Memprihatinkan. Begitulah, gambaran kondisi pendidikan di Indonesia. Selain sarana pendidikan yang masih banyak jauh dari harapan. Masih banyak pula anak-anak yang putus sekolah dan tidak bisa baca tulis. Penyebabnya, karena kondisi perekonomian orangtua yang tidak sanggup menyekolahkan anaknya.
Karena kondisi pendidikan yang memprihatinkan itulah, seorang mantan TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang bekerja di Malaysia bertekad mendirikan sebuah sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di sebuah desa. Desa itu bernama Desa Bagan, Dusun 18, Gang Persil, Jalan M Yusuf Jintan, Percut Seituan, Kabupaten Deli Serdang. Desa yang berjarak sekitar 20 kilometer dari kota Medan. Sekira pukul 10.30 wib kami tiba di lokasi PAUD Pintar, atau 2 jam lebih perjalanan. Tidak hanya kondisi jalannya yang tidak semulus di jalan kota, namun kemacetan di sejumlah ruas jalan juga menjadi penyebab lamanya tiba di lokasi yang dimaksud.
Setibanya di lokasi PAUD yang didirikan perempuan kelahiran tahun 1985 silam ini, Yanti sapaan akrab dari pemilik nama lengkap Cut Darmayanti Sihombing ini, tengah membawa anak-anak didiknya bermain di alam. Yanti sengaja membawa anak-anak didiknya bermain di alam, supaya anak-anak tidak merasa jenuh berada di sekitar sekolah saja.
Maklum saja, di halaman sekolah PAUD juga hanya tersedia beberapa permainan seperti, perosotan dan ayunan. Setelah sejam membawa anak-anak didiknya bermain di alam, Yanti membawa anak-anak didiknya masuk ke dalam ruangan untuk belajar.
Berbeda dengan ruangan kelas PAUD lainnya, PAUD Pintar yang didirikan Yanti memang tampak sangat sederhana. Paud Pintar yang berukuran 20 kali 60 meter itu terbuat dari setengah papan dan setengah tepas. Tidak ada lapisan pada dindingnya, sehingga jika hujan turun, tempiasnya akan membasahi lantai ruangan kelas. Tidak ada hiasan yang mewah dan berharga. Hanya buah karya anak-anak didiknya membuat origami dan poster-poster bacaan pemberian orang yang membuat ruangan kelas kelihatan lebih indah.
Yanti menuturkan, ia mendirikan PAUD Pintar ini berawal dari rasa keprihatinan dirinya melihat anak-anak usia PAUD yang tinggal di Desa Bagan tapi tidak sekolah. Banyak anak-anak usia SD yang tidak bisa membaca dan menulis. Alasan lainnya yang membuat anak-anak tidak sekolah karena mahalnya biaya pendidikan.
“Saya awalnya ke desa ini, karena mau melihat tanah Atok saya yang mau dijual ke saya. Waktu itu, saya baru saja pulang dari Malaysia. Kan, saya berniat membeli tanah Atok, karena uangnya untuk keperluan Atok. Setiap saya datang ke desa ini, anak-anak di sini suka sekali mengikuti saya. Saya tanya ke mereka, sekolah apa nggak. Katanya tidak, karena nggak bisa baca tulis. Kemudian, saya bilang, kalau saya buat sekolah mau nggak. Mereka jawab, mau. Sehingga, ketika saya datang lagi, saya ditagih sekolahnya,”tutur anak ketiga dari empat bersaudara ini.
Berawal dari situlah, Yanti berpikiran untuk mendirikan sekolah PAUD untuk anak-anak yang berada di desa Bagan. Kebetulan, di desa yang terdiri dari dusun 15,16,17 dan 18 belum ada satu sekolah PAUD pun yang didirikan. Sedangkan, bagi masyarakat sekitar yang rata-rata mata pencahariannya nelayan tidak sanggup membiayai sekolah anaknya di sekolah PAUD yang terletak di desa sebelah.
“Karena saya terus ditagih oleh anak-anak di sini kapan sekolahnya dibuat, akhirnya saya putuskan pergi lagi bekerja ke Malaysia untuk kedua kalinya. Dua tahun di sana, uang yang sudah terkumpul saya belikan lagi tanah di sebelah tanah yang sudah saya beli pertama kali. Lalu, sebagian uangnya lagi saya gunakan untuk mendirikan PAUD seadanya. Ya, hasilnya beginilah. Biar sederhana, yang penting mereka bisa sekolah,”ujar anak dari Baharuddin Sihombing dan Arbaiyah Yong ini.
Meski sudah mengorbankan uang yang dikumpulkan dari bekerja di Malaysia untuk kuliah, namun Yanti merasa bahagia. Karena akhirnya, ia bisa mewujudkan keinginan anak-anak di desa Bagan dengan mendirikan sekolah PAUD Pintar tahun 2011 yang lalu. Tidak hanya itu, Yanti juga rela jauh dari keluarganya dan tinggal sendirian di ruangan sekolah PAUD yang masih dikelilingi hutan. Apapun diajarkan kepada anak-anak didiknya termasuk belajar mengaji dan sholat juga ia ajarkan.
“Dulu, saat saya masih kecil saya itu tidak mau belajar dan mengaji. Tapi, ibu saya memaksa saya untuk belajar dan ngaji. Ibu saya bilang, “mengajilah nak, siapa tahu nanti kalau kamu tercampak di kampung orang, kamu bisa belajar mengaji”. Ternyata benar, sekarang saya mengajar mengaji. Saya bahagia, karena saya juga bisa menyiarkan Islam di sini,” ungkapnya.
Hingga saat ini, masyarakat yang tinggal di sekitar desa Baganpun sangat antusias memasukkan anak-anaknya ke sekolah PAUD Pintar. Karena, selain biayanya yang murah yakni hanya Rp1.000 per harinya. Yanti juga tidak memaksa bagi masyarakat yang tidak mampu membayar.
“Wajar saja kalau masyarakat di sini ada yang tidak mampu, karena rata-rata penghasilan masyarakat di sini mencari kerang. Bagi saya, tidak masalah. Yang terpenting mereka mau menyekolahkan anaknya,”ujar Yanti. Ia berharap ke depannya bisa mewujudkan keinginan anak-anak di sini yakni mendirikan pesantren di desa ini.
Baginya, pengetahuan yang ia miliki tidak sebanyak para guru atau tenaga pendidik lulusan universitas bagus. Namun prinsip ingin berbagi dan bisa bermanfaat seluas-luasnya merupakan hal yang menjadi dorongannya untuk terus mengelola PAUD ini. Ia sangat senang anak-anak didiknya juga para orangtua mereka sangat antusias belajar. Baginya perubahan dengan menurunnya angka anak yang tidak bisa baca tulis di desa ini, adalah kemenangan kecil yang membuatnya semangat. (E/jp)