Medan – Puluhan aktivis dan mahasiswa berkumpul di titik Nol Kota Medan, tepatnya di depan gedung bekas Kantor Pos Besar Medan, melaksanakan aksi damai Global Climate Strike (Gerakan iklim global), Jumat (23/9) siang. Gerakan iklim global berlangsung serentak di seluruh dunia, bermula dari gerakan Greta Thunberg, seorang aktivis lingkungan muda asal Swedia. Di Indonesia sendiri bernama “Jeda Untuk Iklim” yang pertama kali berlangsung di tahun 2019. Tema Global Climate Strike yang diangkat kali ini adalah Elit Makin Kuat, Rakyat Sekarat.
Mimi Surbakti, Direktur Srikandi Lestari yang menjadi pimpinan aksi mengatakan, saat ini kondisi iklim global tidak baik-baik saja. Oleh sebab itu, hadir Paris Agreement, yang merupakan sebuah traktat internasional tentang mitigasi, adaptasi dan keuangan perubahan iklim pada tahun 2015.
“Persetujuan ini mengawal negara- negara untuk mengurangkan emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lain untuk membatasi pemanasan global kepada cukup di bawah 2,0 derajat Celsius,” ujarnya.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), mencatat kawasan Indonesia mengalami peningkatan suhu dalam kisaran 1°C dan dapat bertambah mencapai 3°C di akhir abad ini. Peningkatan 1 derajat Celcius berdampak cuaca ekstrem seperti siklon tropis, hujan ekstrem, angin kencang/puting beliung, gelombang tinggi, yang dapat memicu banjir, banjir bandang, tanah longsor dan bencana hidrometeorologi lainnya. BNPB menghitung ada 90% dari 5,400 bencana hidrometeorologis, tahun 2021 menghatam dari seluruh masyarakat Indonesia ini akibat krisis iklim.
“Emisi karbon yang masif yang dihasilkan dari PLTU-PLTU batubara yang mendominasi 65% energi listrik Indonesia, dalam beberapa tahun ke depan akan menggantikan deforestasi sebagai sumber utama emisi karbon Indonesia, sekaligus penyebab utama krisis iklim,” tambahnya.
Sumut Krisis Iklim
Di Sumatera Utara sendiri kondisi Krisis iklim telah menghantui, abu pembakaran PLTU batubara Pangkalan Susu yang letaknya di Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara, unit 1-4 dengan kapasitas 800 Megawatt. PLTU batubara Pangkalan Susu membakar 11.885 Ton Batubara/ Hari, 6% X 11.885 Ton = 713,10 Ton FABA (Flya Ash Bottom Ash), Bottom Ash = 213,93 Ton / Hari, Fly Ash = 499,17 Ton/ Hari, yang juga salah satu penyebab utama krisis iklim
Di Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara, perubahan musim telah terjadi, petani tadah hujan kini sulit memprediksi musim hujan dan ini mengakibatkan menurunnya masa tanam yang harusnya 2 kali menjadi 1 kali, banjir rob yang kerap terjadi banjir yang juga merugikan pada petani di Pangkalan Susu.
Namun kondisi Krisis iklim juga sama sekali tidak disinggung oleh Presiden Indonesia, Bapak Jokowi, pada Pidato Kenegaraan HUT RI ke 77 tahun, Presiden Jokowi hanya menyampaikan bahwa Indonesia sedang berada di puncak kepemimpinan global, terkait diplomasi perdamaian dunia, kepemimpinan di kancah ASEAN dan G20.
“Presiden Jokowi hanya berfokus pada krisis pangan, krisis energi dan krisis finansial, padahal Krisis iklim mengakibatkan ketiga Krisis ini,” tutur Mimi lagi.
Elit Makin Kuat, Rakyat Sekarat merupakan tema Aksi Global Climate Strike, aksi ini menyoroti Pertemuan G20 di bawah Presidensi Indonesia telah dimulai pada 1 Desember 2021 dan akan berpuncak pada KTT Bali pada tanggal 15-16 November 2022. Isu prioritas pada G20 adalah global health architecture, digital transformation, sustainable energy transition. Ketiga isu ini dibahas di dalam working group, dua diantaranya adalah working group energy transition dan environment and climate sustainability. Kedua working group ini mengarah kepada tujuan bersama, yakni untuk mencapai Kesepakatan Paris yaitu membatasi kenaikan suhu global sampai di angka 1,5º Celsius tingkat pra industri.
Pertemuan tingkat menteri G20 tidak mampu untuk mempercepat transisi energi fosil ke terbarukan padahal konsumsi energi saat ini bergantung pada energi fosil telah menjadi akar masalah dari krisis iklim. Bahkan 75 % permintaan energi dunia ternyata dilakukan oleh negara G20, itu artinya krisis iklim yang terjadi saat ini terjadi karena ulah negara-negara G20. Meski sebagai sumber dari krisis iklim, urgensi menangani krisis iklim seperti tidak menjadi prioritas dalam G20.
Pulau Bali yang dijadikan tempat perundingan ini juga terancam akibat krisis iklim, data menunjukan menunjukan bawah 175 desa pesisir di Bali terancam krisis iklim, utamanya karena kenaikan muka air laut.
Mimi menyerukan bahwa Indonesia berperan penting dalam mengatasi situasi krisis energi global terutama pada Presidency G20. Pada pertemuan G20 Indonesia harus menegaskan dan menyepakati percepatan transisi dari energi fosil ke energi bersih, terbarukan dan manajemen transisi. Demokratisasi energi diharapkan bisa dibicarakan pada G20, demokratisasi energi diharapkan menuju energi transisi yang adil, terjangkau, dan berkeadilan kepada masyarakat. Demokratisasi energi juga akan menjadi sektor yang baik dalam menjaga alam melalui pengelolaan yang berkelanjutan.
Rimba Zaid dari Fossil Free Sumut, menambahkan bahwa sumber daya energi yang ada di Indonesia seharusnya kuasai, dikelola dan dimiliki seluruh rakyat Indonesia namun faktanya saat ini sumber daya energi hanya dinikmati oleh segelintir orang elit saja.
“Ini menjadi puncak kekecewaan kami karenanya kami memilih slogan “Elit Makin Kuat, Rakyat Sekarat”. Kondisi ini, bertentangan dengan poin b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang menyebut bahwa peranan energi sangat penting artinya bagi peningkatan kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional,” ujar Rimba.
Seharusnya pengelolaan energi yang meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaannya dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal, dan terpadu. Sedangkan Pasal 33 UUD 1945 soal penguasaan sumber daya yang mestinya di tangan negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Maka dari itu, tujuan aksi Global Climate Strike ini adalah untuk mendorong negara– negara G20, terutama Pemerintah Indonesia agar menuntut demokratisasi energi yang berkelanjutan dan dikelola oleh rakyar Indonesia. Selain itu, mendorong pemerintah untuk segera melakukan tindakan kongkrit mencapai Kesepakatan Paris dalam membatasi kenaikan suhu global sampai di angka 1,5º Celsius. Massa juga mendesak pemerintah meninggalkan energi fosil yang berkontribusi pada perubahan iklim di Indonesia, mendorong pemerintah fokus kepada memberikan pendanaan pada energi terbarukan yang ramah lingkungan untuk mempercepat transisi energi yang berkeadilan.
“Kami juga mendorong agar terwujudnya kesepakatan-kesepakatan global yang membawa Indonesia keluar dari ketergantungan energi fosil yang menjadi penyebab terbesar krisis iklim,” kata Rimba. (jp)