Awal tahun biasanya masih diwarnai nuansa resolusi tentang target yang akan dicapai satu tahun mendatang. Penetapan resolusi ini menjadi pemicu adrenalin untuk melakukan aktifitas sehari-hari. Ada tujuan yang mendorong kita melakukan hal-hal lebih baik dari sebelumnya. Semangat positif ini baik, namun entah kenapa seiring waktu jadi mengendur dan akhirnya kita kehilangan detak semangat seiring mulai terasa kabur pandangan di depan akibat rintangan dan halangan yang sulit diatasi.
Sejumlah pakar motivasi biasanya menyarankan agar resolusi yang dibuat haruslah logis dan sesuai dengan kemampuan kita untuk mengurangi rasa frustasi ketika faktanya target kita tidak tercapai. Membuat rencana berjangka waktu juga kerap disarankan agar kita lebih mudah mengevaluasi dan kemenangan kecil bisa menambah energi untuk mencapai yang lebih besar. Perjalanan hidup dengan semua rencana dan capaian yang diraih membuat kita selalu dinamis. Selalu ada hal-hal baru yang datang dan mengubah pandangan kita pada dunia dan diri sendiri. Sadar atau tidak sadar, kita sedang belajar. Belajar menerima perubahan dan menapak pada level hidup yang berbeda dari sebelumnya.
Pelajaran hidup yang diterima setiap orang berbeda-beda. Ada yang sengaja mendapat, ada yang tidak sengaja mendapat. Namun secara garis besar, kualitas pelajaran itu tergantung bagaimana cara kita merespon. Belajar bertujuan mendapat pengetahuan. Pengetahuan berguna untuk mengatasi persoalan hidup. Artinya, setiap orang bisa mencari pelajarannya sendiri sesuai dengan kebutuhannya. Ibarat belanja di pasar, kita memilih bahan-bahan yang hanya dibutuhkan. Kita tidak akan membayar sesuatu untuk hal yang tidak kita butuhkan. Kebijaksanaan sederhana ini sudah diketahui semua orang. Namun yang sering diabaikan adalah, kita tidak membeli bahan yang kita tahu kita butuhkan. Alasannya bisa macam-macam. Ada yang karena ragu-ragu, malas, ada karena tidak punya uang, ada karena lupa.
Saya berpikir, mengapa orang sukses itu bisa langgeng kayanya. Bagaimana mereka mencari uang, hidup sejahtera, dan mempertahankannya sampai kepada keturunannya? Lalu saya membalik pertanyaannya, mengapa orang miskin langgeng hidup susah? Dan karena saya berada di tengah-tengah, lebih condong ke bawah sebenarnya, saya lalu menarik kesimpulan. Adalah kebiasaan yang menjadi titik kuncinya. Hidup sejahtera membuat orang candu, sehingga selalu berusaha mencari cara agar tetap dalam ruang lingkup itu. Mereka terbiasa bergerak dengan formula yang telah mereka temukan dalam mencapai kesuksesan yang telah mereka raih. Dan tidak berhenti di situ saja, mereka mencari cara agar mendapat lebih di samping menjaga ketahanan gerak di dunia yang penuh persiangan. Mereka mengamati perkembangan zaman, mempelajari temuan-temuan, dan terus meningkatkan kapasitas diri. Mereka tidak berpuas diri. Sementara orang miskin, terbiasa dengan kehidupan yang itu-itu saja, bertahan hidup dalam nuansa kekurangan. Cenderung pasrah. Sikap dan mental kedua situasi tadi bisa dibalik dan saya yakin akan ada perubahan situasi.
Paradigma berpikir yang berbeda ini sebenarnya sudah diketahui banyak orang juga. Sayangnya, hanya berhenti dalam pikiran saja. Pengetahuan yang dimiliki tidak diterapkan menjadi kebiasaan. Kita tahu bangun pagi, minum air putih, lalu olahraga, akan menyehatkan jiwa dan raga, tapi tidak kita lakukan. Kita tahu kalau merokok akan merusak kesehatan dan membuang-buang uang, tapi tetap kita lakukan. Kita cenderung menyimpan pengetahuan hanya sebatas diketahui. Dan di lain hal, merasa cepat puas dengan apa yang dimiliki dan cenderung hati-hati dalam berbuat.
Semakin bertambah usia, sepertinya kita jadi sulit mendeteksi apa yang harus dilakukan, perlu dilakukan, tidak dilakukan. Kebimbangan yang berlama-lama menyebabkan kebingungan, dan kebingungan ini menghasilkan rasa frustasi. Rasa frustasi menyebabkan kita berhenti berpikir logis lalu memutuskan untuk diam dan menjadi apatis.
Lalu apa solusinya?
Ini sebenarnya pertanyaan yang juga menjadi dasar mengapa saya menulis ini. Mencari jawabannya di sejumlah artikel di internet dan mulai membaca buku yang sudah teronggok lama di lemari. Saya lupa bahwa kegelisahan alias rasa ingin tahu adalah awal dari ilmu pengetahuan. Belajar. Learning is fun, but it’s also a hard work. Fokus pada tujuan dan abaikan rintangan. Enaknya jadi manusia yang hidup, ya ini, kita selalu punya waktu/kesempatan untuk memulai. Setiap orang berbeda memulai pelajaran dari titik mana. Ya, lakukan saja. Seperti pertama kali belajar naik sepeda. Tidak ada seorangpun yang memaksa kita untuk belajar naik sepeda. Kita tahu resikonya, jatuh, masuk ke parit, nabrak dan seterusnya, tapi kita juga tahu manfaatnya. Dan setelah bisa naik sepeda, kita merasakan kesenangan yang melegakan. Kita masuk dalam lingkup orang-orang yang bisa bersepeda, keluar dari liang orang-orang yang tidak bisa naik sepeda. Sesederhana itu ilustrasi belajar, menguasai skill. Kesenangan yang melegakan.
Menerima kekurangan diri dengan lapang dada dan memahami situasi dengan kesadaran penuh adalah awal sikap yang baik menurut saya untuk memulai sesuatu yang baru. Levelnya kita yang tentukan. Jadi, lakukan saja. (diana saragih)