Oleh Khairiah Lubis
Desember 2012. Pintu rumah bertingkat dua dengan cat merah muda itu terbuka. Di garasi, Indri, bukan nama sebenarnya, sedang menyusun barang-barangnya ke dalam kardus. Beberapa potong baju yang masih di luar dilipatnya kecil-kecil, lalu disusun ke dalam kardus. Buku-buku serta mainan adiknya, Andri, juga bukan nama sebenarnya, diletakkan di atas baju. Lalu, kardus itu ditutupnya, dan digeser kearah kardus-kardus lain yang sudah terisi. Ada 3 kardus beserta 1 buah tas besar berisi baju, mainan, buku-buku kuliah, berkas-berkas dan obat obatan Andri yang siap diangkut. Gadis berusia 18 tahun itu menghela nafas. Ini adalah kali keempat mereka pindah tempat tinggal setelah kedua orang tua mereka meninggal dunia.
Indri berpikir, ketika tinggal di rumah uwak atau kakak ibunya di Delitua ini tujuh bulan lalu, itu adalah tempat tinggal terakhir. Ternyata tidak. Kedatangan seorang bayi mungil, cucu uwaknya yang sekarang tinggal di rumah itu memaksa mereka angkat kaki. Dipandanginya Andri yang setia menungguinya sambil memegang erat mobil-mobilannya. Tiada pertanyaan meluncur dari mulut Andri kenapa mereka harus pergi. Bocah lelaki berusia 9 tahun yang baru diketahui terinfeksi HIV pada usia 6 tahun itu seperti sudah maklum dengan peristiwa apapun yang mereka alami setelah ayah dan ibu mereka tiada.
Di hadapan mereka, uwak dan kakak sepupunya, Lily, berdiri. Mereka memeluk Indri dan Andri. Seolah tidak tega membiarkan anak-anak itu pergi, tapi mereka juga tidak menahan Indri dan Andri untuk menetap di rumah mereka. Saya memandang adegan itu haru, sambil berpikir, cukup berat cobaan yang harus dihadapi anak-anak yatim piatu itu. “Kak, maafin Lily ya, Lily nggak bisa berbuat apa-apa. Karena ada Andri, kalau cuma Indri aja, bisalah di sini, tapi ini ada Andri, kami nggak bisa karena sekarang ada anak kecil. Tolong jaga Indri ya kak, jangan sampailah dia kena virus juga,” kata Lily sambil memeluk saya dan membuat saya menyadari alasan mereka membiarkan Indri dan Andri pergi.
Kalimat Lily menegaskan bahwa keluarga itu sama sekali tidak paham bagaimana penularan virus HIV itu. Pikiran mereka masih terkungkung oleh mitos-mitos tidak benar tentang HIV dan AIDS, bahwa HIV gampang menulari orang lain. Malangnya lagi, ketidakpahaman ini berasal dari Lily, yang sehari-hari berprofesi perawat di rumah sakit swasta di Medan.
Agar pemahaman perawat itu tidak terus salah, saya langsung menjawab,” Justru yang harus dijaga itu Andri, dia yang sakit, dia yang mudah tertular virus dan penyakit dari kita, bukan Indri. Kalau Indri kan sehat, dia juga sudah besar, bisa menjaga dirinya sendiri. ”
Saya lalu membawa kedua anak itu serta barang-barang mereka ke kantor Medan Plus, lembaga pendamping orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang mempunyai rumah rehabilitasi di Jalan Padang Bulan Medan. Eban Totonta Kaban, Ketua Medan Plus bersedia menerima sementara anak-anak ini sebelum kami menemukan rumah yang akan menjadi tempat tinggal mereka. Meski ruang yang mereka tempati apa adanya, namun kehangatan yang diberikan orang-orang di rumah ini membuat Andri terlihat nyaman. Perhatian yang diberikan para ODHA dan OHIDA di rumah rehabilitasi ini menjadi semangat hidup Andri yang akan membantunya menjadi lebih sehat.
Pada Sebuah Ruang Isolasi
Akhir tahun 2010. Inilah perkenalan saya pertama kali dengan Andri. Ketika itu Andri dirawat di rumah sakit Pirngadi Medan. Informasi yang saya terima dari seorang kerabat yang baru berkunjung ke rumah sakit pemerintah itu membuat saya tersentak. Bahwa di sebuah ruang isolasi yang kecil di rumah sakit itu ada seorang anak positif HIV, sering sendirian di ruangannya, menangis sambil batuk berat karena tidak ada yang menemaninya, sementara kakaknya pergi ke sekolah.
Kabar ini menggerakkan hati saya untuk mengajak kawan-kawan dari Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), organisasi jurnalis perempuan di Medan yang saya pimpin waktu itu, untuk menjenguknya ke rumah sakit. Bersama empat rekan dari FJPI dan seorang wartawan yang juga relawan di Maria Monic Last Wish, kami ke rumah sakit dan menjumpai bocah itu sedang didampingi kakaknya. Tubuh kurusnya terguncang karena batuk yang keras. Matanya kuyu. Dia memandangi kami dengan nafas memburu. Ruas-ruas tulang dadanya menonjol di balik dagingnya yang tipis. Umurnya waktu itu baru 7 tahun, beratnya hanya 13 kilogram.
Rasa trauma sang kakak terhadap wartawan berbuah penolakan atas kehadiran kami.Tapi dengan pendekatan kemanusiaan dan empati, kami berhasil membuatnya tenang dan percaya kalau kami datang hanya berniat menolong. Indri bercerita sudah satu bulan adiknya dirawat di rumah sakit. Dia juga menuturkan bahwa sesekali terpaksa meninggalkan adiknya sendirian di rumah sakit karena harus pergi ke sekolah untuk ujian akhir kelas tiga SMA serta akan menghadapi UN.
Seorang perawat berbisik kepada teman saya agar kami jangan lama-lama berada di ruang itu karena selain HIV, bocah itu menderita TB dan udara di dalam ruangan dapat menularkan penyakitnya ke kami. Ini rupanya yang menjadi penyebab mengapa anak lelaki kecil ini sering sendirian menangis sambil batuk-batuk keras di ruangannya ketika kakaknya pergi ke sekolah. Sekali lagi, mitos HIV dan AIDS mudah menular, ada pada ketidakpahaman petugas kesehatan sehingga Andri sering diabaikan. Padahal menurut dokter paru yang saya temui di luar rumah sakit, bakteri TB pada anak tidak akan menular kepada orang lain. Virus HIV juga tidak menular dengan gampang.
Selanjutnya kami mulai rutin mengunjungi Andri di rumah uwaknya. Tapi ketika kondisi batuk Andri semakin buruk dan tubuhnya semakin kurus, kami mulai melakukan intervensi terhadap pengobatannya. Dengan bantuan kawan-kawan dari FJPI dan Forum Wartawan Kesehatan (Forwakes) di Medan, kami berhasil membujuk keluarganya agar mengizinkan membawa Andri untuk dirawat di rumah sakit lagi.
Sejak itulah, kesehatan Andri menjadi perhatian kami. Secara rutin setiap bulan kami membawanya ke Dr. Umar Zein, SpPD, Ketua Perhimpunan Dokter Peduli HIV AIDS di Medan. Dengan memperhatikan pemberian anti retroviral (ARV) setiap 12 jam, obat TB yang teratur, serta makanan dan vitaminnya, berat badan Andri mulai bertambah menjadi 22 kilogram. Begitu juga dengan jumlah CD4 atau sel ketahanan tubuhnya terhadap virus mulai meningkat menjadi 100, dari sebelumnya hanya 34. Andri mulai dapat bermain dengan ceria, jalan-jalan keluar kota, dan sekolah mengaji. Dia bahkan bercita-cita menjadi walikota. Mitos bahwa AIDS adalah penyakit mematikan, sirna.
Terperangkap Mitos
Mitos-mitos yang salah telah membuat pemahaman masyarakat tentang HIV dan Aids menjadi bias. Bahwa Aids adalah penyakit yang mudah menular kepada orang lain, dan tak ada harapan hidup bagi seorang ODHA. Mitos yang salah ini membuat para ODHA semakin dijauhi dan terpuruk. Alih-alih bisa hidup sehat, mitos yang menjadi stigma ini membuat kondisi kesehatan ODHA semakin buruk.
Di Sumatera Utara, data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara menyebutkan jumlah akumulasi anak dengan HIV dan AIDS atau ADHA pada bulan Mei 2015 adalah 224 orang,sementara total ODHA berjumlah 7092 orang. Jika mitos atau pengetahuan masyarakat tentang HIV dan AIDS masih tidak mumpuni, maka akan ada dua ratusan anak ADHA yang akan mendapatkan stigma karena statusnya.
Kepala Sekretariat Komisi Penanggulangan Aids Sumatera Utara Achmad Ramadhan mengatakan, faktor penyebab masih berkembangnya mitos tentang HIV dan AIDS adalah karena ketidakpahaman masyarakat terhadap permasalahan HIV dan AIDS. Padahal HIV hanya bisa menular melalui beberapa faktor risiko, melalui hubungan seksual dengan pasangan yang berisiko, jarum suntik yang terpapar HIV, transfusi darah yang mengandung virus HIV dan melalui air susu ibu (ASI).
“Program sosialisasi pada masyarakat belum maksimal, karena anggaran tidak mendukung. Selama ini hanya 30 persen penanganan HIV dan AIDS yang ditangani pemerintah, sebanyak 70 persen dilakukan oleh pihak luar (donatur luar negeri). Pemahaman pemerintah daerah tentang bantuan dari luar ini harus jelas, apakah bantuan dari luar ini berkesinambungan atau tidak, ” kata Ramadhan. Artinya, ketika bantuan dari luar berhenti dan pemerintah juga tidak mengambil porsi yang besar, maka penanggulangan HIV dan AIDS jadi terganggu.
Sesuai dengan amanat Perpres RI No 75 tahun 2006 maka Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) (http://www.aidsindonesia.or.id) dibentuk untuk mengkordinir stakeholder, baik pemerintah daerah maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang diatur pada Permedagri No 20 tahun 2007. Tujuannya untuk meningkatkan peran dari semua sektor dalam penanggulangan HIV AIDS. Setiap instansi memiliki program dan APBD masing-masing untuk melakukan program penanggulangan HIV AIDS.
Untuk memupus mitos, maka faktor penyebab mitos, yaitu ketidakpahaman harus diminimkan. Caranya adalah dengan melakukan sosialisasi yang intensif ke masyarakat. Bukan hanya pemerintah yang berkewajiban, tapi juga masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi memberikan pemahaman yang benar tentang penularan HIV AIDS dan menjaga diri dari prilaku buruk sehingga tidak terinfeksi oleh virus ini.
“Simbol-simbol tentang HIV AIDS juga harus diubah. Kalau dulu, informasi tentang HIV AIDS suka disertai gambar tengkorak, bahwa kalau terinfeksi HIV maka akan segera mati. Maka sekarang simbol-simbol itu sudah dihilangkan. Menjadi ODHA tidak berarti segera mati, karena ODHA bisa tetap sehat jika tahu bagaimana menjaga kesehatannya,” jelas Ramadhan.
Selain itu, sosialisasi tentang HIV dan AIDS di dunia pendidikan juga perlu, bisa dilakukan melalui muatan lokal, agar semakin banyak orang yang paham tentang HIV dan AIDS, sehingga dapat memupus mitos yang selama ini membuat orang takut terhadap ODHA dan melakukan stigma terhadap mereka.
Pertemuan Nasional atau Pernas AIDS V Makassar 2015 (http://pernasaids5.org) yang akan digelar Oktober nanti juga diharapkan dapat mengurai persoalan HIV dan AIDS yang terjadi di setiap daerah di Indonesia. Sehingga dengan demikian akan terjadi kerjasama di Nusantara, tentang bagaimana melakukan pencegahan menularnya HIV dari pengguna narkoba suntik dan transmisi seksual, perawatan dan dukungan kepada ODHA agar dapat hidup sehat, serta menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.
Jika masyarakat sudah semakin paham permasalahan HIV dan AIDS, tentu Andri dan anak-anak dengan HIV lainnya akan lebih mudah diterima, disayang, sehingga akan hidup sehat dan berkualitas dalam waktu yang lama, bahkan dapat mewujudkan cita-cita. Pengetahuan yang terang benderang bisa memupus mitos yang selama ini ada. Empat tahun bersama Andri. Tuhan berkehendak lain, pada 30 Oktober 2014, Andri kembali ke pangkuan Sang Pencipta, dalam usia 11 tahun. (*)
#pernasaids5