Anggota Pasukan Khas (Paskhas) TNI Angkatan Udara (AU) Landasan Udara Soewondo Medan, Prajurit Satu (Pratu) Rommel P Sihombing tidak menyangkal telah menganiaya jurnalis TribunMedan, Array A Argus saat kerusuhan terjadi antara masyarakat dengan TNI AU di Kelurahan Sari Rejo, Polonia pada 15 Agustus 2016 silam. Dalam sidang lanjutan dengan agenda keterangan saksi di ruang utama Pengadilan Militer I Medan, Rommel yang mengenakan seragam dinas harian sama sekali tak menyanggah keterangan yang disampaikan oleh saksi Teddy Akbari, jurnalis Sumut Pos yang saat kejadian turut melihat langsung aksi penganiayaan yang dilakukan Rommel.
“Bagaimana saudara terdakwa? Apakah ada yang saudara sanggah dari keterangan saksi (Teddy). Atau ada yang ingin saudara sampaikan lagi,” kata Ketua Majelis Hakim, Kolonel CHK Budi Purnomo, Selasa (18/7). Menjawab pertanyaan hakim, Rommel mengamini kesaksian Teddy. “Tidak ada yang mulia. Cukup,” katanya sembari berdiri tegak di samping dua penasehat hukumnya. Dalam keterangannya, saksi Teddy mengatakan Rommel tiga kali menghajar Array dengan menggunakan pentungan dan kursi plastik. Kata Teddy, penganiayaan Array terjadi saat mereka berdiri di rumah salah satu warga tak jauh dari persimpangan Jl Teratai, Medan Polonia.
“Yang saya lihat, terdakwa ini memukul Array dengan pentungan hitam. Kemudian, dia memukul Array dengan kursi plastik sebanyak dua kali setelah korban terjatuh,” kata Teddy. Pria kelahiran 1993 ini mengatakan, insiden penganiayaan berlangsung sangat cepat. Ketika mereka berada di depan rumah warga, segerombolan TNI AU yang sebelumnya melakukan pengerusakan plang milik warga mendatangi Array dan Teddy. Saat mendatangi saksi dan Array, salah satu petugas TNI menanyakan identitas korban.
“Setelah ditanya identitas, Array menunjukkan ID Card. Namun, salah satu petugas memprovokasi dengan mengatakan, ini dia, ini dia,” kata Teddy. Saksi menerangkan, ia tak mengerti maksud anggota TNI menyebut “Ini dia” pada Array. Sebab, kata Teddy, sepengetahuannya, Array tak pernah melakukan provokasi terhadap anggota TNI yang melakukan sweeping di pemukiman warga setelah cekcok mengenai masalah sengketa lahan.
Akibat insiden ini, Array mengalami luka memar di sekujur tubuh. Sayangnya, di dalam surat visum yang dikeluarkan Rumah Sakit TNI AU Abdul Malik menyatakan bahwa Array tidak menderita luka sedikitpun. Dan surat visum tersebut merupakan satu-satunya barang bukti yang dibawa ke persidangan. Menyikapi ini Tim Advokasi Pers Sumut dari LBH Medan, Armada Sihite juga bingung dengan hasil visum yang dikeluarkan RS Abdul Malik. Pada 18 Agustus 2016 saat Array melakukan visum, Armada sempat melihat korban menderita memar.
“Kami sudah minta agar visum dilakukan di rumah sakit lain. Namun pihak penyidik dari POM tidak mau dengan alasan merekalah yang punya kewenangan,” kata Armada. Ia mengatakan, tim advokasi meminta visum di rumah sakit lain agar hasil yang dikeluarkan benar-benar objektif, sehingga, tidak muncul prasangka buruk terkait RS Abdul Malik. “Kalau di rumah sakit lain, mungkin saja waktu itu hasilnya beda,” ungkap Armada. hal ini sangat memungkinkan sebab pada saat usai dianiaya, Array dan korban luka lain akibat pengroyokan personil TNI AU dibawa ke Rumah Sakit Mitra Sejati. Menyangkut persidangan yang berjalan, katanya, majelis hakim harus mencatat betul pengakuan terdakwa Rommel. “Dia tidak menyangkal kesaksian seluruh saksi Teddy,” tegas Armada.
Ia mengatakan, hakim harus benar-benar jernih memandang dan menilai setiap fakta yang muncul di persidangan. Terlebih, kata Armada, dalam kasus ini ada pelaku lain yang belum disidangkan. “Baik saksi korban ataupun saksi Teddy menyebutkan ada anggota TNI yang berkulit hitam turut menganiaya Array. Nah, pelaku lain ini juga harus disidangkan demi rasa keadilan,” tegasnya. Armada berharap, putusan hakim nantinya benar-benar mencerminkan hukum yang bersih dan berkeadilan Indonesia. Sidang akan dilanjutkan Selasa 25 Juli 2017 untuk mendengar tuntutan oditur militer. (jp/rel)