Ajang pertemuan para jurnalis sedunia atau dikenal World Press Freedom Day (WPFD) masih berlangsung hingga 4 Mei 2017. Sejumlah pembicara dan peserta yang dihadirkan memberi pandangan dan pengalaman mereka dalam setiap sesi. Awalnya sulit memutuskan sesi yang mana yang akan saya pilih untuk diikuti, mengingat dalam satu hari ada sekira 10 panel diskusi dengan variasi tema di 6 ruangan yang berbeda di jam yang hampir bersamaan.
Akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti sesi “Re-shaping cultural for artistic freedom : Ministerial panel and artists panel”. Nah, sesi ini membahas polemik sensor pada produk seni. Sayangnya, tidak satupun menteri atau pengambil kebijakan yang hadir, hanya perwakilan negara yang menyampaikan pandangan dan pengalaman di masing-masing negara. Dari Indonesia sendiri hadir Prof Arif Rahman mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Salah satu tokoh pendidikan Indonesia ini mengungkapkan bahwa di Indonesia tidak ada sensor pada produk seni selain yang melewati batas prinsip Pancasila. Apa yang dikatakan olehnya sangat sederhana dan kesannya tepat. Masalahnya, tidak jarang ditemui banyak ‘polisi moral’ di negeri ini yang menyebabkan film maupun sejumlah pertunjukan seni batal tayang karena dianggap menyalahi ini-itu, yang sebenarnya sangat subjektif dan polisi tidak bisa berbuat banyak karena dorongan massa. Saya teringat bagaimana Inul Daratista menangis tersedu-sedu di televisi karena goyangan nge-bor yang dianggap sangat vulgar. Kemudian film 2014 yang ‘gagal’ tayang pada tahun 2014 karena filmnya dianggap akan mengganggu stabilitas Pemilu 2014, padahal sang produser film memang sengaja mengambil momentum Pemilu 2014 dengan membuat film politik. Dan para kreator hanya bisa pasrah.
Pengalaman yang sama juga dialami para pekerja seni di beberapa negara. Di Kenya misalnya, sebuah video klip lagu dilarang tayang karena talent dalam video klip itu berisi pergaulan LGBT. Ada juga cerita dari Bangladesh, sebuah film gagal tayang karena menggunakan bahasa kaum minoritas di negara itu.
Kebebasan berekspresi juga ternyata dihadapi oleh sineas film dokumenter. Dimana seorang jurnalis yang ingin membuat film dokumenter di sejumlah negara harus bolak-balik mengurus visa karena selalu gagal. Dan penolakan itu dilakukan oleh pemerintah negara-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, India. Baginya alasan penolakan visanya tidak masuk akal, yakni berpotensi terduga teroris, hanya karena ia keturunan Asia Selatan. Padahal jelas-jelas ia adalah seorang kontributor aktif pada surat kabar kenamaan internasional.
Kabar agak baik justru datang dari negara Vietnam. Saat ini pemerintahnya sedang memberi dukungan besar terhadap aktifitas seni. Bagi seniman domestik terutama seni tradisional diberi dukungan akses dana dan mitra sponsor untuk meningkatkan performa dan kesejahteraan seniman. Selain itu, Vietnam juga membuka ruang bagi artis luar negeri untuk unjuk kebolehan di negaranya.
Karena, di waktu yang bersamaan sebenarnya para artis luar negeri tersebut sedang menikmati suasana dan nuansa budaya lokal di negara tersebut. Mulai dari kuliner, tempat wisata, bahasa, dan kultur masyarakat Vietnam. Secara tidak langsung kehadiran artis luar tersebut akan membawa kesan dan pesan Vietnam di negara asal mereka dan sejumlah negara lain yang akan mereka kunjungi.
Kembali kepada titik awal pembahasan ini, bahwa setiap negara memiliki kebijakan masing-masing. Pertemuan ini diharapkan akan membawa titik temu bagi interaksi internasional di bidang budaya. Perlu ada pembahasan yang lebih intens lagi sehingga solusi yang bisa dijadikan kesepakatan atau kebijakan bersama negara-negara di dunia.
Meskipun sedikit pesimis dengan Indonesia, namun saya berharap sensor dan pencekalan di bidang seni bisa lebih objektif. Sebab, kerugian bagi kreator jika karyanya tidak bisa mencapai penontonnya sementara dana yang dihabiskan sangat mahal. Kemudian, sangat riskan kebijakan sensor ini dilakukan mengingat variasi suku budaya dan bahasa di nusantara yang sangat tinggi. Perlu riset mendalam untuk kebijakan kebebasan berekspresi di Indonesia. (Diana Saragih)