Ke-10 penerima fellowship Citradaya Nita 2019 saat mengikuti workshop Leadership for Women Journalist, di Jakarta, Desember 2019.

Catatan Fellow Citradaya Nita 2019 (1)

Bulan November 2019. Ketika pertama kali mendapatkan informasi dari Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) tentang penyelenggaraan Fellowship Citradaya Nita 2019 yang mengambil tema “Leadership for Women Journalist”, saya langsung tertarik untuk mencoba mendaftar. Sebagai jurnalis perempuan yang selama ini juga aktif bersama teman-teman di Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) yang kami dirikan sejak 2007 di Medan, kegiatan penguatan-penguatan jurnalis perempuan ini perlu direspon dengan cepat. Sebab tak banyak pelatihan yang biasanya dikhususkan bagi jurnalis perempuan. Saya juga berpikir bahwa ilmu yang akan saya dapatkan dari fellowship nanti setidaknya bisa saya bagikan ke teman-teman jurnalis perempuan, baik di FJPI maupun yang ada di sekitar lingkungan kerja saya.

Disamping itu, permasalahan HIV/AIDS sudah lama menarik perhatian saya. Sejak 2010, saya bersama teman-teman di FJPI banyak bersinggungan dengan permasalahan HIV/ AIDS. Bermula dari menemukan N, seorang anak dengan HIV/ AIDS berusia 7 tahun, yatim piatu asal Deliserdang di RSU Dr Pirngadi Medan yang kurang mendapat perhatian dari keluarga, kami lalu jadi banyak terlibat di persoalan HIV/AIDS. Kami intens mengikuti perkembangan kesehatan N, dan akhirnya ikut merawatnya. Sekretariat FJPI yang sempat berkantor di Jalan Sei Bilah Medan pun kemudian menjadi tempat tinggal N dan In, kakaknya yang waktu itu baru tamat SMA. Anggota FJPI Sumut yang saat itu bekerja di Koran Sindo, Eko Fitri, pun bersedia tidak pulang ke rumahnya di Tandem Hilir, Deliserdang, demi dapat ikut mengawasi kesehatan N. Mereka tinggal bersama di Sekretariat FJPI selama satu tahun.

Kondisi N makin membaik. dari berat semula di usia 7 tahun itu hanya 14 kilogram, setahun kemudian naik menjadi 23 kilogram. Dr Rita SpA dan Dr Umar Zein, SpPD, adalah dua dokter yang selama ini cukup perhatian terhadap perkembangan kesehatan N. Mereka tidak mau menerima bayaran setiap kali kami membawa N untuk berobat ke lokasi praktik dokter mereka.

Sekitar empat tahun kami merawat N yang sudah mempunyai sejumlah infeksi opurtunistik (penyakit penyerta) seperti TB, Tuhan akhirnya memanggilnya pada 30 Oktober 2014.

Kondisi N yang terpapar HIV adalah akibat penularan virus dari sang Ibu saat N dilahirkan. Ibu N, La, mendapatkan penularan dari suaminya., Yus. Prilaku Yus yang berisiko HIV membuat ia menulari istrinya, dan akhirnya virus HIV berpindah ke anak mereka N.

La tidak sendiri. Data dari Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2018, ada 16.844 ibu rumah tangga di Indoensia yang menjadi korban penularan HIV. Hal ini cukup mengejutkan karena ibu rumah bukanlah orang yang mempunyai faktor prilaku risiko terjangkit HIV. Tapi data mengungkapkan demikian. Kondisi inilah yang kemudian membuat saya tertarik untuk mengikuti fellowship Citradaya Nita dan mengangkat permasalahan ibu rumah tangga yang banyak menjadi korban penularan HIV dari suami mereka.

Gayung bersambut. Proposal yang saya ajukan disetujui, dan saya pun terpilih diantara 10 orang jurnalis perempuan dari 10 daerah di Indonesia, yaitu Bali, Palu, Jombang, Bengkulu, Pontianak, Yogyakarta, Solo, Ngada dan Aceh, yang mendapatkan beasiswa Citradaya Nita 2019. Untuk pertamakali, kami, ke-10 fellow berkumpul di Jakarta pada bulan Desember 2019, guna menerima pelatihan dan penguatan untuk menjalankan program ini.

Hak-hak ibu rumah tangga agar terlindungi dari penularan HIV/ AIDS harus disuarakan. Agar tidak ada lagi korban-korban yang tidak semestinya. Selain ibu rumah tangga, anak juga menjadi bagian dari korban HIV/ AIDS. Penularan dari suami ODHA ke istri yang tanpa disadari, dan istri ODHA ke anak yang dilahirkan tanpa program Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA), menambah angka-angka ibu rumah tangga dan anak yang terinfeksi HIV.

Bagaimana agar kita dapat menyuarakan ini? Perlu pelatihan untuk para jurnalis agar dapat mengangkat masalah di seputar perempuan atau ibu rumah tangga dan HIV dengan benar. Maka program pertama yang saya lakukan di Citradaya Nita 2019 adalah melakukan workshop penulisan bertema “Pemberitaan Perempuan dan HIV/AIDS”. Workshop ini saya lakukan pada 23 Januari 2020, dengan peserta workshop sekitar 34 orang, yang terdiri dari jurnalis perempuan anggota FJPI, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Sumatera Utara, FK Puspa Sumut dan lainnya. Pembicaranya, dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Dr Yulia Maryani, Pendamping Sebaya LSM Medan Plus Afnita Yohana, Aktivis Perempuan dari Hapsari Lely Zailani, jurnalis senior pemerhati HIV/AIDS Syaiful W Harahap, dan saya sendiri.

Setelah workshop selesai digelar, saya lalu melakukan rekrutmen terhadap jurnalis perempuan yang akan bersama-sama saya membuat berita-berita tentang permasalahan mengapa ibu rumah tangga bisa banyak tertular HIV dan upaya pencegahannya.

Satu pesan yang jadi acuan kami dalam melakukan penulisan adalah pesan dari jurnalis senior mentor pelatihan jurnalisme HIV/AIDS, Syaiful W Harahap, bahwa ibu rumah tangga hanyalah korban. Program-program pencegahan penularan HIV ke ibu rumah tangga saat ini justru masih mendiskriminasi ibu rumah tangga sendiri. “Pencegahan harusnya ke suami mereka, agar tidak melakukan hubungan seks berisiko di luar rumah, tidak menulari istri mereka di rumah dengan memakai pengaman saat berhubungan. Jika istri hamil, suami juga wajib dites HIV, bukan hanya istri saja yang dites,” kata Syaiful.

Berbekal pelatihan ini, kami pun mulai menulis permasalahan-permasalahan di seputar ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV/AIDS. Semoga apa yang kami tuliskan dapat membuka cakrawala pengetahuan orang dalam memahami persoalan HIV pada perempuan dan ibu rumah tangga. (Khairiah Lubis)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini