Momen peringatan Hari Pers Nasional di Padang, Sumatera Barat, membawa saya pada museum Adityawarman. Sebagai jurnalis penyuka sejarah, saya tidak akan melewatkan kesempatan berkunjung ke Pameran Sejarah Pers Sumatera Barat di museum ini. Saat akan memasuki gedung museum, saya takjub dengan megah dan indahnya bangunan museum ini. Tidak lupa membayar tiket sebesar Rp3.000 per orang saja, saya langsung mengeluarkan kamera untuk mengabadikan gedung museum yang khas bangunan Minang. Hari itu kota Padang sangat cerah, langit biru menambah pesona keindahan gedung museum.
Gedung dua lantai ini terlihat masih sepi. Maklum, saya datang begitu pagi, sekira pukul 10. Setelah menulis buku tamu, saya langsung disuguhi sederatan pemandangan koleksi produk jurnalistik. Pajangan koran lama, mesin ketik tua, dan wajah-wajah tokoh pers yang tidak asing di telinga kita. Tetapi, tentu saja yang paling menarik perhatian saya adalah tokoh pers perempuan dan koran perempuan lama yang sungguh membuat mata saya terbelalak. Saya menemukan surat kabar perempuan terbitan tahun 1911. Wow, itu sekitar 107 tahun lalu. Koran itu bernama ‘Soenting Melajo’ .
Sunting Melayu pertama kali diterbitkan tahun 1911 di Padang di bawah pimpinan Rohana Kudus, seorang perintis pendidikan perempuan pada masa itu. Ia juga merupakan tokoh pers perempuan yang banyak disebut-sebut selama peringatan Hari Pers Nasional 2018 di Padang. Berdasarkan keterangan yang terdapat di museum tersebut, surat kabar ini memiliki ikatan kuat dengan kaum adat, khususnya Datuk Sutan Maharajo. Selain sebagai pemilik percetakan Sunting Melayu, Datok Sutan maharajo juga merupakan pendukung utama Rohana Kudus dalam mendirikan surat kabar ini.
Sunting Melayu mengusung cita-cita memajukan dan menempatkan perempuan pada kedudukan yang terhormat. Seperti terlihat dalam halaman depannya, konten koran ini berisi ajakan bagi kaum perempuan untuk berpengetahuan lebih baik, selain membaca dan menulis, tetapi juga sastra. Sunting Melayu mampu bertahan sampai tahun 1921.
Nah, koran perempuan lain yang saya temukan adalah ‘Soeara Kaoem Iboe Soematera’. Surat kabar untuk ibu-ibu rumah tangga ini diterbitkan oleh organisasi Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS) pada tahun 1925 di Padang Panjang. Surat kabar ini bersifat islamis nasionalis dan tidak terlibat dalam konflik antara kaum adat dan kaum muda pembaharu Islam. Sesuai dengan semangat organisasinya, koran ini mendukung emansipasi perempuan, menyuarakan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, menentang poligami, dan pentingnya keikutsertaan perempuan dalam upaya memperoleh kemerdekaan bangsa.
Hal ini terlihat dalam artikel pada satu halaman depan surat kabarnya yang dipajang.
“Pertemoean Besar jang pertama dari Sarikat Kaoem Iboe Soematera (S.K.I.S) di Boekit Tinggi. Hari Sabtoe 17 Agustus 1929, Pertemoean Besar S.K.I.S, jang pertama ini dilangsoengkan di gedoeng Scala Bio, dihadiri kira-kira 800 laki-laki perempoean. Dari pihak prang-orang Eropah poen ta’ koerang perhatian; kami lihat hadir toean-toean Dr. De Vries smbt. Voor Inl. zaken, Inspecteur Inl. Onderwijs, Inspecteur Wester afdeeling, Inspecteur Verschuur, Direfteur Mosviba, Kweekschool, Mr. Bachrach. …” Sayangnya, surat kabar ini menghilang tahun 1930-an.
Pameran sejarah pers di Sumatera Barat ini menambah khazanah pengetahuan saya tentang peran jurnalis dan media dari masa ke masa. Bahwa, setiap daerah di Indonesia memiliki tokoh pers-nya masing-masing dan memanfaatkan media sebagai wadah kampanye dan mempersatukan cita-cita. Dari sekian banyak tokoh pers nasional yang dikemukakan baik dari tampilan visual maupun audio visual, saya mencatat ada sekira 10 tokoh pers nasional perempuan yang memiliki keterkaitan dengan media di Sumatera Barat. Mereka adalah Rohana Kudus, Ani Idrus dan Rasuna Said, Elly Kasim, Prof Zakiah Daradjat, Asyiah Amini, Nuriah Adam, Rahmah Yunusiah, Gusmiati Said, serta Siti Maimonah. Seluruh tokoh pers perempuan tersebut memiliki perannya masing-masing di dunia jurnalistik. Bagaimana sepak terjang mereka, bisa kita ikuti informasinya melalui media audio visual yang disediakan oleh museum Adityawarman. Pameran ini masih akan berlangsung hingga 1 Juni 2018 nanti. (Diana Saragih)