Catatan Fellow Citradaya Nita 2019 (2)

Fellowship Citradaya Nita 2019 dari Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) yang saya kerjakan sejak Januari 2020 membawa saya ke perjalanan lebih jauh mengenal lagi orang-orang yang selama ini berjuang untuk mengenyahkan virus HIV dari tubuh mereka, juga dari tubuh pasien mereka.

Adalah K, ibu rumah tangga dengan HIV/AIDS di Medan, yang pertama saya temui ketika saya kembali dari Jakarta usai mengikuti workshop bersama 10 fellow Citradaya Nita 2019, akhir Desember 2019, untuk merealisasikan kegiatan fellowship saya. Saya ingin mengumpulkan permasalahan ibu rumah tangga ODHA darinya. Bersama rekan jurnalis perempuan yang sekarang bekerja di alfatih-media.com, Eko Fitri, kami bertemu K di Merdeka Walk. Dari K, kami menampung sejumlah permasalahan yang dialami ibu rumah tangga dengan HIV AIDS.

“Tahun 2011, suami saya drop karena baru tahu terinfeksi HIV. Saat itu kami membawanya ke Penang, Malaysia karena di Medan sudah bolak-balik keluar masuk rumah sakit tapi tidak diketahui sakitnya apa. Karena suami positif, saya juga langsung diperiksa, dan ternyata juga positif. Keluarga suami juga langsung menjaga jarak dengan saya. Anak-anak saya juga dijauhkan dari saya. Keadaan semakin buruk ketika suami saya meninggal, saya tidak diberi izin merawat anak-anak saya,” kisah K yang mempunyai dua anak ini.

Namun dengan perjuangannya untuk dapat hidup sehat, bekerja dengan baik, pandangan pihak keluarga suami mulai berubah dan perlahan dapat menerima dirinya. Tapi semuanya karena ia sendiri yang memperjuangkan keadaan dirinya. “Saya harus terlihat sehat, jadi saya harus dandan cantik, supaya orang yakin saya sehat. Orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) selama dapat menjaga kesehatan akan baik-baik saja,” kata K.

K bersyukur karena ia berhasil melewati ujian berat saat-saat di awal mengetahui dirinya positif HIV. Banyak perempuan lain yang tidak dapat bertahan karena mendapatkan stigma dari keluarga dan lingkungan, hingga kondisi sakit-sakitan, tidak mau berobat karena malu atau sudah putus asa, berhenti bekerja karena takut ketahuan HIV.

“Akhirnya banyak perempuan dengan HIV tidak dapat mengakses layanan kesehatan, karena ketakutan-ketakutan tadi. Mereka kebanyakan putus asa, akhirnya tidak dapat bertahan,” ungkap K.

Kebanyakan ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV mendapatkan penularan dari suami mereka. K memperkirakan, suaminya sudah terinfeksi HIV sebelum mereka menikah. Mereka menikah pada tahun 2009, dan tahun 2011 kondisi suami langsung menurun drastis akibat diserang virus HIV. Waktu itu anak kedua mereka, Tr, baru berusia 9 bulan.

“Saya langsung khawatir apakah anak-anak saya juga sudah terinfeksi HIV. Tapi syukurlah dari beberapa kali pemeriksaan HIV, kedua anak saya negatif,” cerita K.

K yang kini aktif di Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kota Medan mengungkapkan, untuk menekan angka penularan dari suami ke isteri, penjangkauan harus dilakukan kepada suami. “Karena perempuan, isteri di rumah, kebanyakan takut sama suami. Isteri tidak berani menolak suami meskipun mungkin ia curiga bahwa suami telah melakukan hubungan seks berisiko di luar rumah,” kata K.

P, ibu rumah tangga dengan HIV/ AIDS lain di Medan, juga mendapatkan penularan dari suami. Sama dengan K, anak P, yaitu R (13), juga negatif. Ayah R sudah meninggal dunia. P juga sudah menikah lagi dan tetap bekerja di sebuah lembaga pendampingan ODHA di Medan. Namun ia khawatir mengenai masa depan anaknya. Sebab ia tidak tahu apakah ia akan tetap dapat hidup sehat atau tidak. Yang ia inginkan hanya anaknya agar dapat melanjutkan pendidikan dengan baik.

Dr Rita SpA, yang sejak 2003 sudah menangani anak-anak dengan HIV/ AIDS di RSUP H Adam Malik Medan mengungkapkan, saat ini ada 200 anak dengan HIV AIDS (ADHA) yang rutin berobat dengannya. Dokter yang juga berkegiatan di Forum Peduli Anak dengan HIV AIDS (FP-ADHA) Medan ini mengatakan seharusnya anak-anak dapat dicegah tertular HIV saat proses kehamilan ibu. “Ibu yang hamil harus langsung tes HIV, agar jika ternyata positif, dapat dilakukan pencegahan penularan dari ibu ke anak (PPIA) yang akan dilahirkan. VCT harus berjalan,” kata Dr Rita.

Selama 17 tahun menghadapi permasalahan anak-anak dengan HIV/AIDS, banyak hal yang menjadi pengalamannya. “Hubungan dengan ibu dan anak yang menjadi pasien kadang sudah di luar pekerjaan. Ada yang datang ke rumah untuk silaturahmi, setiap satu pasien, ada satu cerita,” kisah Dr Rita. (Khairiah Lubis).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini