Minggu (13/9) pagi kota Medan diguyur hujan. Polusi udara akibat asap kebakaran lahan di Riau belakangan ini sedikit banyak telah diredakan. Namun hujan kali ini sedikit membuat cemas para peserta susur sungai Deli, karena kegiatan tersebut terancam batal jika cuaca tidak membaik. Untungnya, saat seluruh perlengkapan telah siap, cuaca lamat-lamat cerah. Meski telat 2 jam dari jadwal yang telah direncanakan, acara tetap dihelat dengan antusias.
Ide susur sungai Deli ini digelontorkan oleh Ibu Sutias Handayani, Ketua Umum Badan Kordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BK3S) Sumut, yang juga merupakan salah satu pembina FJPI. Menurutnya, kegiatan ini tidak saja mengandung nilai wisata lingkungan tetapi juga bisa menjadi ajang komunikasi sosial dengan masyarakat pinggir sungai yang bertujuan untuk mengajak masyarakat lebih luas agar menghidupkan kembali sungai deli. Usul mengenal lebih dekat sungai utama kota Medan ini pun disambut antusias oleh para jurnalis perempuan dari berbagai media cetak dan elektronik tersebut.
Bekerja sama dengan pegiat lingkungan Save Our Rivers Consortium Sumut, susur sungai kali ini akan mengambil rute mulai dari dermaga Taman Edukasi Avros hingga ke Kampung Nelayan, Belawan. Waktu tempuh sekira 1,5 jam. Sekitar 20 peserta mengarungi sungai deli menggunakan 3 kapal karet bermotor. Bagi rata-rata peserta yang ikut, ini adalah kali pertama menyusuri sungai deli. Kesan jorok dan bau masih menyelimuti benak kami saat perjalanan di 10 menit pertama. Tapi itu justru mendorong kami untuk membawa kantong plastik besar untuk mengutip sampah yang bisa kami jangkau selama penyusuran.
Mungkin karena baru hujan sehingga aroma dan sampah tidak banyak terlihat. Perjalanan ini mulai terasa seru dan menyenangkan. Bukan karena indah atau semacamnya, tapi lebih karena sensasi mengalami perjalanan tak biasa sambil melihat fenomena kehidupan urban pinggir sungai. Sungai sepanjang 71 Km dan lebar lebih kurang 15 meter ini merupakan tumpuan sumber air sehari-hari ribuan warga yang berdiam di pinggir sungai. Baik itu untuk mencuci piring, pakaian, mandi, dan kakus. Ini sudah menjadi pemandangan keseharian warga di sana.
Kami menyempatkan diri untuk singgah di dermaga kecil Kampung Aur. Di sana kami bertemu dan mengobrol sebentar bersama warga setempat yang kebetulan juga sedang mencuci di sekitar dermaga dan juga Laskar Bocah Sungai Deli (Labosude). Mereka adalah kumpulan bocah yang dididik oleh sejumlah pegiat lingkungan peduli sungai sebagai pengingat warga setempat agar tidak membuang sampah ke sungai. Kesadaran peduli terhadap sungai juga harus menyentuh pada level anak-anak. Warga memang kini memahami pentingnya menjaga kelestarian sungai, namun masih dibutuhkan solusi agar warga tidak lagi membuang sampah ke sungai, yakni penyediaan tempat sampah yang memadai serta intensitas pengangkutan sampah dari lingkungan mereka oleh petugas truk sampah secara rutin.
Ketua FJPI, Ramdeswaty Pohan, melihat bahwa peranan pemangku jabatan lingkungan seperti lurah dan kepala lingkungan (Kepling) sangat penting dalam menggerakkan dan memfasilitasi kesadaran peduli sungai ini. “Lurah dan kepling memiliki akses ke pemerintah daerah dan masyarakat setempat untuk melakukan gerakan bersih dan peduli sungai. Nah, walikota yang bijak mengatur ketentuan dan anggaran untuk ini,” jelasnya. Dari pantauan kami di lokasi, tidak lagi terlihat tumpukan sampah di pinggir sungai atau di belakang rumah panggung di bibir sungai seperti di daerah sebelumnya kami lewati. Diharapkan ke depan, kampung-kampung lain di sekitar sungai bisa ikut juga menjauhkan sampah dari sungai dan membuat dermaga di kampung mereka.
Matahari semakin naik. Perjalanan kami masih panjang, karena itu kapal-kapal pun kembali bergerak menuju hilir. Pemandangan serupa masih terus kami temui silih berganti, tumpukan sampah serta aktifitas masyarakat yang mencuci dan mandi di pinggir sungai. Bangunan-bangunan di bibir sungai terlihat beraneka level. Mulai dari warung, rumah panggung, komplek rumah permanen, rumah sakit, bahkan perkantoran. Ada yang membangun tembok beton menutupi sungai, ada bangunan yang membelakangi sungai, nyaris tak ada bangunan atau rumah yang menjadikan sungai deli sebagai pemandangan depan. Di banyak rumah panggung yang dibangun di bibir sungai, tumpukan sampah terlihat sebagai ‘simpanan’ rumah tangga yang telah lama ‘ditabung’ di belakang rumah mereka.
Padahal dalam sejarahnya, sungai Deli adalah rute transportasi penting di zaman kerajaan Sultan Deli. Banyak kapal besar pengangkut barang dan orang hilir mudik di jalur ini. Dalam literatur sejarah kota Medan juga ada menyebutkan bahwa situs perkampungan tua kota Medan yang dibangun oleh Guru Patimpus, ada di daerah sekitar pertemuan Sungai Babura dan Sungai Deli. Namun karena tidak ada ditemukan bukti-bukti otentik, kebenaran sejarahnya masih belum bisa dipastikan. Kekayaan cerita sejarah dengan situs yang masih bisa dilihat sampai sekarang yakni jalur pintu masuk Istana Maimun dari Sungai Deli. Konon terdapat sebuah lorong dermaga atau terowongan tempat biasa sultan turun dari kapal menuju istana. Namun saat ini, jarak sungai deli ke Istana Maimun semakin menipis dikarenakan abrasi.
Kami memang melihat kondisi bibir sungai yang tergerus air melebihi ketinggian rata-rata, terutama saat terjadi banjir kiriman dari hulu. Pepohonan bahkan tiang jembatan menjadi etalase berbagai warna dan bentuk sampah yang tertinggal setelah dibawa arus. Tumpukan sampah seperti sudah menjadi bagian yang ‘wajar’ dari sungai Deli. Sejumlah warga yang menikmati akhir pekan dengan memancing di sungai, santai duduk di atas atau di samping tumpukan sampah. Begitu juga dengan anak-anak yang gembira mandi di sungai bersama teman-temannya.
Secara keseluruhan kondisi sungai Deli memang terlihat sangat ironis, dibutuhkan sekaligus diabaikan kelangsungannya. Namun perjalanan susur sungai kali ini juga menyuguhkan pemandangan yang asri di sejumlah tempat. Pepohonan dan rumput di pinggir sungai terlihat hijau dan teduh. Burung bangau bahkan terlihat di sisi kanan kiri sungai meski jumlahnya tidak banyak. Sempat juga terlihat burung jambul hijau dan biru terbang di pepohonan yang rindang di pinggir sungai. Ini pemandangan yang harus ditingkatkan. Sungai deli memiliki potensi sebagai wisata air yang kaya sejarah.
Muhammad Azmi dari Save Our Rivers mengungkapkan, dibangunnya kembali dermaga-dermaga kecil di perkampungan pinggir sungai akan memicu kebangkitan sungai sebagai rute transportasi massal. “Kita hidupkan lagi sungai Deli dan sungai-sungai lainnya. Konsepnya tetap sebagai jalur hijau yang bisa dimanfaatkan sebagai objek wisata maupun elemen penting kota yang membawa kehidupan yang lebih tertata,” ujarnya. (D/jp)
Foto-foto : Indah dan Uwi.