foto ; net

Oleh Ramdeswati Pohan*

Tanggal 9 Februari 2016 kemarin seluruh insan pers Indonesia dimanapun berada bergembira merayakan hari pers nasional (meskipun sebagian ada yang menolak terkait pemilihan tanggal) yang puncaknya diadakan di Ambon dan dihadiri langsung presiden RI joko Widodo. Di Medan Sumatera Utara, hari pers bertema ‘Pameran Pers Perjuangan Kemerdekaan RI di Indonesia” diperingati bersama segenap insan pers dan pemerintah daerah serta masyarakat Kota Medan, di Gedung Juang ’45 di Jalan Pemuda.

Kata “bebas”, “merdeka”, acap kali mengiring setiap perjuangan melalui demonstrasi maupun seminar-seminar yang digelar insan pers. Sepertinya sepanjang masa, pers kita menuntut kebebasan dan kemerdekaan. Kenapa? Mungkin karena kekerasan dan penghalangan terhadap tugas jurnalis baik secara verbal maupun non-verbal masih saja berlangsung.

Organisasi Jurnalis

Kebutuhan akan perlindungan kerja jurnalis yang begitu kuat terhadap kekerasan yang apabila hal itu terjadi, tuntutan terhadap kesejahteraan jurnalis pekerja media, menjadi indikasi tumbuhnya berbagai organisasi maupun aliansi-aliansi yang bersatu dalam visi misi bersama.

Di Indonesia kita mengenal 3 organisasi profesi jurnalis yang mendapat lisensi Dewan Pers, yakni PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) yang masing-masing berkedudukan pusat di Jakarta. Selain itu banyak organisasi profesi jurnalis lainnya di Indonesia, yang diyakini terbentuk atas keinginan bersama para anggotanya untuk meningkatkan kesejahteraan anggota baik dari segi penghasilan maupun pengetahuan serta perlindungan hukum. Salah satunya (FJPI) Forum Jurnalis Perempuan Indonesia yang berpusat di Kota Medan, merupakan wadah bersatu pemikirannya para jurnalis perempuan.

Masing-masing organisasi profesi jurnalis ini memiliki visi-misi yang berbeda sesuai kesefahaman para anggota. Namun jika ditilik tetap saja cita-citanya memperjuangkan kesejahteraan, kemerdekaan dan independensi para jurnalis (anggotanya) dari ketidakadilan di kantor maupun di lapangan saat meliput.

AJI Indonesia mengusung ‘Upah Layak’, IJTI mengusung ‘Profesionalisme Jurnalis’ dan FJPI mengusung ‘Penghapusan Kekerasan Terhadap Jurnalis Perempuan’. Dengan mengusung visi-misi yang hampir sefaham ini, sudah sejauh manakah terakomodir?

Faktanya dengan profesionalisme para jurnalis yang semakin membaik, upah layak tak juga didapat. Satajam apa AJI dan IJTI memperjuangkan nasib jurnalis anggotanya ketika honor liputan tak kunjung naik, katakanlah sejak 10 tahun terakhir? Keluhan soal honor layak masih tinggi.

Masifnya Kekerasan terhadap Pers

FJPI bahkan kehabisan tenaga dan pikiran ketika jurnalis perempuan mengalami kekerasan saat liputan. Sebagai Jurnalis, penulis pernah mengalami kekerasan diancam parang oleh segerombolan preman kaki tangan pengusaha, saat meliput konflik lahan. Jika tak berfikir cepat bahwa keselamatan jauh lebih berharga, sudah pasti nyawa taruhannya. Malangnya media yang menaungi tugas penulis saat itu tak bereaksi apapun kecuali sepenggal kalimat di running text yang menginformasikan kejadian.

Jurnalis perempuan lainnya salah satu news anchor di stasiun tv lokal di Medan, juga pernah mengalami pengancaman saat memandu berita tentang aksi brutal organisasi kepemudaan. Pimpinan media bahkan didesak sang oknom OKP untuk memecat sang news anchor. Beruntung karena posisi sang news anchor saat itu sedang sangat dibutuhkan perusahaan, sehingga PHK sepihak itu tak sampai terjadi.

Yang terakhir pada pertengahan tahun silam, saat terjadi kekerasan dan pelecehan yang dilakukan aparat TNI AU terhadap jurnalis yang sedang melakukan tugas liputan konflik lahan pemukiman warga dengan pihak TNI AU yang mengklaim sebagai pemilik lahan-meski warga sudah memenangkan gugatan hingga di tingkat Mahkamah Agung.

Satu dari 6 korban kekerasan yang dilakukan beberapa oknum TNI AU itu, merupakan jurnalis perempuan yang tak hanya mengalami kekerasan fisik bahkan pelecehan secara verbal dan fisik, amat sangat tak pantas dilakukan aparat yang harusnya menjadi pengayom dan pelindung masyarakat.

Menyikapai tragedi memilukan dan memalukan ini, seluruh elemen organisasi jurnalis dan fotografer di Medan bersatu melakukan advokasi untuk menuntut keadilan bagi para korban dan menghukum berat tindakan para pelaku berseragam terhormat ini. Segala upaya ditempuh bahkan melibatkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), namun hingga 8 kasus bergulir belum tampak tanda-tanda kasus akan maju ke pengadilan, padahal para korban dan saksi telah menjalani pemeriksaan. Sungguh penanganan yang sangat lamban.

Dengan rentetan kejadian di atas, wajar saja jika hingga saat ini baik secara perorangan maupun lembaga, insan pers terus menggaungkan tuntutan kebebasan, kemerdekaan dan kesejahteraan. Sebab hingga hari ini belum satupun tuntutan tersebut dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun pengusaha media. Mestinya kedua elemen penentu kebijakan dan pembuat regulasi ini bersatu padu melakukan advokasi untuk menuntut keadilan bagi para korban dan menghukum berat tindakan para pelaku berseragam terhormat ini.

*Ketua FJPI Sumut dan Pimpinan Umum  jurnalisperempuan.com

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini