Perwakilan HAPSARI dan SOI berfoto bersama Plt Bappeda Sumut Hasmirizal Lubis usai berdiskusi. (Foto : Ist)

Medan – Perubahan iklim akan menjadi pemicu krisis sosial ekologis yang luas. Masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin lebih rentan dibanding yang berpenghasilan menengah atau kaya, terlebih kaum perempuan dan anak-anak. Hal ini dijelaskan oleh Lely Zailani, Ketua Dewan Pengurus HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia) Sumatera Utara, dalam diskusi dan konsultasi kolaborasi program, dengan Plt Bappeda Sumut Dr Ir Hasmirizal Lubis MSi, dan Kepala Sub Bidang Kemaritiman dan Sumberdaya Alam, Sry Puspa Sari ST (Kamis/12/5) di Medan.

Lebih lanjut Lely mencontohkan bencana alam dan kelaparan. Ini merupakan salah satu dampak perubahan iklim yang berakibat pada penurunan kualitas hidup anak, perempuan, dan memperbesar kesenjangan gender dalam masyarakat.

“Anak-anak terancam gagal tumbuh (stunting) dan perempuan harus memikul tanggungjawab lebih berat dibanding laki-laki, sehingga meningkatkan (lagi) angka kemiskinan perempuan dan semakin terbukanya jurang ketidaksetaraan gender. Begitu seriusnya dampak perubahan iklim, namun selama ini belum begitu disadari oleh masyarakat,” papar Lely.

Diskusi itu dilakukan terkait dengan program HAPSARI tahun 2022 – 2023 yakni  “Membangun strategi pencegahan perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga untuk mengatasi ketimpangan akses sumber daya di Sumatera Utara” yang diimplementasikan di 5 kabupaten di Sumatera Utara. Meliputi kabupaten Karo, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi dan Labuhanbatu, berkolaborasi dengan Sources of Indonesia (SoI). Sedangkan dukungan pendanaan dari Ford Foundation dengan persetujuan Ditjen Bina Bangda Kementrian Dalam Negeri.

Nantinya, tambah Lely, melalui program ini akan dikembangkan konsep Kampung Nusa dan Rumah Nusa (Nutrisi Keluarga), dengan kegiatan menanam mulai dari halaman hingga kebun. Dalam konteks pencegahan perubahan iklim ini, ketahanan pangan bukan hanya soal beras, tetapi justru mengubah mindset (pola fikir) bahwa “kenyang tak harus beras”. Sekaligus pengorganisasian komunitas untuk menumbuhkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang “menanam untuk meredam perubahan iklim”.

“Jadi program ini berupaya mengatasi ancaman krisis pangan sekaligus menjadi gerakan internalisasi sensitive iklim dan pemberdayaan perempuan. Sebab, semakin aman pangan, masyarakat (dan perempuan) akan semakin mandiri,” lanjut Lely.

Menyambut Baik

Plt Bappeda Sumut Hasmirizal Lubis menyambut baik ajakan kolaborasi dari HAPSARI tersebut. Menurutnya, kolaborasi multi pihak termasuk kobalorasi antara Organisasi Non Pemerintah (Ornop) dengan Pemerintah justru sangat dibutuhkan saat ini. Selain mendukung misi prioritas Gubernur Sumut dalam membangun desa dan menata kota, juga membantu upaya pemerintah daerah Provsu dalam penurunan emisi GRK pada sektor mitigasi dan adaptasi yang saat ini menjadi prioritas, yaitu Ketahanan Ekonomi melalui Ketahanan Pangan.

Hasmirizal mengatakan bahwa diskusi-diskui kordinasi semacam ini bagus dilakukan secara regular. Bahkan perlu dirumuskan bersama semacam matriks pembagian peran dalam kolaborasi antara Ornop dengan Pemerintah Daerah.

“Bappeda siap memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan terkait administrasi, penyusunan rencana program bersama, serta pertemuan-pertemuan kordinasi dengan organisasi pemerintah daerah lainnya di Sumatera Utara,” ujarnya. (jp/rel)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini