan anaknya. Mereka senang, kadang menghadiahi Nita pisang, cabai atau apapun yang baru dipanen dari kebun. Selama di sini juga kadang Nita tersenyum sendiri melihat tingkah anak-anak yang berkelahi, bersenda-gurau dengan temannya, mencari kelapa, terlambat ke sekolah, apapun itu selalu membuat Nita teringat ketika masa sekolah dulu, seolah itu film yang dulu pernah ditontonya, dan Nita menjadi tokoh utama di sana.
“Biar mo telat makan, nanti saya antar akan nasinya enci. Biar belajar supaya tidak pongak seperti saya. Saya so suruh belajar di rumah itu anak, setengah mati dia ebieh,” begitu kata penulis novel “Luka” yang mulai memahami bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Suku Saluan, menceritakan pembicaraan seorang seorang ibu yang mengadu kepadanya.
Menjadi pengajar muda sama sekali bukan yang membuat Nita Juniarti menderita, tetapi menjadi pengajar muda adalah kesempatan yang bisa dikatakan kehormatan baginya. Pilihan yang membuat dia selalu bahagia karena telah memilihnya. Nita berharap semoga kehadirannya sebagai pengajar muda di desa yang kecil ini, usaha Nita yang sekecil ini, selalu bisa menjadi bagian dari sebuah gerakan memperbaiki wajah pendidikan Indonesia di masa akan datang. (Sn/jp)