Oleh Dinna F Norris

Angin semilir sedang bertiup di dunia perempuan. Pasalnya, Presiden Joko Widodo telah resmi membentuk Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang diumumkan di Bandara Halim Perdanakusuma jelang keberangkatannya Kunker ke daerah. Pansel KPK ini terdiri dari sembilan orang anggota dari berbagai latar belakang, yang mana kesembilan orang tersebut adalah perempuan. Mereka hadir untuk dapat menyaring komisioner KPK yang akan segera mengakhiri masa tugasnya pada akhir 2015 mendatang.

Memang, kehadiran sosok perempuan dalam lingkup pemerintahan Jokowi bukan hal yang asing dan ahistoris. Sebab, sewaktu masih menjadi Walikota Solo, ia pernah mengangkat kepala Satpol PP seorang perempuan. Begitupun penunjukan menteri-menterinya di Kabinet Kerja, ada delapan orang perempuan yang berjibaku di sana.

Pansel KPK 2015 seluruhnya perempuan dari berbagai bidang keahlian, mulai dari hukum hingga keuangan. Adapun kesembilan perempuan yang tergabung dalam pansel KPK tersebut yaitu Destry Damayanti Msc (Chief economist Bank Mandiri, ahli ekonomi dan keuangan); Natalia Subagyo Msc (Ketua Dewan Pengurus Bung Hatta Anticorruption Award, Ketua Transparansi Internasional Indonesia, Sekretaris tim Independen Reformasi Birokrasi, ahli good governance dan reformasi birokrasi); Dr. Yenti Garnasih SH, MH (Dosen hukum pidana ekonomi dan pencucian uang, Fakultas Hukum Universitas Trisakti, unsur ahli); Dr. Eni Urbaningsing SH, (Ketua BPHN Kementrian Kumham, ahli hukum Tata Negara); Profesor Dr. Harkristuti Harkrisnowo SH, LLM (Mantan Dirjen Ahu, Ketua Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kementrian Kumham, ahli hukum pidana); Ir. Betti Alisjahbana (mantan CEO IBM ASEAN dan South Asia, ahli management, Ketua Majelis wali amanah ITB); Meuthia Ganie-Rochman Phd (Ahli Sosiologi Korupsi dan Modal Sosial FISIP Universitas Indonesia); Supra Wimbarti Msc Phd (Dekan Fakultas Psikologi UGM, ahli psikologi ); dan DR. Diani Sadia wati SH LLM Direktur Analisa Peraturan Perundang-undangan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Kebijakan ini merupakan terobosan baru yang tidak dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Kendati demikian, komposisi kesembilan orang Pansel ini terang saja menuai polemik di berbagai pihak. Banyak kalangan mencibir dan mempertanyakan, namun tak sedikit juga yang bersorak dan bertepuk tangan. Namun barangkali masyarakat kita tak terbiasa melihat wajah perempuan sebagai pembuat keputusan. Itu sebab ketika pansel-pansel yang dibentuk sebelumnya beranggotakan laki-laki secara keseluruhan, masyarakat tidak pernah menyinggung perkara jenis kelamin, seakan-akan laki-laki merupakan makhluk ajaib bertangan midas. Namun sebaliknya, jika perempuan diberi peranan meski kecil sekalipun, seluruh cerca akan terlontar ke udara, seakan-akan geliat perempuan di kancah pemerintahan dianggap aneh dan tidak wajar, serta dapat meruntuhkan negara. Padahal perempuan dan laki-laki memiliki hak, peluang dan kesempatan yang sama untuk membangun bangsa dan negara.

Sejarah adalah gerak hidup peristiwa masa lalu yang tak ingin dilupakan. Ia merupakan dialog yang tak pernah selelsai diperbincangkan, diteladani, serta diperdebatkan kembali. Dan dalam sejarah Indonesia, kita bisa menemukan kisah heroik Kartini, Cut Nyak Dhien, Dewi Sartika, K’tut Tantri, Rohana Kudus dan sebagainya. Mereka adalah perempuan-perempuan yang menjadi pelaku sejarah, yang turut andil dan berjuang dalam merebut kemerdekaan.

Barangkali juga, penulis sejarah yang kita kenal selama ini adalah laki-laki sehingga sejarah yang kita kecap dan pelajari sangat bersifat maskulin. Sebut saja Herodotus yang dijuluki The Father Of History atau Bapak Penulisan Sejarah, Betrand Russell, Trevelyan, Voltaire, Nugroho Notosusanto, sampai Sartono Kartodirdjo, yang kesemuanya adalah laki-laki.

Oleh karena itu komentar negatif dan meragukan acap dilontarkan ketika peran perempuan dirasa begitu dominan, terlebih lagi ketika mereka didapuk sebagai pemimpin dan pembuat kebijakan. Mereka dianggap tidak bergigi untuk memecahkan persoalan bangsa. Seolah-olah, kisah yang terpampang di bumi hanya diisi oleh kejayaan laki-laki sebagai penentu sejarah dan peradaban.

Padahal dalam membuat perubahan, kita tidak perlu membicarakan urusan gender. Tapi kita berbicara tentang kredibilitas, kualitas dan integritas. Toh kesembilan srikandi yang dipilih Jokowi bukan berasal dari perempuan biasa yang miskin ilmu dan pengalaman. Mereka adalah perempuan hebat, pakar, terdidik dan memahami tugasnya untuk melahirkan calon pemimpin yang cakap, memiliki kemampuan untuk memperkuat KPK, mampu menjalin kerjasama dengan lembaga penegak hukum lainnya dan tentunya dapat memberantas korupsi tanpa tebang pilih.

Tak ada yang perlu ditakutkan. Sebab ini bukan perkara emansipasi yang kebablasan di mana laki-laki terpaksa mendongak ke atas jika mau memandang perempuan, dan terpaksa tertunduk-tunduk jika hendak berbicara dengan perempuan. Maka dari itu tak perlu mempersoalkan mengapa Presiden Jokowi menunjuk sembilan perempuan sebagai pansel KPK, sembari berharap penunjukan ini bukan kedok untuk mencari perhatian, akan tetapi langkah optimis yang dapat dipertanggungjawabkan. Selamat kepada sembilan srikandi terpilih. Masyarakat menunggu sepak terjang pansel KPK untuk memilih calon pimpinan KPK, agar tidak lagi-lagi ‘kandas’ di tengah jalan seperti pimpinan sebelumnya, Bibit Candra, Antasari Azhar, Bambang Widjojanto, dan Abraham Samad.

*Dinna F Norris, adalah seorang penulis dan pemerhati politik yang menetap di Kota Medan. Ia juga Alumni Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, mantan Bendahara DPD Partai Gerindra Sumatera Utara.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini