Buah jatuh memang tidak jauh dari pohonnya. Begitulah, istilah yang menggambarkan perempuan kelahiran Medan, 10 Februari tahun 1972 ini. Relita namanya. Dari kecil, bakat membuat kerajinan tangan sudah terlihat. Teryata, bakat itu karena sering memperhatikan ayahnya, Ari Darma yang kebetulan adalah seorang seniman yang serba bisa dalam membuat kerajinan tangan.
Meskipun sudah bisa menghasilkan karya kerajinan tangan dari sejak kecil. Namun, Relita baru mulai berpikir serius untuk bergelut didunia kerajinan tangan lima tahun yang lalu. Bahkan, tidak hanya memproduksi kerajinan tangan untuk dijual. Namun, ia juga memberi pelatihan kepada perempuan-perempuan di desa-desa. Lokasinyapun tidak hanya di Medan saja, melainkan hampir keliling Sumatera Utara.
Dari sejak kecil ia suka memperhatikan bapak membuat kerajinan. Apa saja dibuatnya. Tapi, karena sudah tua, saat ini aktivitasnya sudah berkurang. Paling hanya sesekali saja melukis. Karena suka memperhatikan, akhirnya ia mengikuti.
“Tapi, waktu itu belum serius, karena belum kepikiran. Tahun 2010 baru saya kepikiran untuk serius bisnis kerajinan tangan. Karena, saya merasa bapak saya semakin tua. Jadi, kenapa tidak saya saja yang meneruskan,” ungkap Relita, saat ditemui kemarin.
Untuk serius bergelut di dunia kerajinan tangan ini, Relita fokus menggunakan bahan baku dari limbah untuk menghasilkan sebuah karya, seperti, kertas, plastik, gypsum, papan telor, kulit telor, kulit kerang dan lainnya. Hasil karyanyapun bermacam-macam. Dari mulai fashion etnik sampai miniatur buah-buahan dan rumah adat.
“Saya gunakan bahan baku limbah ini, karena sayang melihat limbah yang terbuang sia-sia. Dari pada terbuang, lebih baik dimanfaatkan untuk menghasilkan karya. Ternyata punya nilai jual. Misalnya, saya membuat ikan-ikanan dari limbah sabun yang tidak terpakai lagi. Buah-buahan yang saya buat dari limbah kertas dan papan telur,” ujar anak kelima dari lima bersaudara ini.
Dari semua kerajinan yang ia buat, kerajinan miniatur buah-buahanlah yang paling diminati. Tidak hanya masyarakat, namun ibu-ibu pejabat juga banyak yang memesan. Bahkan, miniatur buah-buahan hasil karyanya juga dipesan hingga luar negeri seperti, Australia. Untuk harga, bervariasi, mulai Rp 25 ribu hingga Rp 200 ribu per unitnya. Keuntungannyapun lebih menjanjikan. Belasan juta setiap bulan. Bayangkan saja, hampir setiap hari ada orderan buah-buahan. Namun, untuk membuatnya tidaklah mudah seperti membuat kerajinan tangan yang lain.
“Khusus untuk buah-buahan ini, saya sendiri memang yang membuatnya. Tidak bisa orang lain. Kalau sudah selesai, bentuknya sangat mirip dengan aslinya. Itupun saya pelajari dari bapak saya. Memang tidak mudah membuat buah-buahan ini, butuh kesabaran dan ketelitian,” kata ibu dari tiga anak ini.
Setahun menggeluti kerajinan tangan, Relita mulai memberi pelatihan ke perempuan-perempuan yang berada di sekitar tempat tinggalnya, Tanjung Morawa, Perbatasan Medan dan Deli Serdang. Namun, lama kelamaan, Relita berkembang memberi pelatihan ke perempuan-perempuan yang berada di pedesaan di kota lain. Tidak hanya itu, Relita juga memberi pelatihan kepada perempuan yang menjadi warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan, PSK dan anak-anak yang sekolah di Sekolah Luar Biasa. Dalam memberi pelatihanpun, Relita tidak mematokkan bayaran. Karena ia bertekad untuk meningkatkan perekonomian perempuan.
“Kenapa, karena saya memang ingin meningkatkan perekonomian perempuan. Para PSK yang saya latih, rata-rata mereka beralasan menjadi PSK, ya karena faktor ekonomi. Makanya saya mau mereka bisa menghasilkan karya yang bisa dijual. Dan, setelah dilatih ya ternyata mereka bisa menghasilkan,” katanya.
Sampai akhirnya, Relita juga sering diminta memberi pelatihan ke ibu-ibu PKK yang ada se-Sumut. Karena sering diminta memberi pelatihan, akhirnya Relita berpikir untuk mendirikan pusat pelatihan kerajinan tangan yang diberi nama Sanggar Keong Mas, tepat tahun 2012 lalu. Sanggar tersebut, selain menjadi tempat pelatihan juga memproduksi hasil karya. (E/jp)