Perjuangan perempuan untuk membebaskan diri dari belenggu ketidakadilan gender ternyata masih panjang. Meskipun pemerintah sudah menetapkan aturan affirmative action yang menyaratkan agar keterlibatan perempuan di ranah public sebanyak 30 persen, tapi pada kenyataanya perempuan yang berkiprah di ranah publik hanya berkisar 10 persen. Itu artinya, hingga saat ini perempuan masih berkutat dengan urusan domestik.

Hal itu terungkap dalam Seminar ‘Membingkai Potensi Perempuan di Ranah Publik’ yang diselenggarakan Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara (USU) dengan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) dalam rangka memperingati hari Ibu dan HUT FJPI ke-6 di FISIP USU, Senin (23/12).

Ketua Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara (USU), Dra Lusiana Andriani Lubis MA,PhD, sebagai salah satu pembicara menyebutkan, perempuan di sektor  domestik ini, domain utamanya masih pada pekerjaan seperti memasak, melahirkan anak, mengasuh anak, mengerjakan pekerjaan rumah dan melayani suami.

Padahal saat ini, perempuan dituntut menjadi seorang yang mandiri yang tidak selalu tergantung dengan suami. Selain itu, perempuan juga dituntut untuk memiliki kebebasan untuk menentukan sikap, mengambil keputusan dan mengembangkan diri. Di samping itu, perempuan juga dituntut bisa mengaktualisasikan diri, sesuai dengan kebutuhannya sesuai dengan potensi dan kemampuannya. Di sisi lain, perempuan juga saat ini sudah sadar akan kesetaraan gender, karena perempuan tidak hanya harus berkutat di ranah domestic melainkan juga merambah ke ranah publik.

Dari persoalan ini sebutnya, jika dilihat dari sudut sosial budaya masyarakat Indonesia, perempuan tidak bisa melepaskan peranannya dari kedua sektor ini.  Sehingga kedunya harus diseimbangkan.

Narasumber lainnya, Anggota DPD RI, Prof DR. Ir Darmayanti Lubis menyebutkan,  tidak sedikit perempuan yang terjun ke ranah publik mendapatkan penolakan. Bahkan ada bentuk penolakannya yang ekstrim.

Hal seperti ini sebut Darmayanti, perlu diluruskan. “Masyarakat maunya, kalaupun perempuan bekerja, urusan rumah harus beres,”katanya.

Oleh karena itu, dengan persoalan ini, ketika perempuan terjun ke ranah publik, dia harus meningkatkan jati dirinya. Dengan mengharmonisasikan peranan perempuan di domainnya yakni ranah domestic dan ranah public.

Selain itu, perempuan juga harus mengenal jati dirinya, dengan mengatur berapa banyak waktu yang digunakan di ranah publik. Tentunya tak kalah penting, perempuan yang bekerja di ranah publik juga dituntut untuk tetap dapat berkomunikasi dengan baik dengan keluarga di rumah.

Narasumber terakhir, mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi USU, Lia Anggia Nasution memaparkan proses hasil penelitian tesisnya yang berjudul Media, Gender dan Identitas. Dalam kesempatan itu dikatakannya, profesi jurnalistik selama ini seringkali masih dikatakan sebagai ranah laki-laki (male dominate route). Jika pun ada perempuan yang berkecimpung di bidang jurnalistik itu lebih dianggap sebagai pengecualian. Hal ini terjadi karena kondisi budaya masyarakat yang masih patriarki.

“Secara umum masyarakat masih memandang sebaiknya perempuan tidak masuk ke dunia jurnalis yang erat kaitannya dengan dunia maskulin. Sebab, bekerja di dunia jurnalistik harus dituntut tanggung jawab dan beban kerja selama 24 jam,” katanya.

Meski saat ini jumlah jurnalis perempuan cukup banyak, namun perempuan yang berada di top level management perusahaan media masih sedikit. Berdasarkan penelitian dari International Federation for Journalist (IFJ), terjadi peningkatan kuantitas jumlah perempuan yang berprofesi sebagai jurnalis dari penelitian yang selama yang dilakukan pihaknya 10 tahun yang lalu. Jika sebelumnya jumlah jurnalis perempuan hanya 27 persen, saat ini sudah mencapai 38 persen.

Namun, kata Anggia, sayangnya jumlah perempuan dalam pengambilan keputusan di industri media masih sangat lemah. Di satu sisi representasi perempuan dalam dunia jurnalistik mengalami peningkatan, tapi di sisi lain, persentase mereka sebagai editor kepala bidang, atau departemen, dan pemilih media hanya berkisar 0,6 %.

“Kondisi ini juga terjadi di Medan, di FJPI sendiri dari sekitar 50 lebih anggotanya, belum ada satu orang pun yang menjadi pemilik media, dan hanya berkisar 5 persen yang berada di top level management di dalam perusahaan media,” terang Anggia.

Sebelumnya, Ketua FJPI, Khairiah Lubis menyebutkan, FJPI juga selalu mendorong anggotanya untuk duduk di ranah publik. Saat ini anggota FJPI sudah ada yang duduk di Komisi Informasi Publik Sumut, juga di Komisi Penyiaran Indonesia.  Bahkan keberadaan FJPI ini juga bertujuan untuk memotivasi perempuan maju ke ranah publik.

Ketua Tim Penggerak PKK Sumut, Sutias Handayani yang turut hadir mengatakan kalau saat ini perempuan-perempuan di Sumut sudah jauh lebih maju dan cerdas.  “Kita butuh orang-orang yang perhatian dan memiliki kemauan besar untuk meningkatkan kualitas perempuan. kalau saya lihat sekarang ini perempuan di Sumut sudah cukup maju, karenanya seperti kuota perempuan 30 persen di legislatif tidak perlu diributkan, karena jika kita sudah siap dan memiliki potensi yang cukup pada diri kita, tentu kita akan terpilih,” ujar Sutias.

Sementara Dekan Fisip USU, Prof Badaruddin, mengakui di kalangan orangtua, sedikit sekali yang bisa menerima anaknya ketika menduduki jabatan strategis, dan konsekuensinya harus pulang malam. Sebab, ketika perempuan masuk ke ranah publik, jam kerjanya tidak lagi 8 jam melainkan 24 jam.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini