Travel is the only thing you buy that makes you richer…
Kalimat itu dilontarkan seorang pelancong tepat ketika ia mendapatkan kesadaran bahwa perjalanan yang ia lakukan ke suatu tempat membuat ia bahagia melebihi nilai uang yang dikeluarkannya. Meskipun tidak ada tolak ukur internasional untuk itu, bisa dipastikan obat manjur untuk mengembalikan ceria hati adalah traveling.
Didorong oleh keinginan untuk nostalgia ke beberapa kota di Sumatera Utara, saya mencoba membuat travel plan dengan berlandaskan waktu dan budget yang ada. Selama Februari kemarin saya berkesempatan untuk membelah perut Sumatera Utara, dari pantai timur sampai pantai barat, dari Pulau Jaring Halus di Langkat sampai ke Barus di Tapanuli Tengah. Kedengarannya gak seseram itu kok, saya melancong cuma di saat weekend saja karena ada pekerjaan yang harus saya jalani di hari kerja.
Menyinggahi beberapa kota yang memiliki kekhasan, menambah kaya pengalaman saya tentang betapa Sumatera Utara ini sungguh luar biasa. Peninggalan budaya dan sejarah begitu beragam, pun kulinernya. Di Jaring Halus saya mendapat kesempatan makan hasil laut segar dan tentunya jauh lebih murah dari harga di pasar. Tiga hari yang menggendutkan, selalu ada alasan untuk makan lahap dan santai-santai di rumah panggung. Saya juga sempat melihat proses pembuatan blacan (bahasa Medan untuk terasi) di Pulau Jaring Halus, melihat aktifitas sehari-hari warga di sana.
Saya lalu jalan ke daerah Tanjung Balai di minggu berikutnya via kereta api. Di sana ikan segar juga menjadi menu wajib, maklum daerah pesisir. Namun yang paling berkesan adalah melihat dandanan becak bermotornya (betor) yang aduhai. Seorang tukang becak rela mengeluarkan jutaan rupiah untuk memodifikasi betornya lengkap dengan loudspeaker yang nge-bas abis. Fiuhh… Penumpang juga hepi karena selama perjalanan diiringi musik dangdut yang hingar bingar.
Nah, perjalanan saya berikutnya agak panjang, seminggu. Saya melakukan tur wisata spiritual ke Taman Wisata Iman (TWI Sitinjo) di Kabupaten Dairi, lalu ke Salib Kasih di Tarutung Tapanuli Utara, kemudian dilanjutkan ke makam papan tinggi di Barus Kabupaten Tapanuli Tengah. Perjalanan ini cukup menguras tenaga karena medan menuju lokasi membutuhkan treking yang lumayan panjang. Jujur, saya tidak ada persiapan fisik untuk tur ini. Bahkan kondisi tubuh saya sedang tidak fit karena perubahan suhu dan perjalanan jauh. Saya sempat mengurungkan niat untuk naik ke makam papan tinggi, karena takut tepar (bahasa Medan untuk kelelahan). Teman saya lalu menyemangati, dan ternyata saya baik-baik saja. Emosi justru sedikit tersulut tatkala melihat banyak kemasan plastik air mineral berserakan di luar pagar makam dan di sekitar bangku tempat beristirahat. Tidak mau turun dengan hati dongkol saya bersama teman saya lalu memunguti sampah-sampah yang bisa kami bersihkan lalu memasukannya di sebuah karung goni yang ada di dekat pintu masuk.
Hari yang melelahkan itu saya akhiri dengan mandi-mandi di sungai Aek Sirahar di bawah sunset. Itu adalah mandi mewah yang jarang sekali bisa saya nikmati dalam hidup saya. Sungguh menyenangkan. Beberapa anak turut mandi sore itu. Walaupun ketinggian air hanya selutut orang dewasa, namun arusnya lumayan deras. Nganyut sambil tertawa bersama anak-anak itu, tak terlupakan. (jp)
Sumber : Dunia Melancong