Nasionalisme di era globalisasi tetap menjadi hal yang sangat penting, terutama bagi generasi muda yang sudah tersedot gaya hidup global. Pemahaman yang benar tentang dasar negara Pancasila dan UUD 1945 menegakkan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, atau meskipun berbeda tapi tetap satu juga, di tengah-tengah masyarakat.
Anggota DPD RI dari Sumatera Utara, Prof Darmayanti Lubis, di hadapan puluhan ibu-ibu dari berbagai dampingan LSM Perempuan di Sumut, mengungkapkan bahwa sosialisasi tentang Pancasila dan UUD 1945 ini harus terus dilakukan. “Kami dari perwakilan rakyat turun ke daerah pemilihan kami masing-masing untuk menyampaikan konsep NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika ini, agar pemahaman terkait hal itu bisa tumbuh sehingga konflik SARA dan paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 bisa ditekan,” ujarnya, Selasa (7/4).
Adanya perekrutan ISIS dengan berbagai cara terhadap warga negara Indonesia sangat disayangkan. Menurut Darmayanti, hal tersebut bisa dicegah dengan adanya kekuatan nasionalisme yang tinggi di dalam masyarakat. Begitu juga adanya konflik-konflik horizontal menyangkut SARA, seharusnya tidak lagi terjadi karena hanya akan merugikan masyarakat dan merusak stabilitas negara.
Senada dengan Darmayanti, pengamat politik dan sosial dari Universitas Sumatera Utara (USU) Taufan Damanik mengatakan era globalisasi telah mengubah cara pandang generasi muda terhadap hidup bernegara. Tingginya lalu lintas informasi lewat media sosial dan internet tidak diikuti dengan pendidikan nasionalisme terkait Pancasila dan UUD 1945. “Padahal negara ini tetap bisa terjaga kedaulatannya karena ada pemahaman yang kuat tentang negara dan bangsa melalui dasar negara kita Pancasila dan UUD 1945. Sangat disayangkan, generasi muda sekarang lebih paham perkembangan lagu-lagu barat ketimbang tentang sejarah bangsanya sendiri,” ujarnya.
Konferensi Asia Afrika yang akan dilangsungkan di Bandung dalam waktu dekat, tutur Taufan, adalah sebuah momentum bagi Indonesia untuk menunjukkan kepada dunia internasional, bahwa bangsa ini adalah bangsa yang besar dan patut diperhitungkan. Sama seperti saat Bung Karno membantah teori seorang pemikir filsafat politik Inggris Bertrand Russel yang menyebutkan bahwa di dunia hanya ada kekuatan yaitu kelompok liberalis yang dimotori oleh Amerika Serikat, dan kelompok Komunis yang dimotori oleh Rusia. Bung Karno, dalam pidatonya di Sidang Umum PBB menyebutkan ada 3 kekuatan di dunia selain kelompok liberalis dan komunis, yakni kekuatan negara-negara yang ingin bebas, mandiri, dan tidak dieksploitasi kelompok lain, yakni negara-negara Asia Afrika. Konferensi Asia Afrika pertama di Bandung pada tahun 1955 pun kemudian menjadi titik awal adanya Gerakan Non Blok pada tahun 1961.
“Indonesia bisa tampil di panggung dunia, berdaulat, karena kekuatan nasionalisme yang tinggi dalam diri para pemimpin kita terdahulu. Hari ini di era globalisasi, hendaknya kita tidak menjadi mundur dan menjadi santapan negara-negara maju. Kedaulatan bangsa ini harus terus diperkuat mengikuti besar dan luasnya bangsa dan negara kita,” pungkas Taufan. (jpD)