Langkat – Cerobong asap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pangkalan Susu Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, masih saja mengeluarkan limbah asap hasil pembakaran batubara. Padahal pemerintah telah mewacanakan adanya pensiun dini bagi PLTU-PLTU di Indonesia karena menyebabkan kerusakan lingkungan dan penyakit bagi manusia di sekitarnya.
Nurhayati, seorang petani padi yang kini beralih profesi menjadi pedagang sembako di rumahnya, merasakan betul dampak dari asap PLTU yang beroperasi di Pangkalan Susu. Letak cerobong itu hanya 3 Km dari kediamannya di Desa Pintu Air. Begitu pula dengan lahan pertaniannya. Ia tidak lagi menanam padi karena hasil panennya selalu rusak dan tidak dapat memenuhi modal yang dikeluarkan saat menanam.
“Bisa dibilang gagal panen. Bukan untung, kita malah jadi punya banyak hutang dengan kondisi lahan dan udara yang tercemar limbah PLTU,” katanya, saat ditemui beberapa waktu lalu.
Asap debu dari pembakaran batubara PLTU menyebabkan air hujan, yang diandalkan untuk mengairi sawah, justru merusak akar dan batang padi. Kini petani juga mengeluhkan adanya hama baru yang menyerang pertanian warga yakni penyakit merah yang cepat sekali mewabah dan merusak tanaman.
“Jenis sawah kita kan tadah hujan, itu sudah merugi karena hasil panen tidak maksimal. Sekarang ada masalah baru, penyakit merah, petani harus menambah modal untuk pestisida,” ujar Nurhayati.
Nurhayati dan banyak perempuan di sekitar PLTU Pangkalan Susu mengeluhkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh PLTU. Dampaknya jelas, di tingkat tapak, rakyat menderita akibat polusi udara, air dan tanah. Belum lagi dampak ikutan lain seperti kehilangan mata pencaharian seperti runtuhnya pondasi pertanian tanaman pangan dan nelayan dengan kapal mesin kecil yang kini terpaksa menjual kapal mereka karena kehilangan ikan-ikan di pesisir akibat tercemarnya air laut di sekitar PLTU. Mereka juga terpaksa menjadi buruh kasar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Ada juga menjadi tenaga kerja di luar negeri yang terpaksa melalui agen ilegal karena tidak punya modal, akhirnya jadi korban trafiking, gajinya dirampas, dan tidak bisa pulang. Syukurnya sekarang beberapa yang jadi korban telah ditangani dan jadi pekerja legal di luar negeri untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” ujar Nurhayati lagi.
Direktur Yayasan Srikandi Lestari, Sumiati Surbakti, yang selama beberapa tahun ini berjuang Bersama masyarakat Pangkalan Susu menuntut ditutupnya PLTU, mengatakan dampak turunan dari hadirnya PLTU ini banyak. Bukan saja telah merenggut ruang hidup masyarakat sekitar, namun juga telah merusak tatanan masyarakat. Adanya konflik horizontal antara masyarakat pendukung dan kontra PLTU, menjadi momok bagi seluruh masyarakat terdampak. Janji akan mempekerjakan 75% putra daerah juga tidak dipenuhi pihak PLTU. Belum lagi adanya bantuan sembako ke sejumlah kelompok tokoh masyarakat dan sekolah yang terdampak, menyulitkan warga untuk objektif dalam hal penolakan PLTU.
“Masyarakat benar-benar dirugikan berlapis-lapis, tidak hanya ekonomi, hukum, tapi juga sosial. Ada anak yang terpaksa putus sekolah dan menikah dini karena orangtuanya tidak lagi bisa membiayai anak-anak mereka akibat dari tidak adanya penghasilan lagi,” ujarnya.
Nurhayati pun menyampaikan kondisi terkini warga terdampak di desa lain, Desa Sei Siur. Dua balita terkena infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Satu balita berusia 1,5 tahun didiagnosa sakit paru-paru dan dirujuk ke RSUD Tanjung Pura di Stabat. Satu balita lagi sejak berusia 8 bulan sudah terserang penyakit paru-paru sehingga ia harus rutin check up ke RSUD Tanjung Pura. Meskipun biaya ditanggung pemerintah dengan BPJS Kesehatan, namun kondisi sakit anaknya yang parah sangat menyengsarakan keluarga mereka.
Selain itu, penyakit gatal-gatal yang dialami banyak anak-anak di sekitar PLTU juga masih terjadi. Dokter di Puskesmas terdekat menyatakan anak-anak itu mengalami alergi kulit sehingga mereka harus mengkonsumsi obat alergi secara terus menerus.
Gangguan Kesehatan yang dialami masyarakat terdampak sangat bisa ditebak akibat adanya limbah PLTU. Sumiati menyebutkan data penelitian Greenpeace Indonesia & Universitas Harvard bahwa batubara yang dibakar di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) memancarkan sejumlah polutan seperti NOx dan SO2, kontributor utama dalam pembentukan hujan asam dan polusi PM2.5. PLTU Batubara juga memancarkan bahan kimia berbahaya dan mematikan seperti merkuri dan arsenik. Hal ini menyebabkanmasyarakat terpapar bahan beracun, ozon dan logam berat.
Dampak kesehatan yang berat disebabkan partikel mikroskopik (PM2.5) yang terbentuk dari emisi sulfur, nitrogen oksida dan debu. Partikel halus ini menembus ke dalam paru-paru dan aliran darah, menyebabkan kematian dan berbagai masalah kesehatan.
“Dampak negatif PLTU bagi masyarakat sekitar itu sangat serius. Jika pemerintah memaksa bahwa PLTU harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan listrik Sumatera, itu omong kosong karena stok listrik kita surplus,” tukas Sumiati.
Sudah Lapor ke PBB
Sejumlah upaya pun dilakukan agar operasional PLTU Pangkalan Susu dihentikan segera, begitu pula dengan PLTU di daerah lain di Indonesia. Ia mengatakan jaringan organisasi yang bergabung dalam Konsorsium Sumatera Terang untuk Energi Bersih [STuEB] membuat laporan dugaan pelanggaran HAM atas aktivitas PLTU kepada PBB pada Juni 2023 lalu. Ada 3 daerah yang dijadikan bahan aduan yakni kasus PLTU di Bengkulu, Aceh, dan Sumatera Utara.
Dugaan pelanggaran tersebut berupa hak hidup dan kesehatan, hak atas lingkungan, dan hak atas mata pencaharian atau hak ekonomi warga yang tinggal di sekitar PLTU. Pihak PBB pun telah merespon aduan tersebut dengan menggelar persidangan yang dihadiri pelapor dan dua lembaga keuangan yang menyediakan dana pinjaman untuk proyek PLTU di Pulau Sumatera itu. Mereka adalah Industrial Commercial Bank of China [ICBC] dan Export Import Bank of China. Kedua bank telah meminjamkan dana US$270 juta untuk PLTU Teluk Sepang (Bengkulu), US$373 juta untuk PLTU Pangkalan Susu (Sumut), dan US$124,34 juta untuk PLTU Nagan Raya (Aceh).
“Kita berharap laporan ini bisa mempengaruhi kebijakan terkait operasional PLTU di Indonesia. Meskipun belum ada kebijakan tegas terkait hal ini, namun kami Bersama masyarakat Pangkalan Susu akan terus berjuang demi kami dan masa depan anak-anak yang harusnya lahir dan bermain di situ dengan gembira,” pungkas Sumiati. (jp/Diana)