Meskipun saat ini perkembangan media di Indonesia cukup pesat, namun media masih jauh dari kepekaan terhadap perspektif gender.
Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo mengatakan hal itu dikarenakan fenomena pers industri dan pemberitaan media sudah berubah fungsi. Tadinya fungsi informasi dan politis menjadi fungsi yang lebih utama, yakni, hiburan. Informasi lebih difungsikan sebagai “alat” hiburan yang diperjual-belikan secara massal.
“Pers industri ditandai dengan pembagian segmentasi pembaca yang superketat. Terlebih lagi, pembaca media yang dipilah-pilah berdasarkan perbedaan umur, jenis kelamin, pendidikan, kelompok sosial, minat dan hobi,” kata Yosep Adi Prasetyo dalam Media Training On Gender yang diselenggarakan oleh Institute for Peace and Demograzy di gedung Hall Dewan Pers, Jakarta, Rabu (13/4).
Terlebih lagi kata Yosep, perkembangan teknologi dan persaingan yang ketat memunculkan berbagai media yang penuh warna dengan jenis kertas tertentu dan tampilan glossy untuk mengundang pengiklan dari barang-barang berkelas dan pembaca dari segmen kelas menengah ke atas.
“Meskipun banyak media perempuan yang didirikan dengan cita-cita untuk memajukan kaum perempuan, namun nyatanya dari sisi isi, cara peliputan maupun iklan hampir semua media perempuan tak mampu keluar dari nilai-nilai kapitalisasi sebuah media,” ujarnya.
Berbagai cara dilakukan untuk mampu mencapai penjualan setinggi-tingginya dan memperoleh iklan sebanyak-banyaknya. Konsep ini tentu saja kerap bertentangan dengan misi sosial sebuah media, tambah Yosep.
Tidak hanya itu kata Yosep, media juga kerap kali menempatkan perempuan sebagai obyek dagangan. Misalnya, untuk pemasaran barang-barang konsumtif dan kosmetik, untuk membeli fesyen (fashion) dan minyak wangi mahal dari kelas dunia dan lainnya.
Bahkan, hampir semua media perempuan yang ada melengkapi gambaran miskinnya prespektif dan ideologi gender yang dimiliki para pengasuh media. Media perempuan juga membuktikan bahwa mereka sama sekali tak pernah meliput kaum perempuan yang berasal dari sektor bawah, mungkin dengan alasan sektor ini memang bukan segmentasi pembaca mereka.
Media perempuan lanjutnya, melalui berbagai iklannya, justru menakut-nakuti pembacanya untuk selalu diburu berbagai kekuatiran dan ketakutan, serta cenderung menjadikan pembacanya untuk selalu merasa “rendah diri”.
“Misalnya, takut tidak akan memikat lagi, tidak menawan lagi, kulit akan mengeriput, tak dapat memuaskan suami lagi baik melalui hidangan makanan maupun dalam kehidupan seksual dan sebagainya. Media, termasuk media perempuan, seakan tak peduli dengan persoalan krisis moral kebangsaan selama ini. Bahkan ketika politik telah merambah isu gender sekalipun,” bebernya.
Oleh karena itu sambungnya, diperlukan perspektif dan pandangan gender sebagai penyeimbang cara pandang media dalam melihat persoalan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan yang berdiri di atas bangunan negara berstuktur patriarkis. Melalui perspektif gender, media harus bisa memberikan akses dan ruang kontrol yang lebih besar kepada kaum perempuan terhadap sumber daya alam seperti tanah, air dan hutan. (E/jp)
“Media harus peka terhadap perspektif gender dengan mengupayakan tindakan konkret bagi peningkatan kebijakan dan realisasi program untuk mewujudkan akses tersebut. Dengan kepekaan gender, media lebih mudah mengenali bukan saja situasi yang tengah menimpa kaum perempuan, tapi juga penindasan struktural terhadap kaum miskin, penderitaan anak-anak dan para korban kekerasan,”tuturnya.
Media Training On Gender yang bertemakan “representation, voices and influences diselenggarakan selama dua hari yakni Rabu dan Kamis (13-14 April). Menghadirkan sejumlah narasumber yang cukup terkenal di Indonesia. Diantaranya, kontributor the Jakarta Post, Julia Suiryakusuma, wartawan senior kompas, Maria Hartiningsih, pemimpin redaksi femina Petty S Fatimah, Managing Editor Majalah SWA Teguh Poeradisastra dan lainnya. Turut hadir pada training hari pertama yang mewakili kedutaan Norwegia, Henning Hjortland Johansen dan Second Secretary, Media and Strategic Communication, Departemen of Foreign Affairs and Trade, Australia Jenna Hand.
Direktur Ekskutif IPD, I Ketut Putra Erawan mengatakan, pelatihan media tentang gender ini untuk membekali jurnalis dan media dengan pengetahuan, pengalaman dan skill jurnalisme yang sensitive gender bagi tujuan reportase yang lebih baik.
“Reportase tersebut akan didasarkan pada nilai keakuratan, kejelasan dan fairness seta mencegah atau mengurangi kecendrungan stereotyping, diskriminasi dan patriarki dalam penulisan dan penyampaian berita,”katanya. (E/jp)