Jakarta – Jangan menjadikan perempuan sebagai objek negatif untuk penulisan berita, yang mengarah pada pelecehan. Dan jangan pula gunakan Jurnalisme firasat untuk menulis berita. Hal ini dikatakan oleh Agus Sudibyo, Anggota Dewan Pers, dalam Webinar dengan tema “Tantangan Jurnalis Perempuan di Era Digital”, yang diadakan oleh Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) bekerja sama dengan Dewan Pers, dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) 2022, pada Sabtu (5/2).
Industri media massa mengalami beberapa perubahan penting dengan adanya digitalisasi. Jumlah media online kini sudah lebih banyak daripada media konvensional seperti surat kabar, majalah, radio dan televisi.
Dalam catatan Dewan Pers tahun 2019, Indonesia mempunyai 47 ribu media. Dari jumlah tersebut, sebanyak 43.803 di antaranya adalah media online. Sementara sisanya adalah media cetak (2.000), radio (674) dan televisi (523). Sejumlah media massa konvensional sudah berhenti beroperasi. Namun ada juga yang bisa beradaptasi dengan digitalisasi dan menerapkan serangkaian strategi. Dalam Webinar ini, Agus Sudibyo meminta agar seluruh pihak berhenti menjadikan perempuan sebagai objek, untuk menaikkan minat baca. Hal tersebut dinilai sebagai tindakan eksploitasi.
“Jangan jadikan perempuan objek untuk penulisan berita yang mengarah pada pelecehan untuk perempuan, juga jangan gunakan jurnalisme firasat untuk menulis berita,” ujarnya.
Menurut Agus, saat ini Dewan Pers juga memiliki kendala dalam mengawasi serta memantau berita yang beredar. Sebab hingga kini, belum ditemukan model pemantauan yang cepat, sehingga kasus juga dapat lebih cepat ditangani oleh Dewan Pers
Sementara itu, Rosiana Silalahi, yang juga menjadi salah satu narasumber membahas tentang bagaimana menjadi jurnalis perempuan di era digital. Ia mengatakan, menjadi perempuan adalah berani. Berani menghadapi digitalisasi sebagai sesuatu yang tidak bisa ditolak. Apalagi era digital merupakan sesuatu yang penting, ada pemberdayaan perempuan di dalamnya.
“Jurnalis perempuan itu harus berani untuk bicara, menentang berita yang menyudutkan perempuan demi clickbait,” ujarnya.
Ia juga mengatakan, bahwa selain membuat kredibilitas di masyarakat, jurnalis perempuan juga harus memiliki integritas untuk diri sendiri. Berani mengeluarkan pendapat, berargumentasi dengan baik, dan bertujuan untuk menyampaikan berita yang bermanfaat sesuai fungsi jurnalisme.
Pada pembahasan mengenai pemanfaatan Tiktok untuk kreativitas media jurnalis perempuan, disampaikan oleh Oky Dwiputra, Industry Partnership Manager Tiktok Indonesia. Ia menjelaskan, bahwa TikTok merupakan aplikasi yang saat ini memiliki banyak pengguna. Para pemilik akun bisa mengunggah, membagikan konten yang diciptakan, mulai dari hiburan, musik, film dan sebagainya. Ia juga mengatakan akan mudah para jurnalis perempuan membuat konten untuk dimasukkan ke dalam akun Tiktok dalam bentuk berita secara video, audio, bahkan tulisan.
“Ini sangat mudah ya untuk para jurnalis perempuan, apalagi sudah memiliki basic sebagai seorang jurnalis,” jelasnya. (jp)
Foto : tempo.co