Momen bersama usai Nobar film dan diskusi tentang kekerasan seksual di Kopi bahagia Selalu, 22 Desember 2023 lalu. (Foto : Heri)

Di sebuah kedai kopi kecil nan sederhana bernama Kopi Bahagia Selalu milik seorang perempuan penyuka kopi dan buku, Yeva, kami menggelar nobar film She Said (Maria Schrader, 2022) dan diskusi “Fighting Back Sexual Violence”, 22 Januari 2023 lalu. Dihadiri belasan perempuan dari Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Sumut, Asosiasi Sineas Medan, dan komunitas Perempuan Hari Ini.

Di kedai yang nyaman itu, sebab tanpa asap rokok, kami menonton dengan emosi bercampur aduk menonton bagaimana kisah 2 jurnalis perempuan dan jajaran redaksi dari New York Times mengungkap kasus pelecehan seksual produser Miramax, Harvey Weinsten, terhadap puluhan artis dan staf yang bekerja di PH film-film Hollywood itu. Bagaimana media berperan dalam investigasi kasus yang tertutup selama puluhan tahun, dan bagaimana jurnalis dan media di sana memahami strategi serta prosedur peliputan yang ramah korban kekerasan seksual.

Sebagai jurnalis dan juga seorang filmmaker, saya sangat menyarankan film ini ditonton oleh banyak pihak terutama yang bekerja di bidang media dan film, agar bisa waspada dan berani mengungkap kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi. Tidak sedikit saya mendengar banyak perempuan korban pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja yang menderita, mengadu pada atasan namun malah dikucilkan, bungkam lalu depresi dan resign. Tidak ada kesempatan untuk melawan dengan lantang, atau bicara dengan keras meskipun bergetar. Tidak ada dukungan yang menguatkan mereka. Memulai buka suara dan melapor adalah satu hal. Polisi mengusut tuntas kasus ini hingga meja hijau adalah hal lain. Beberapa kasus kekerasan seksual yang dilapor ke polisi malah disarankan instansi itu untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Media mengungkap hal itu baru-baru ini.

Selama 2022, media membuka begitu banyak kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan dan laki-laki. Mirisnya, korbannya adalah sejumlah pelajar dengan pelakunya adalah orang yang dekat dengannya di lembaga pendidikan tempat mereka belajar. Tempat yang seharusnya menjadi sumber mata air jernih bagi para pelajar itu melepas dahaga ilmu pengetahuan. Bayangkan, di usia muda mereka, orang yang paling dipercaya justru merobek-robek masa depan mereka, membuat mereka menderita dan trauma. Yang paling anyar adalah kasus Hery Wiryawan (36), pemimpin sebuah Ponpes di Jawa Barat yang divonis mati oleh Mahkamah Agung karena kejahatannya yang luar biasa pada belasan santriwati yang dinaunginya. Ini pertama sekali di Indonesia, pelaku kekerasan seksual divonis mati, kendati hukuman mati itu ditolak oleh Komnas Perempuan.

Ini menjadi yurisprudensi bagi kasus-kasus kekerasan seksual lainnya yang terungkap. Masyarakat Indonesia dimelekkan bagaimana seriusnya kekerasan seksual dapat merusak masa depan korbannya sehingga harus dihukum berat. Produser Miramax, Harvey Weinsten, pelaku kekerasan seksual terhadap artis dan staf-nya dihukum 23 tahun oleh pengadilan Amerika Serikat di usianya 67 tahun pada 2020 lalu.

Diskusi “Fighting Back Sexual Violence” di Kopi Bahagia Selalu.

Melawan Suara Sunyi

Pada diskusi kami yang cukup intens setelah menonton film itu, terungkap sejumlah cerita sedih tentang kasus-kasus kekerasan seksual yang kami dengar bahkan ada yang dari kisahnya sendiri. Salah satunya kisah Nurni Sulaiman (Jakarta Post), Ketua FJPI Sumut yang beberapa waktu lalu meliput kamp pengungsi Rohingya terbesar dunia di Bangladesh. Ia mengatakan bahwa ada 1 juta pengungsi yang berdiam di kamp tersebut yang mana para perempuan kerap mendapat pelecehan seksual terutama untuk memenuhi keperluan di kamar mandi umum. Bisa dibayangkan bagaimana itu bisa terjadi di kamp yang padat tersebut. Namun masalah bersama yang dihadapi perempuan di sana bisa membangkitkan  radikalisme dan persatuan mereka. Perempuan-perempuan pengungsi Rohingya bersatu dan mengadukan masalah mereka pada Badan Pengungsi PBB (UHNCR). Mereka menuntut hak atas rasa aman berdiam di sana. Pelaporan itu direspon dan sejak itu perempuan pengungsi Rohingya di sana tidak pernah diganggu lagi seperti sebelumnya.

Ada juga kisah seorang istri yang mengalami penipuan, pelecehan, dan penelantaran ekonomi oleh suaminya yang berprofesi sebagai pendeta yang juga pengusaha. Mereka menikah secara agama namun belum mendaftarkan ke Catatan Sipil sehingga sulit menyeretnya di ranah hukum perkawinan. Ia sedang mencari dukungan dan pandangan dari sejumlah pihak agar mampu melawan suaminya yang lumayan punya pengaruh di masyarakat. Ia ingin dikuatkan.

Kami juga membahas bagaimana korban sebaiknya mengatasi trauma yang dialami. bagaimana keluarga, orang-orang terdekat sebaiknya membantu korban pulih dan cukup berani untuk menuntut keadilan secara hukum. Hal ini perlu dibicarakan dalam banyak pertemuan dan diskusi. Pengetahuan tentang kekerasan seksual, mendeteksi perilaku korban dan pelaku kekerasan seksual, serta langkah-langkah yang tepat untuk mengatasinya perlu diketahui semua lapisan masyarakat. Sebab kita tidak saja sedang melawan kekerasan seksual yang terungkap, tapi juga melawan pola pikir patriarki yang menganggap kasus kekerasan seksual adalah hal tabu dibicarakan secara terang benderang. Kita sedang melawan suara sunyi dalam kegelapan untuk menariknya masuk dalam terang keadilan. (Diana Srimilana Saragih)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini