Medan – Sineas Medan kembali melahirkan feature film. Dalam waktu dekat film cerita berlatar situs sejarah Kesawan di Kota Medan, “A Thousand Midnights in Kesawan”, akan dirilis. Setelah 4 tahun mengalami pasang surut perampungan akibat pandemi Covid 19, Djenni Buteto sang sutradara film menyebutkan film garapan sineas Medan itu akan diluncurkan pada Juli 2022, tepatnya pada momen Hari Ulang Tahun Kota Medan ke 432 di salah satu bioskop di Medan.
“Gala premierenya akan digelar Juli ini, namun tanggal pastinya akan diinfo pada peluncuran trailer film awal Juni nanti di kanal Youtube Uphill Society Films, salah satu production house yang menggarap film ini,” ujar Djenni, saat ditemui kemarin.
Film bergenre drama-horor-romantis komedi ini dibintangi oleh 2 aktor berbakat Kota Medan, Lorencia Adella Putri dan Rudy Syarif. Keduanya dipilih langsung setelah mengikuti casting khusus pertengahan 2019 yang kemudian menjalani pelatihan akting selama beberapa minggu sebelum syuting pada awal 2020 lalu. Djenni yang juga merupakan salah satu produser mengajak semua penonton film terutama pecinta film Indonesia untuk menonton karya anak Medan yang mengangkat tema sejarah kedaerahan sebagai latar ceritanya.
“Sebagai salah satu alumni jurusan Ilmu Sejarah di Universitas Sumatera Utara, ini merupakan upaya saya dan teman-teman lain untuk mengedukasi masyarakat Medan terkait sejarah lokal kita, semoga bermanfaat,” jelasnya.
Mengatasi Banyak Kendala
Djenni mengaku kini bisa merasa sedikit lega setelah akhirnya bisa merampungkan film panjang ke tiganya ini. Sebab, pada perjalanannya film A Thousand Midnights in Kesawan ini mengalami sejumlah hambatan yang cukup berat sehingga tim-nya mengalami kesulitan menyelesaikan penggarapan film. Mulai dari syuting di kawasan Lapangan Merdeka dan Kesawan yang diganggu preman dan meminta sejumlah bayaran, pembatasan aktivitas akibat covid 19, hingga sulitnya menemukan sponsor untuk membiaya produksi karena pandemi.
Beberapa kali rencana syuting scene yang belum selesai terpaksa harus dijadwal ulang karena pemerintah daerah menerapkan PPKM. Kru dan pemain yang berjumlah lebih kurang 30-an orang itu harus bolak-balik di-briefing agar semangat dan ritme produksi bisa tetap stabil meskipun cukup sulit juga pada penerapannya karena harus patuh pada protokol kesehatan. Akibatnya durasi pengerjaan bertambah, biaya produksi membengkak dan sempat menyebabkan film ini mangkrak.
“Pembuatan film memang membutuhkan biaya yang cukup besar. Namun saat memulai pengerjaan di akhir 2019 lalu, kami dari 3 PH yakni Uphill Society Films, Institut Sumatera, dan Matasapi Films, yang terlibat sangat optimis bisa menjalani semua proses pra-produksi, produksi, hingga post pro. Awalnya begitu, tapi pada kenyataannya banyak pelajaran berharga yang kami dapat, yang bisa dijadikan kekuatan buat film berikutnya nanti, karena bidang ini sangat potensial untuk digarap,” ujar salah satu pengurus pusat Forum Jurnalis Perempuan Indonesia ini, mengingat.
Medan dengan penduduk sekira 1 juta jiwa merupakan potensi pasar perfilman yang menjanjikan. Antusias penonton bioskop di Medan dan sekitarnya menjadi peluang bisnis di bidang perfilman. Begitu juga sumber daya manusianya. Setidaknya ada 99 profesi yang terlibat dalam pembuatan sebuah film. Ini akan menjadi lapangan kerja bidang kreatif yang bisa menambah pendapatan dan pasti berdampak pada perekonomian daerah. Hanya saja, pemerintah dan swasta belum melirik bidang ini sebagai salah satu sektor yang perlu diberi investasi proporsional.
Menurut Ketua Asosiasi Sineas Medan ini, naik daunnya sejumlah film Indonesia di bioskop tanah air akhir-akhir ini menjadi spirit bagi sineas Indonesia manapun untuk membuat film dengan lebih baik lagi. Namun tantangannya lagi-lagi persoalan investasi dan distribusi. Banyak sineas yang memiliki ide dan talenta di produksi film, namun masih terbatas pada hal terkait investasi dan distribusi.
“Sineas Medan perlu bergandengan tangan untuk mengikis keterbatasan-keterbatasan tadi. Secara pribadi ini merupakan kegelisahan sejak saya produksi film La Lebay pada 2015 lalu. Kita harus berkolaborasi, karena membuat film dan menjualnya adalah kerja tim yang berkesinambungan,” ujar Djenni.
Sineas Jalur Indie
Sutradara film “A Thousand Midnights in Kesawan”, Djenni Buteto dan Hendry Norman, baru kali ini melakukan kolaborasi dalam menggarap film. Keduanya merupakan sutradara dan penulis skenario sejumlah film dan beberapa di antaranya masuk dalam festival film nasional. Bagi Djenni Buteto sendiri, film “A Thousand Midnights in Kesawan” ini merupakan film panjang ketiganya. Film panjang perdananya, “La Lebay” rilis tahun 2016, sementara film keduanya merupakan film dokumentar berjudul “Suara Dari Jalanan (The Protest)” rilis pada 2018 lalu dan menjadi finalis di Sewon Film Festival 2018. Ia juga memproduksi beberapa film pendek sejak 2010 hingga sekarang.
Lulusan SAE Institut dan Universitas Sumatera Utara ini mengaku sangat antusias menggarap film bertema kedaerahan terutama sejarah dan budaya Sumatera Utara. Baginya Sumatera Utara sangat kaya tema untuk diangkat ke layar lebar.
“Saya sangat suka sejarah. Beberapa buku sejarah telah sangat baik mengisahkan tentang suatu daerah atau peristiwa di Sumut. Tentang kuli perkebunan di zaman kolonial misalnya, tentang sejarah kejayaan tembakau deli misalnya, banyak sekali yang bisa diangkat, dan pasti menarik. Namun, perlu kerja sama beberapa pihak untuk mewujudkan itu,” ujarnya.
Selama ini baik Djenni dan Hendry lebih banyak menggarap film indie. Ide yang bebas dan eksplorasi gagasan dalam film memacu mereka untuk terus membuat film yang lebih baik lagi. Hendry lebih banyak menggarap film dokumenter, di antaranya “Medan Hardcore”, “Imperator Infernum”, “Identitas”. Pada 2018 lalu ia ikut dalam penggarapan film “Sang Prawaira” yang disutradarai Ponti Gea. Baginya pembuatan film adalah proses kreatif yang terus mengasah kemampuan sineas. (jp)