Apa jadinya kalau pena yang mau kita goreskan kata tak bertinta? Sehuruf pun tentu tak bakal terlihat. Cuma bayang goresan pangkal pena saja yang pasti membekas di atas kertas. Tentunya, siapapun tak dapat membaca makna dari bayang goresan di kertas itu, kecuali si penulis sendiri. Ide seluar biasa apapun tak akan dapat dinikmati pembaca. Ironisnya, ide itu kandas hanya dalam benak sang penulisnya sendiri.
Kondisi ini tentu saja sangat awam dialami oleh banyak penulis. Masing-masing penulis memiliki penanya sendiri, cuma tintanya saja yang berbeda. Bagi penulis yang punya banyak amunisi tentu bisa menggunakan tinta bermerek Parker. Dengan begitu, ide dalam benaknya bisa mengalir deras bak air bah di atas kertas menciptakan karya yang spektakuler atau paling tidak karya yang populer bagi pembacanya. Lalu, bagaimana dengan penulis bertipe ibarat ‘mati segan hidup tak mau?’, tinta yang digunakan pun standar kadang kala sering macet. Karya yang dihasilkan tentu saja juga standar, paling tidak hasilnya bisa sekadar melepaskan dahaga yang haus atau perut yang lapar. Kalau begitu, bagaimana dengan penulis yang mempunyai pena tapi sama sekali tak bertinta? Hasilnya tong kosong nyaring bunyinya. Idenya boleh segudang tapi karyanya nol besar. Oh, sungguh menyedihkan. Inilah kenyataan yang sedang saya alami bersama kedua rekan saya sesama penulis.
Kami bertiga sepakat bahwa pena yang kami miliki tintanya sudah mengering. Kami ingin menjerit, meronta dan berteriak ‘Pena kami kering!’, ‘Pena kami tak bisa menggoreskan apapun!’ ‘Pena kami cuma bisa melihat pena lain yang masih menari di atas kertas dengan lincah.’ Rasanya tentu saja sangat pahit bak empedu. Sakitnya tiada tara. Rasa empedu itu pun kami kunyah bersama-sama. Kami lumatkan bersama-sama. Di samping, kami tetap berupaya mencari dokter, paranormal, psikolog hingga dukun beranak. “Mungkin kita sudah gila, hingga tidak bisa lagi berkarya,” ujar seorang temanku gundah.
“Itu mungkin di sebabkan kita terjebak rutinitas. Aktivitas yang melelahkan menyebabkan kita kelelahan sehingga ide tak lagi bisa diasah,” jawabku ringan.
“Terjebak aktivitas. Tentu tidak! Bukan itu alasan kita tak lagi bisa berkarya,” temanku ini begitu ngotot kalau aktivitas bukan penghalang penulis menjadi mandek. Aku pun membenarkan pendapatnya. Temanku ini mulai membeberkan perjalanan kreatif penulis novel The Firm dan The Client, John Grisham yang dengan kesibukannya sebagai seorang lawyer dan politikus tapi masih bisa meluangkan waktunya menulis di atas notes kecil yang dibawanya kemana saja setiap hari. “Bisa dibayangkan sibuk kalinya si John itu. Tapi masih bisa dia berkarya. Nah, kita bulshitlah..,”kata temanku yang satu lagi.
John Grisham merupakan satu novelis yang berkarya dengan meluangkan waktunya di tengah kesibukannya. Penulis ini mengerjakan bukunya satu hingga dua lembar per hari. “Saya meneruskan menulis buku itu sekalipun saat menderita flu, saat bertamasya dan kerap kehilangan waktu tidur..,” ujar Jhon ketika suatu kali mengungkap proses kreatifnya kepada media. Buku pertama Jhon ditolak hingga 251 kali oleh penerbit tapi Jhon tak pernah kenal putus asa dan terus berkarya kini buku-bukunya sudah terjual lebih dari 235 juta eksemplar di seluruh dunia. Pengalaman Jhon Grisham yang tak mengenal kata berputus asa ini pun senada dengan pengalaman novelis popular JK Rowling yang menghasilkan novel Harry Potter yang mampu membius pembaca di seluruh dunia. JK Rowling pun merupakan penulis yang awalnya ditolak penerbit hingga berulang kali, tapi dia tetap terus berkarya dan karyanya kini meledak di pasaran, bukunya diterbitkan hingga berulang kali dan terjual hingga jutaan eksemplar.
Kalau melihat pengalaman sekelas novelis Jhon Grisham dan JK Rowling sebenarnya tak ada alasan mengapa kita tak berkarya. “Atau mungkin kita harus kelaparan dulu seperti kisah di novel Laparnya Knut Hamsun, peraih nobel sastra dan penulis asal Roma Norwegia itu,” ujar temanku lagi. Temanku ini pun membeberkan kisah tokoh utama dalam novel Knut yang harus lapar dulu baru bisa menulis. Tapi setelah dia mendapatkan royalty dari novelnya diapun makan yang lezat dan menghabiskan uangnya, tapi dia tak mampu menulis sepatah katapun. Dia hanya bisa menulis kalau dirinya di saat sedang lapar. (lia anggia nasution)