Lomba foto maraton bertajuk IBU KOTA di Medan, Sabtu (12/12) kemarin berlangsung sukses. Sebanyak 8 peserta berusia 15-21 tahun yang diseleksi panitia dari Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) mengikuti rangkaian photo hunting di tiga titik kota Medan, yakni Lapangan Merdeka dan sekitarnya, Kampung Aur, dan Pasar Sambu. Tiga titik lokasi pemotretan tersebut sengaja dipilih untuk berburu potret aktifitas perempuan bekerja di ibukota yang menjadi tema lomba foto.
Menurut Kordinator Acara, Diana, lomba foto ini merupakan rangkaian acara dari Medan Photography Festival yang digelar untuk memperingati HUT FJPI ke 8. Lomba foto sengaja ditujukan kepada para fotografer berusia 15-21 tahun untuk memacu para pehobi foto muda yang akan memotret fenomena ibu atau perempuan pekerja di ibukota. “Tiga titik lokasi tersebut memuat banyak sekali aktifitas perempuan ibukota, terutama kaum bekerja sehingga peserta dapat mengabadikan mereka melalui foto-foto yang akan dipamerkan pada puncak acara HUT FJPI ke 8 pada Sabtu depan tanggal 19 Desember 2015 di Taman Budaya Sumut,” ujarnya.
Tema yang diusung yakni IBU KOTA juga diambil bukan tanpa alasan. Sebagai organisasi jurnalis perempuan, FJPI sangat konsern dengan isu-isu perempuan dan anak yang saat ini masih membutuhkan perhatian dari pemerintah. Di kawasan Kampung Aur, banyak ibu mengandalkan air sungai Deli yang jauh dari kategori air layak pakai karena bercampur sampah dan limbah rumah tangga lain. Sementara di Pasar Sambu, banyak ibu-ibu pedagang kaki lima yang terpaksa menggelar dagangannya di tanah karena ketiadaan modal dan fasilitas pasar yang memadai. Padahal para ibu pedagang kaki lima tersebut tidak jarang merupakan tulang punggung keluarga. Sementara lokasi foto di Lapangan Merdeka diambil sebagai ikon kota Medan yang disebut-sebut sebagai kota metropolitan, namun masih jauh dari ekspektasi keindahan dan kenyamanan sebuah ibukota provinsi Sumatera Utara. Sampah menumpuk, bangunan permanen liar dibiarkan berdiri, pedagang tidak ditata, pagar beton lapangan yang tidak semestinya, dan banyak hal lain yang perlu diperbaiki demi keindahan dan kenyamanan ibukota. “Foto adalah media paling cocok untuk membuka mata dan mengabadikan momen, termasuk bentuk protes dan kepedulian terhadap suatu situasi,” tambah Diana.
Obrolan Santai Bergizi
Usai berburu foto di tiga titik lokasi lomba, para peserta kemudian diajak untuk berdiskusi santai dengan salah seorang fotografer senior kota Medan yang sudah dikenal masyarakat luas, yakni Bapak Paksana Ginting (74), penerus MARI Photo Studio. Pak Ginting berbagi cerita bagaimana ia mulai terjun ke dunia fotografi dan betapa prestisiusnya profesi fotografer di masa awal-awal ia mengenal dunia fotografi. “Ayah saya dulu yang membangun MARI Foto ini pada awal 1940-an di Kabanjahe, Karo. MARI itu singkatan dari Medeka Abadi Republik Indonesia, sengaja disingkat supaya tidak ditangkap Belanda,” kenangnya.
Usia belasan tahun ia sudah memegang kamera dan memotret serta mendapat penghasilan yang baik sehingga bisa mendirikan studio foto di beberapa tempat seperti sekarang ini. Usaha bisnis fotografi ini pun menular kepada anak dan cucunya saat ini. Kelima anaknya dikenal sebagai fotografer juga, di antaranya yakni Arif Ginting dan Paul Ginting. “Apapun pekerjaan kita, lakukan sebaik mungkin, semaksimal mungkin. Hasilnya akan tetap kita nikmati, walaupun tidak dalam waktu singkat,” ungkapnya. (jp)