Honolulu – Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) mengecam keputusan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte mencabut izin atau menutup Rappler, media digital yang fokus pada jurnalisme investigasi. Penutupan Rappler juga didukung oleh Komisi Sekuritas dan Bursa Filipina yang menguatkan sinyal sulitnya pemerintah Filipina dikritik dan menerima kebebasan berekspresi. Padahal Rappler didirikan oleh Maria Ressa, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2021 dan juga salah satu jurnalis Filipina.
Ketua Umum FJPI, Uni Lubis menyebutkan sebagai jurnalis dan CEO Rappler, Ressa adalah pembela kebebasan berekspresi yang tak kenal takut. Selama ini, dijelaskan Uni, Rappler mengupas tuntas dan mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai tidak sesuai aturan, salah satunya kampanye anti-narkoba yang kontroversial dan mematikan yang dilakukan rezim Duterte. Dimana, kampanye anti-narkoba itu dinilai banyak pihak sarat pelanggaran hak asasi manusia.
“Akibat sorotan medianya, Ressa dan Rappler tak jarang menjadi target ancaman pemerintah. Di bawah kepemimpinan Ressa, Rappler juga menjadi subjek investigasi aparat Filipina hingga pemerintahan Duterte sempat mencabut izin Rappler pada 2018,” ujar Uni, Rabu (29/6/2022).
Dan kini, izin sertifikat bisnis Rappler dicabut yang otomatis bakal menghentikan operasional rappler. Oleh karena itu, kata Uni, ini sangat bertentangan dengan apa yang dilakukan pemerintah Filipina.
“FJPI mengecam keputusan Pemerintahan Rodrigo Duterte yang dikuatkan oleh Komisi Sekuritas dan Bursa Filipina untuk menutup Rappler,” tegasnya.
Uni mengatakan keputusan Pemerintahan Rodrigo Duterte yang mencabut izin sertifikat bisnis Rappler adalah lampu merah bagi kemerdekaan pers di Filipina.
“FJPI mendukung upaya hukum Rappler yang akan mengajukan permohonan banding atas keputusan Pemerintahan Rodrigo Duterte,” sebutnya.
Uni Lubis menjelaskan, tindakan Pemerintah Filipina telah melanggar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, di antaranya hak memperoleh kebebasan dan kesetaraan, hak memperoleh semua bentuk HAM tanpa pengecualian apa pun, hak untuk hidup, kebebasan, dan keselamatan dan lainnya, hak kebebasan mengeluarkan pendapat, hak mendapatkan kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan dan lain sebagainya.
“FJPI juga mendukung Maria Ressa dan Rappler untuk tetap terbit dan berjuang untuk kepentingan publik lewat pers yang profesional yang selama ini ditunjukkan oleh Rappler,” pungkas Uni Lubis.
Maria Ressa menyampaikan informasi tentang pencabutan izin Rappler oleh pemerintah Filipina secara resmi saat menjadi memberi pidato kunci di acara Konferensi Media Internasional yang diadakan East West Center di Hawaii Convention Center, Honolulu Selasa pagi waktu setempat (28/6/2022). Informasi pencabutan izin Rappler tersebut mereka terima tengah malam, 28 Juni 2022.
Di acara yang juga dihadiri Uni Lubis itu, Maria Ressa menegaskan Rappler akan melawan keputusan yang dibuat hanya dua hari sebelum kekuasaan Presiden Rodrigo Duterte berakhir.
Seperti diketahui, Filipina akan dipimpin Bongbong Marcos Jr, putra mantan presiden Filipina yang juga dikenang sebagai diktator, Ferdinand Marcos. Marcos senior jatuh dari kekuasaannya 36 tahun lalu lewat kekuatan rakyat. Putra Marcos akan memimpin Filipina selama enam tahun ke depan, didampingi Wakil Presiden Sara Duterte, putri Presiden Duterte. Perintah penutupan Rappler oleh Presiden Duterte dikeluarkan 2 hari sebelum masa jabatannya berakhir. (jp/Nina)