Peringatan HUT TNI ke-71 di Medan, Rabu (5/10) diwarnai aksi diam puluhan jurnalis dari berbagai media massa. Aksi dengan memakai baju hitam dan mulut dilakban hitam ini dilakukan sebagai bentuk protes atas lambatnya proses hukum pelaku kekerasan oleh TNI kepada jurnalis, hingga tidak salah jika TNI menjadi musuh kebebasan pers.
Salah satu anggota Tim Advokasi Hukum Pers Sumut, Agus Perdana, menyebutkan bahkan penyidik TNI terkesan mengaburkan persoalan dan memutarbalikan fakta. “Untuk itu, kami bersama organisasi dan komunitas jurnalis yang di Sumatera Utara mendesak pelaku kekerasan TNI segera diseret ke peradilan militer untuk diadili,” tukas Agus yang juga Ketua AJI Medan.
Ia juga menegaskan bahwa jurnalis tidak butuh janji atau permintaan maaf dari Panglima TNI atas kekerasan yang menimpa para jurnalis di Medan, Madiun, dan daerah lain di Indonesia yang hingga kini pelakunya tidak pernah diadili. Itu sebabnya hal ini selalu berulang, padahal TNI harusnya lebih paham hukum dan menjaga martabat sebagai institusi negara yang dibiayai pajak rakyat dan bertugas melindungi rakyat.
“Kami akan terus melakukan upaya hukum, agar para pelaku kekerasan yang dilakukan oleh TNI terhadap jurnalis segera diproses secara hukum,” tambah Agus.
Satu dari 6 jurnalis korban penganiayaan oknum TNI AU pada tanggal 15 Agustus 2016 lalu di Kelurahan Sarirejo Kecamatan Medan Polonia, Array, mendesak agar para pelaku kekerasan diseret ke pengadilan militer. Jurnalis Harian Tribun Medan ini juga meminta presiden Joko Widodo memberi teguran kepada Panglima TNI karena bawahannya sudah melakukan tindakan melawan hukum berat terhadap warga sipil dan jurnalis yang bekerja di bawah perlindungan UU Pers.
“Ini sudah berulang kali terjadi, Presiden Jokowi pun harus harus bertindak,” tukasnya. (jp)