foto : net

Sungguh gembira ketika menonton film pertama dalam rangkaian Europe on Screen 2016 di Medan, ada film The Idealist. Film ini bercerita tentang kisah nyata seorang jurnalis Denmark Poul Brink yang membuka tabir sejarah tentang kebijakan nuklir negaranya bersama Amerika Serikat tahun 1968. Awalnya ia adalah seorang reporter siaran radio, namun setelah berbagai pemberitaannya tentang kasus itu ia lalu menjadi reporter televisi. Ia membawa kemana-mana tape recorder (portable) untuk wawancara. Baru tahu darimana asal istilah “off the record” yang selama ini dipakai. Maklum, saya jurnalis media cetak yang jarang pakai perekam.

Film yang disutradarai oleh Christina Rosendahl dan tayang di tahun 2015 ini begitu apik, mengawinkan rekonstruksi sejarah dan scene-scene dokumenter dalam sinematografi yang hidup. Sebagai jurnalis, film ini menggugah jiwa. Seakan kepala ini ditampar dan ditendang sedemikian rupa, lalu berpikir. Jurnalis itu pantang menyerah, idealis, dan cerdik, dalam mengerjakan tugas-tugas jurnalistiknya. Ketiga ciri ini apakah melekat pada diri yang saat ini memegang kartu pers? Belum. Beban moral, beban tanggung jawab terhadap profesi masih jauh dari ketiga ciri itu. Jurnalis tidak lagi membaca buku, riset referensi, membandingkan berita, membahas kasus, berdiskusi dan memoles tulisan dengan teknik penulisan yang baik. Tulisannya terkesan dangkal dan tidak menarik.

Tanpa niat hendak menghujat diri sendiri lebih dalam, baiklah saya ingin membeberkan beberapa hal yang bertolak belakang dengan Poul Brink itu. Pertama, secara pribadi ia tidak memiliki kepentingan dalam kasus melawan negaranya itu selain karena ia bertanggung jawab kepada profesinya dan keselamatan rakyat Denmark karena diduga ada satu bom nuklir yang masih tertanam di Greenland meskipun dibantah.

Kedua, Poul Brink didukung oleh pimpinan redaksinya setelah ia bersikukuh dengan berbagai bukti-bukti yang berhasil ia dapatkan untuk terus menyuarakan berita tentang kasus itu. Bahkan ketika Menteri Luar Negeri Denmark mengancam tidak akan pernah mau diwawancara stasiun televisi Brink lagi karena dijebak menjawab pertanyaan di luar yang disepakati, Brink dengan tegas balik mengancam sang menteri akan memboikot seluruh pemberitaan dari institusinya. Di bagian ini saya tersenyum, janganlah mengancam jurnalis karena itu akan menjadi bomerang.

Ketiga, Poul Brink tidak mendapat penghargaan ketika kasus ini akhirnya menemukan kebenaran. Negara mengakui kesalahannya, namun tetap menghukum Poul Brink karena ia dianggap melakukan kejahatan terhadap upaya mendapatkan arsip/dokumen rahasia negara melalui cara-cara yang tidak prosedural. Iya, Poul Brink melakukan aksi berdiri di pintu masuk gedung arsip negara selama 3 hari berturut dan ditayangkan di televisi sehingga mendapat dukungan masyarakat yang ingin kebenaran dibuka selebar-lebarnya. Akhirnya ia dibolehkan masuk dan mencari arsip yang ia butuhkan. Hal ini, dianggap kejahatan kemudian.

Ia tidak puas hanya dengan pengakuan kesalahan negara. Ia ingin, negara membuktikan kepada rakyat Denmark bahwa tidak ada lagi bom nuklir di Greenland yang mampu meracuni negaranya karena mengandung radio aktif. Poul Brink tidak berhenti. Ia menuliskan kisahnya dalam sebuah buku yang mana bertahun-tahun kemudian setelah kematiannya tahun 2002 akibat serangan jantung, kisahnya difilmkan dan seluruh dunia mengetahui tindakannya. (diana saragih)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini