Udara dingin tidak menyurutkan niat Sima Azimi berlatih seni bela diri shaolin atau shaolin wushu. Dengan sigap, dia menggerakkan tangan dan kakinya hingga membentuk jurus-jurus tertentu. Perempuan 20 tahun tersebut tidak sendirian. Di belakangnya, ada sembilan perempuan dari etnis Hazara, Afghanistan, yang menirukan gerakan salah satu ilmu bela diri tertua di Tiongkok itu. Mereka mempelajari gerakan tersebut bukan untuk gaya-gayaan, melainkan melindungi diri.
’’Di jalanan Kabul, perempuan kerap dilecehkan,’’ ujar Azimi. Perempuan asal Jaghori itu pernah mempelajari seni bela diri di Iran selama tiga tahun. Di negara para mullah itulah, dia mempelajari shaolin wushu.
Azimi pernah dua kali mengikuti pertandingan dan berhasil menorehkan kemenangan. Dia memperoleh medali emas serta perunggu. Dia baru memutuskan untuk melatih gadis-gadis Afghanistan setahun setelah pulang dari Iran. Mayoritas muridnya adalah remaja. Hanya ada beberapa orang yang merupakan mahasiswi.
Mendapatkan murid untuk mempelajari wushu di Afghanistan tidak mudah. Pihak keluarga kerap tidak memberikan izin. Di negara yang penduduknya masih konservatif dan religius tersebut, anak perempuan biasanya dilarang mengikuti olahraga yang agresif. Orang tua takut selaput dara anaknya robek sebelum menikah. Jika ada pengantin perempuan yang dicap tidak perawan, keluarga bakal sangat malu.
’’Saya akhirnya datang ke rumah mereka satu per satu dan memberikan penjelasan,’’ terang Azimi. Biasanya, setelah mendengar penjelasan Azimi, orang tua para gadis itu luluh dan memberikan izin. Siswi Azimi hanya dikenai biaya USD 2–5 (Rp 26–66 ribu) per bulan, bergantung pada kemampuan finansial masing-masing.
Hambatan tak berhenti di situ. Setelah mendapatkan murid, Azimi sulit mencari tempat dan alat-alat untuk berlatih. Mereka biasanya berlatih di puncak bukit di sebelah barat Kabul. Kadang mereka berlatih di sebuah klub yang kumuh dan gelap.
Azimi memesan pedang shaolin dari Iran. Di Afghanistan juga tidak ada yang menjual seragam shaolin. Karena itu, mereka akhirnya mendesain seragam sendiri dan meminta penjahit di Kabul membuatnya.
Setiap hari, mereka mempelajari berbagai jurus baru. Mereka terus meningkatkan kemampuan karena memiliki harapan. Yakni, berlaga di Shaolin World Championship di Tiongkok. Hingga kini, perempuan Afghanistan belum boleh bertanding dalam ajang tersebut.
’’Saya berharap suatu saat bisa berpartisipasi di kompetisi shaolin internasional. Membawa kehormatan serta kebanggaan untuk Afganistan,” ujar Raihana Amiri, 20 tahun, salah satu murid Azimi. (ni/jp)
Sumber ; Jawapos.com